1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Media Cina Ingin Kuasai Afrika

Nadina Schwarzbeck7 Januari 2013

Cina menerapkan politik media yang ofensiv di Afrika. Negara itu ingin menguasai pasar media di benua hitam. Selain stasiun radio, kantor berita, dan saluran televisi, bulan lalu Cina juga menerbitkan koran di sana.

https://p.dw.com/p/17FGc
Foto: cctv.cntv.cn

45 milyar Dolar. Ini besarnya investasi Cina di Afrika untuk paruh tahun pertama 2012. Perdagangan Cina-Afrika tiga kali lipat lebih besar dalam tiga tahun terakhir. Kini negara ini mencoba berhasil di bidang media Afrika. Cina menginvestasi dalam teknologi modern, memberi beasiswa ke Cina bagi jurnalis Afrika dan menempatkan medianya sendiri di benua tersebut. Penulis dan pakar Afrika bagi BBC Mary Harper menganggap tumbuhnya keterlibatan media Cina sebagai perkembangan yang sewajarnya. "Dalam beberapa tahun terakhir, Cina menemukan keragaman sumber Afrika yang besar dan menjadi mitra dagangnya yang terbesar. Barat digantikan oleh Afrika". Ini juga ingin dicapai oleh Cina dalam bidang media.

Merambah media dari segala sisi

Awal 2012 Cina memulai stasiun televisi "CCTV Africa" berbahasa Inggris. Selain talkshow dan dokumentasi, CCTV juga memproduksi rubrik TV Internet bagi pengguna telepon genggam. Dalam waktu dekat, seratus koresponden Cina di Afrika akan dipekerjakan. Selain itu, layanan berita mobile pertama terwujud berkat kerjasama kantor berita Xinhua dengan operator telepon seluler di Kenya. Mengapa Cina memilih Afrika? Mary Harper: "Cina terlibat di Afrika murni karena ingin meraih keuntungan di bidang keuangan, banyak tanggapan negatif dari negara barat. Cina ingin menunjukkan sisi lain kepada warga Afrika."

Screenshot Website China Radio International
Situs China Radio InternationalFoto: english.cri.cn

"Kami tidak memberitakan hal negatif"

Cina juga ingin meraih keberhasilan di media cetak. Sejak Desember 2012, koran mingguan "China Daily-Africa Weekly" diterbitkan di Nairobi, ibukota Kenya. Nairobi adalah pusat media di Afrika Timur. Beberapa stasiun radio Cina bermarkas di sana, termasuk China Radio International yang melakukan siaran dalam lebih dari 50 bahasa. Seorang jurnalis Kenya yang tidak mau diungkap identitasnya mengatakan, "Kami menulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan dalam bahasa Swahili. Tapi kami tidak menyiarkannya secara langsung dari Nairobi. Kami mengirim semuanya ke Beijing. Dari sana laporan kami disiarkan".

Semua pegawai harus bepergian secara teratur ke Beijing untuk mengikuti pelatihan dan mengenal cara bekerja di Cina. Laporan yang kerap disensor di Beijing juga masalah yang kerap mengganggu jurnalis tersebut. "Kami tidak melaporkan hal negatif. Tetapi sebagai jurnalis, kami seharusnya juga memberitakan hal yang tidak baik dan menunjukkan realitanya." Sisi positif Afrika secara sengaja diutamakan untuk memuaskan warganya, jelas jurnalis itu.

Pakar Mary Harper tidak menganggapmya sebagai masalah kritis. Laporan negatif telah lama dilakukan oleh media barat. Karena itu, Cina memberikan nafas segar ke pasar media Afrika. "Menurut saya, di masa depan akan lebih banyak lagi media internasional yang bermarkas di Afrika. Ini bukan hal buruk, karena media Afrika akan lebih bervariasi. Tapi tidak ada yang boleh mendominasi."

Namun, eksistensi Cina yang semakin kuat juga punya sisi negatif. Di Ethiopia, Cina misalnya membantu pembiayaan sistem pengawasan. Sejak itu, media oposisi ditutup secara rutin dan jurnalis yang kritis terhadap rezim juga semakin sering dipenjara. Ini hal yang telah menjadi keseharian di Cina.