1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PanoramaIndonesia

‘Lulus’ Simulasi Mars, Ia Ingin Kembangkan Studi Antariksa

23 Juni 2023

Usai 'lulus' menjalani simulasi kehidupan di Planet Mars, pemuda asal Yogyakarta ini bertekad mengembangkan kecintaan terhadap studi antariksa dan luar angkasa.

https://p.dw.com/p/4SxcG
Gambar ilustrasi, uji terbang helikopter NASA Ingenuity di Planet Mars
Gambar ilustrasi, uji terbang helikopter NASA Ingenuity di Planet MarsFoto: NASA/JPL-Caltech/ZUMA/picture alliance

Pengalaman mengikuti simulasi kehidupan di Mars yang dilangsungkan di Amerika Serikat pada 2018, membuat Venzha Christ tergerak menumbuhkan minat belajar luar angkasa kepada anak muda. Banyak pelajar dan mahasiswa yang sebenarnya memiliki ketertarikan di dunia antariksa. Namun menurutnya, mereka seringnya tidak mendapatkan pemahaman yang utuh di sekolah.

"Subjek ini memang tidak populer dan dianggap tidak keren. Saya ingin mereka yang menyukai antariksa juga bisa dianggap keren," kata Venzha yang sering diundang menjadi pembicara topik-topik tentang luar angkasa ini.

Menurutnya, ilmu tersebut masih sulit dicerna banyak orang di Indonesia karena sering kali menampilkan rumus-rumus astrofisika yang sulit dipahami. Dengan menggabungkan seni dan aerospace, pemuda lulusan  program studi Desain Interior Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini berharap akan lebih banyak orang tertarik. 

Venzha Christ dari Yogyakarta
Venzha Christ dari Yogyakarta hobi menekuni antariksa berawal dari membaca komik dan novel fiksi ilmiahFoto: Leo Galuh/DW

Hobi tentang luar angkasa sejak kecil

Venzha sejak kecil memang sudah gemar membaca komik dan mengoleksi barang-barang bertema fiksi ilmiah. Ia pun menunjukkan koleksi komik-komik dan bukunya, bahkan ada yang sempat ditaksir hingga puluhan juta rupiah.

Setidaknya ada tiga film yang mempengaruhi dan menguatkan ketertarikannya pada dunia antariksa.

"A Space Oddisey tahun 1968, Close Encounters of The Third Kind tahun 1977, dan E.T. the Extra-Terrestrial tahun 1982," jelas Venzha kepada DW Indonesia. 

Ia bercerita bahwa orang tua dan saudara-saudaranya pun sempat mencibir hobi tersebut. Bahkan, saat dia di bangku kuliah, cukup sulit baginya menemukan kawan yang punya tingkat ketertarikan yang sama.

Saat di bangku kuliah hingga pertama kali bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta pada awal 1990-an, Venzha kerap berkeliling wilayah Indonesia untuk berburu barang-barang bertema antariksa. 

Komik koleksi Venzha sejak masa kecilnya
Dulpetot Djadi Astronot, karya imajinasi orang Indonesia tahun 1950-an. Rata-rata cerita antariksa buatan Indonesia mengisahkan tokoh yang pergi untuk membasmi alien jahat di suatu planetFoto: Leo Galuh/DW

"Anggaran yang saya keluarkan untuk membeli barang-barang tersebut mulai dari lima ribu sampai 25 juta rupiah," kenang Venzha. Tidak jarang dia menemukan barang-barang buruannya di laman dagang elektronik seperti e-bay. Bahkan, dia tidak segan berkunjung ke negara seperti Amerika Serikat atau Jepang untuk berburu barang bertema luar angkasa yang pernah diedarkan di Indonesia.

Simulasi hidup di Mars, seperti apa rasanya?

Di rumahnya, Venzha menyalakan peralatan hasil rakitannya sendiri seperti Radio Astronomy Receiver, lampu alat tersebut menyala berwarna hijau. "Alat ini menerima gelombang frekuensi ultrasonic dari luar angkasa yang tidak bisa ditangkap oleh telinga manusia," kata Venzha.

Tahun 2018 lalu, Venzha merasa beruntung mendapat kesempatan untuk menjalani simulasi kehidupan di Planet Mars selama dua bulan di Amerika Serikat. Satu bulan pertama dia habiskan untuk menyelesaikan serangkaian test yang diberikan oleh Mars Society yang terdiri dari Musk Foundation, SpaceX, NASA, dan Nippon Hoso Kyokai. 

Tes yang harus dijalani cukup berat. Setiap hari seluruh peserta program diwajibkan menulis jurnal laporan kegiatan harian, menyelesaikan soal-soal dan situasi yang menuntut kemampuan pemecahan masalah, dan harus menjawab sekitar 84 pertanyaan tes kejiwaan yang sama berulang-ulang dalam waktu satu bulan.

Setelah lulus ujian, simulasi pun dimulai. Venzha menjadi bagian dari Team Asia, Crew 191, menghuni kubah Marsh Desert Research Station dengan diameter enam meter, di Utah, Amerika Serikat, bersama tujuh orang asal Jepang.

Setiap orang punya kapasitas dan tugas masing-masing sesuai keahlian seperti fisika, matematika, biologi dan sebagainya yang dinilai bisa mendukung hidup saat tinggal di Mars.

Simulasi kehidupan di Planet Mars
Simulasi kehidupan di Planet Mars yang diikuti Vanzha Christ di Amerika Serikat pada tahun 2018Foto: Privat

"Tugas saya adalah membawa alat untuk mendeteksi pancaran radiasi matahari," ujar Venzha. Tugas utamanya adalah memvalidasi data pancaran radiasi matahari. Ia mengatakan tugas yang diemban semua peserta tidak semudah dibayangkan. 

Mereka harus mengenakan pakaian astronaut yang bobotnya mencapai 20 kilogram di bawah terik matahari. Belum lagi suhu udara di gurun yang mencapai lebih dari 40 derajat Celsius di siang hari. Komunikasi antara peserta saat di luar kubah dilakukan melalui radio yang terpasang di baju mereka.

"Excited! Kapan meneh (lagi), Mas?" gelak Venzha saat DW Indonesia menanyakan apakah ia menyesal menjalani test dan simulasi yang menguras fisik dan psikis.

Kembali ikuti simulasi traveling ke Mars

Seolah tidak kapok, di tahun 2019, Venzha kembali menjalani simulasi perjalanan menuju Planet Mars yang juga memakan waktu dua bulan. Ia mengikuti serangkaian tes selama satu bulan dan simulasi satu bulan di program simulasi yang diselenggarakan oleh The Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA).

"Metabolisme tubuh berubah," ujar Venzha.Salah satu pelajaran yang dia dapatkan adalah, saat di ruang angkasa tidak mengenal konsep ruang dan waktu. Tidak ada jam. Tidak ada siang dan malam.

Melacak Jejak Kehidupan di Planet Mars

"Konsep ruang dan waktu hanya ada di bumi untuk membantu kehidupan manusia supaya tidak kacau. Kalau di luar angkasa, siapa yang memiliki kesepakatan konsep ruang dan waktu?" kata Venzha.

Kini, ruang dan waktu Venzha Christ lebih banyak dialokasikan untuk membangun dan mengawasi Unidentified Flying Object (UFO) Camp di Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Bersama sembilan tenaga kerja setempat, laki-laki berambut dreadlock warna biru ini lebih sering mondar-mandir antara Yogyakarta dan Nanggulan untuk segera menyelesaikan UFO Camp tersebut.

"Saya melibatkan masyarakat desa untuk mempersiapkan aktivitas sains karena di sana kegiatan seperti itu belum ada," terang Venzha yang dengan semangat terus menularkan kecintaannya terhadap luar angkasa.

(ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).