1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakKuwait

Larang Yoga di Kuwait Picu Perdebatan Soal Hak Perempuan

22 Februari 2022

Perang ideologi berkecamuk di Kuwait antara kaum konservatif dengan perempuan yang menuntut kesetaraan hak. Gesekan teranyar dipicu oleh kebijakan pemerintah melarang yoga karena dinilai merendahkan marabat perempuan.

https://p.dw.com/p/47MSs
Perempuan Kuwait berdemonstrasi menentang larangan yoga di depan gedung parlemen, 7/2.
Perempuan Kuwait berdemonstrasi menentang larangan yoga di depan gedung parlemen, 7/2.Foto: AFP

Semua berawal dari sebuah iklan yoga. Ketika seorang guru yoga asal Kuwait menawarkan paket liburan olahraga di tengah gurun pasir, kelompok konservatif seketika mengecam yoga sebagai "ancaman" terhadap moralitas perempuan. Ketika pemerintah memutuskan melarang acara tersebut, seisi negeri sontak mendebatkan kesetaraan hak bagi perempuan.

Kisruh yoga di Kuwait merupakan plot teranyar dalam perang kebudayaan yang panjang seputar perilaku perempuan di ruang publik. Kuwait adalah negeri kerajaan yang dikuasai klan-klan Arab dan kelompok konservatif. Belakangan dominasi tersebut diusik oleh gerakan modern yang menuntut kesetaraan hak bagi perempuan.

"Negara ini mundur dan semakin tertinggal dalam kecepatan yang tidak kita lihat sebelumnya," kata pegiat hak perempuan Kuwait, Najeeba Hayat. Bagi masyarakat Kuwait, gerakan mereka mengusik kebanggaan lama sebagai kekuatan progresif di Teluk Persia. Gambaran itu bersebrangan dengan aktivitas perempuan Kuwait yang semakin berani untuk turun ke jalan dan memenuhi udara kota dengan yel-yel kebebasan.

Dalam isu perempuan, Kuwait sudah tertinggal dibandingkan jirannya, Arab Saudi, yang Januari silam menggelar fesival yoga di udara terbuka. Acara itu sendiri ditanggapi warga Kuwait di media sosial dengan pesan bernada ironis.

Perempuan Pakistan berlatih yoga
Perempuan Pakistan berlatih yogaFoto: K.M. Chaudary/AP Photo/picture alliance

"Gerakan melawan perempuan di Kuwait selama ini selalu tersembunyi dan tidak terlihat, tapi sekarang ia muncul ke permukaan," kata Alanoud Alsharekh, pegiat perempuan yang sejak lama mengecam hukuman ringan bagi pelaku pembunuhan perempuan dengan dalih menjaga kehormatan. "Ia merasuki kebebasan pribadi kami," imbuhnya soal budaya misoginik di pemerintahan.

Konservatisme di ujung tanduk

Beberapa bulan lalu, pemerintah menutup kelas tari perut di sebuah studio kebugaran. Sejumlah ulama menuntut kepolisian menahan instruktur yoga yang menawarkan liburan khusus untuk perempuan itu dengan alasan penistaan agama. Mahkamah Agung Kuwait saat ini sedang menyidangkan kasus larangan terhadap Netflix terkait film yang tidak disensor.

Hamdan al-Azmi, anggota parlemen dari kubu konservatif termasuk yang paling gencar mengampanyekan larangan yoga. Menurutnya, olahraga itu merendahkan kebudayaan Arab dan tidak patut disebut sebagai warisan kebudayaan. "Jika melindungi perempuan-perempuan Kuwait dianggap terbelakang, saya merasa terhormat dipanggil seperti itu," kata dia.

Rangkaian kebijakan pemerintah yang dbuat dengan dasar agama di Kuwait membuat kelompok perempuan meradang, terutama di tengah absennya perempuan di parlemen dan ketika gelombang pembunuhan demi kehormatan semakin mengkhawatirkan.

Salah satu kasus tersebut adalah pembunuhan terhadap Farah Akbar pada awal tahun 2021 silam. Dia diseret dari dalam mobilnya dan ditikam berulangkali oleh seorang pria. Meski korban sebelumnya sudah sering melaporkan tersangka pelaku ke polisi, penahanannya tetap ditangguhkan oleh pengadilan dengan uang jaminan.

Kiprah Guru Yoga Asal Indonesia di Jerman

Tekanan bagi pegiat perempuan

Amarah publik terkait pembunuhan Farah akhirnya mendorong parlemen untuk mengamandemen Pasal 153, yang hanya mengancam hukuman kurung tiga tahun atau denda sebesar USD 46 bagi suami yang membunuh istrinya atas dasar "tindakan seksual" atau penyelewengan. Tapi ketika parlemen didorong menghapus pasal tersebut, komite urusan perempuan meminta fatwa ulama terkait urusan tersebut.

Bulan lalu, para ulama akhirnya memfatwakan bahwa Pasal 153 masih harus tetap dipertahankan. "Kebanyakan anggota parlemen berasal dari sistem yang melihat pembunuhan terhadap perempuan demi kehormatan sebagai hal normal," kata Sundus Hussain, salah seorang pegiat perempuan Kuwait.

Sebagian advokat HAM menilai gelombang konservatisme yang menguat di Kuwait mewakili rasa kepanikan terhadap perubahan di masyarakat. Setahun lalu, pegiat perempuan lokal mulai mengampanyekan gerakan #MeToo untuk melawan kekerasan seksual. Buntutnya para aktivis mendapat ancaman pemerkosaan atau pembunuhan.

"Kerugiannya sangat besar," kata Najeeba Hayat soal pengalamannya mengampanyekan hak perempuan di Kuwait.

"Kami tidak bisa keluar rumah tanpa diberhentikan oleh orang atau diganggu," katanya. Tapi "jika ada aksi protes, saya tetap akan keluar. Jika ada orang yang butuh diyakinkan, saya akan berusaha," kata dia yang segera diamini sejumlah rekan perempuan dengan kepalan tangan di udara.

Artikel ini disadur dari tulisan Isabel Debre dan Malak Harb untuk Associated Press. rzn/pkp