1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kota-kota Pesisir Hadapi 'Ancaman Mematikan'

7 Juli 2021

Selama ribuan tahun, manusia terus membangun kota-kota besar di pinggiran pantai, muara dan delta. Kini terkait pemanasan global risiko bahaya yang kita hadapi juga meningkat drastis.

https://p.dw.com/p/3w9Jf
Pesisir Mumbai, India
Kota-kota besar di pesisir seperti di Mumbai terancam akibat kenaikan permukaan air lautFoto: Getty Images/AFP/P. Paranjpe

Pesisir laut selama berabad-abad jadi pusat lalu lintas perdagangan antar negara, pembangunan, dan peleburan budaya. Namun kini, saat perubahan iklim menjadi kenyataan, wilayah-wilayah pesisir pantai dan muara menghadapkan penduduknya pada ancaman risiko.

Demikian laporan yang tidak diterbitkan panel penasihat iklim PBB - IPCC, yang diperoleh secara eksklusif oleh kantor berita AFP. Dalam laporan itu tergambar ancaman iklim yang luas dan mendesak untuk ditangani.

Di kota-kota besar, kawasan perkantoran, menara, gudang, rumah-rumah dan jalanan berdesak-desakan ‘memeluk laut‘. Kota-kota ini berada di 'garis depan' risiko, demikian isi laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).

"Pilihan yang sulit, akan dan perlu dibuat, karena permukaan laut terus naik, banjir dan badai menjadi lebih sering dan makin intensif, suhu global meningkat, tingkat keasaman air naik dan gelombang panas pun makin intensif," tambah laporan itu. Naiknya permukaan air laut kemungkinan memicu banjir.

Di beberapa tempat, orang-orang sudah tahu betul kekuatan air yang bisa merusak. "Dulu saya pernah menjadi menantu dari keluarga kaya," ujar Yasmin Begum, warga Bangladesh, kepada AFP. "Mertua dan orang tuaku memiliki segalanya -- ternak, rumah bagus, lahan pertanian. Tapi sungai mengambil semuanya." Keluarganya pernah hidup relatif makmur di selatan distrik Bhola, salah satu delta terpadat di dunia. Kemudian, pada suatu malam, 12 tahun yang lalu, Sungai Meghna yang 'mengamuk', melahap semua yang mereka miliki.

Begum sekarang berusia 30 tahun, kini menjadi seorang ibu rumah biasa tangga di Dhaka, sementara suaminya menjadi pengemudi becak sepeda di jalan-jalan kota yang berpolusi tinggi. Mereka lolos dari bencana banjir dan menghadapi risiko lainnya: Rumah baru mereka, di salah satu lorong sempit daerah kumuh, juga terletak hanya beberapa meter dari bantaran sungai.

Tidak lagi stabil

Kira-kira sepersepuluh dari populasi dunia hidup di daratan dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut. "Secara struktural, banyak kota terancam permukaan laut yang naik," kata Ben Strauss, CEO dan kepala ilmuwan IPCC. Pelabuhan dan bandara dibangun di atas tanah yang paling datar atau paling rendah.

"Permukaan laut, dulu, stabil," jelas Strauss," namun kini tidak lagi stabil." Sekitar 300 juta orang rentan terhadap banjir tahunan padat ahun 2050 mendatang,demikian menurut penelitiannya. Warga yang paling tidak mampu untuk melindungi diri mereka sendiri, kemungkinan besar akan terkena hantaman bencana paling berat.

Kota-kota, seperti Venesia, dan Jakarta, juga sedang tenggelam, sementara negara-negara kepulauan dataran rendah, khususnya di Pasifik, berisiko menghilang di telan muka air laut yang terus naik. Laporan tersebut menyebutkan, pengurangan laju emisi dapat mengurangi risiko. "Tapi, kenaikan permukaan laut, semakin cepat, dan akan terus berlanjut selama ribuan tahun," ujar laporan itu.

Pada tahun 2100, IPCC memperkirakan tingkat permukaan air laut bisa naik 60 sentimeter lebih tinggi dari saat ini. Untuk jangka panjang, kata laporan itu, prospek di banyak kota pesisir menjadi "suram" jika laju emisi tak terkendali.

Sementara itu, umat manusia terus memompakan polusi ke atmosfer, menyebabkan pemanasan global,yang memicu mencairnya lapisan es dan gletser dan memperluas lautan.

"Hanya dalam beberapa dekade, situasi itu berpotensi menenggelamkan beberapa kota besar dunia", kata Strauss menambahkan. Pada tahun 2050, wilayah yang berisiko seperti Florida Selatan mungkin telah mengembangkan rencana multidekade untuk "mengosongkan diri", katanya lebih lanjut. "Sebagian besar kota pesisir kita adalah fana. Banyak dari wilayah itu akan lenyap ditelan oleh banjir rob dalam jangka panjang."

Biaya sudah meningkat

Pada bulan Oktober 2012, badai Sandy di pantai sekitar New York dan New Jersey, membunuh banyak orang dan menyebabkan kerugian hingga puluhan  miliar dolar AS akibat kerusakan yang ditimbulkannya. Bencana seperti ini di pesisir kota di dunia menimbulkan "risiko bagi masyarakat dan ekonomi global secara umum", kata laporan itu.

Pada pertengahan dekade mendatang, tanpa upaya adaptasi, proyeksi skenario kasus terburuk untuk 136 kota pantaii terbesar di dunia diperkirakan mencapai kerugian antara1,6 sampai 3,2 triliun dolar AS – hanya dari akibat meningkatnya permukaan laut.

Ada banyak variasi kerugian di antara kota-kota itu, tergantung pada  di mana aset dan orang terkonsentrasi, kata salah satu penulis riset, Elisa Sainzde Murieta dari Basque Center for Climate Change.

Guangzhou di Cina berada di urutan teratas dalam daftar, dengan kerugian tertinggi akibat kerusakan, yakni  sekitar 330 miliar dolar AS pada tahun 2050, di bawah skenario pesimistis emisi tanpa dilakukannya adaptasi.  Kemudian akan membengkak hampir 1,4 triliun dolar AS pada tahun 2100. Di posisi kedua adalah Mumbai,India. Dan kota-kota terus memperluas wilayah dan menempatkan jutaan lebih orang dalam bahaya, khususnya di  Asia dan Afrika.

Bagaimana kota melindungi diri?

Opsi-opsi adaptasi terhadap perubahan iklim bisa dilakukan, termasuk di antaranya dengan melakukan perlindungan yang direkayasa, seperti pembangunan tanggul dan tembok laut, yang dapat mencegah risiko banjir dari kenaikan permukaan laut hingga beberapa meter. Namun risikonya hal itu dapat merusak ekosistem.

Merehabilitasi ekosistem pesisir juga menawarkan manfaat luas, terutama pemulihan hutan bakau dan terumbu karang. "Kita harus bertindak sekarang, karena kita sudah terlalu terlambat,” keluh Johan Verlinde, manajer program Rotterdam's Climate Adaptation Plan.

Lebih dari separuh wilayah Belanda rentan terhadap naiknya muka air laut. Setelah banjir mematikan terjadi di tahun 1953, negara itu membangun jaringan pertahanan banjir berteknologi tinggi. Belanda saat ini mengalokasikan 1,2 miliar dolar AS untuk rencana adaptasi "hidup dengan air".

Berbagai macam infrastruktur terapung dibangun di Rotterdam, termasuk untuk peternakan sapi. Dengan situasi 85 persen wilayahnya berada di bawah permukaan laut, Verlinde mengatakan Kota Rotterdam adalah "bak mandi". "Setiap tetes air yang jatuh di kota kami, kami perlu memompanya. Kami benar-benar perlu menjadi inovatif untuk menjaga kaki kami tetap kering," ujarnya.

Insinyur-insinyur Belanda melakukan perjalanan ke seluruh dunia untuk berbagi keahlian mempertahankan diri dari banjir. Banyak negara miskin tidak mampu untuk mempertahankan infrastruktur besar secara efektif. Salah satu alasannnya adalah batasan anggaran nasional.

Pada akhirnya, bahkan, adaptasi yang paling inovatif, menghabiskan banyak uang, dan mungkin tidak dapat menghindari bencana. Solusi paling akhir adalah adalah: mundur dari pesisir laut.

Indonesia berencana untuk memindahkan ibu kotanya ke Kalimantan. Di Bangladesh, migrasi berkaitan dengan perubahan iklim telah dimulai. Tapi masih dalam tahap permulaan.

UNESCO menggambarkan Venesia sebagai "karya agung arsitektur yang luar biasa" di mana bahkan bangunan terkecil sekali pun mengandung karya sebagian seniman  hebat dunia. Namun saat ini, Venesia adalah situs warisan dunia yang paling terancam di Mediterania. Lebih dari 90 persen dari kota itu rentan terhadap banjir. Venesia telah memasang penghalang banjir untuk membentengi laguna selama gelombang badai. Tetapi, jika permukaan laut naik 30 sentimeter, air banjir bisa mengalir di sekitar palazzi selama beberapa minggu.

Ahli kelautan Georg Umgiesse rmengatakan, karena efek subsidensi, kenaikan permukaan air laut  setengah meter akan menjadi "bencana" untuk kota di Italia itu.

Di masa lalu, tidak ada bukti yang menghubungkan perilaku manusia dengan banjir, tetapi sekarang pilihan kita adalah menciptakan Atlantis nyata dari masa depan, kata Strauss.

"Upaya kita untuk mengerem laju perubahan iklim, adalah untuk melindungi kehidupan yang kita miliki saat ini, tetapi juga membentuk cerita yang akan dikisahkan oleh keturunan kita tentang kita," kata Strauss.

"Dan, saya rasa akan ada banyak cerita tentang apa yang telah kita hilangkan, tentang hal-hal yang gagal kita lindungi", pungkasnya.

ap/as (afp)