1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan Berujung Invasi Cina?

Prof. Dr. Dr. Alexander Görlach
Alexander Görlach
4 Agustus 2022

Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan adalah sinyal penting. Tapi konsekuensinya baru bisa terlihat dalam beberapa hari mendatang. Kolom Alexander Görlach.

https://p.dw.com/p/4F7lr
Turis di pulau wisata Pingtan menyaksikan latihan militer Angkatan Laut Cina
Turis di pulau wisata Pingtan menyaksikan latihan militer Angkatan Laut Cina dekat TaiwanFoto: Hector Retamal/AFP/Getty Images

Hanya ada satu Cina - yaitu Republik Rakyat Cina. Selain itu ada Taiwan. Kunjungan Nancy Pelosi ke pulau itu tidak merevisi posisi politik ini. Kedatangan ketua parlemen AS di Taipei itu memang sudah direncanakan sejak lama. Cina telah melakukan segalanya untuk mencegah kunjungan itu dengan segala macam ancaman.

Para pejabat di Beijing berargumen bahwa kunjungan itu menyerang integritas nasional Republik Rakyat Cina dengan mempertanyakan kedaulatan Beijing atas Taiwan. Klaim Cina memang selalu diulang-ulang, tapi pengulangan tidak membuatnya menjadi benar. Taiwan tidak pernah menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina yang didirikan pada tahun 1949, dan Partai Komunis Cina tidak pernah memerintah pulau itu.

Screenshots DW-Sendung "TTP" vom 04.03.2021
Alexander GörlachFoto: DW

Segera setelah mendarat, Nancy Pelosi menyatakan bahwa Amerika Serikat akan terus mendukung demokrasi di Taiwan. Faktanya, Taiwan saat ini berada di urutan ke-8 dalam peringkat demokrasi global, di Asia bahkan di peringkat pertama. Tidak bisa dibandingkan dengan pemerintahan diktatur di Cina, yang oleh para kritikus Cina di Internet sering disebut sebagai "Korea Barat".

Posisi AS tentang Taiwan tidak pernah berubah

Nancy Pelosi disambut oleh Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu dan kemudian bertemu dengan Presiden Tsai Ing-wen. Kedua perempuan ini dianggap sebagai politisi tangguh dengan keyakinan teguh. Tsai Ing-wen menegaskan kembali bahwa Taiwan akan melakukan apa saja untuk mempertahankan diri dari agresor. Presiden AS Joe Biden berulang kali menekankan bahwa Washington akan memberikan dukungan militer ke Taiwan jika terjadi invasi oleh Cina.

Posisi pemerintahan AS tidak pernah berubah sejak kebijakan Taiwan pertama kali diformalkan dalam Undang-Undang Hubungan dengan Taiwan pada tahun 1979. AS mengakui politik satu Cina, yaitu Republik Rakyat Cina. Sedangkan Taiwan dipandang sebagai mundurnya kubu yang kalah dalam perang saudara dan kemudian lari dan eksis di sebuah pulau.

Di AS, kebijakan Taiwan ini menjadi konsensus antara Partai Demokratr dan Partai Republik. Washington selalu menerima klaim Beijing bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayahnya, tetapi tidak pernah mendukung klaim itu. AS selalu menyatakan bahwa status quo yang ada tidak boleh diubah secara paksa dan bertentangan dengan keinginan rakyat Taiwan. Tapi itulah yang diinginkan oleh penguasa Cina saat ini, Xi Jinping.

Nancy Pelosi (kiri) dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (kanan) di Taipei
Nancy Pelosi (kiri) dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen (kanan) di TaipeiFoto: Taiwan Pool via REUTERS

Blokade laut sebagai awal invasi?

Reaksi Cina atas kunjungan Pelosi adalah pengumuman blokade beberapa jenis barang ke dan dari Taiwan, yaitu jeruk sitrun dan ikan makarel beku. Selain itu, Cina menggelar latihan militer di lepas pantai Taiwan. Karena Latihan militer yang menggunakan peluru tajam itu, Nancy Pelosi dan delegasi AS harus mencari jalur penerbangan alternatif untuk perjalanannya menuju Korea Selatan.

Beijing mengatakan manuver militer akan berlangsung di sekitar Taiwan sampai 7 Agustus mendatang, dilakukan di enam lokasi strategis. Para ahli strategi militer di masa lalu memang mengatakan, skenario blokade laut akan memainkan peran penting jika Cina ingin menduduki Taiwan dengan paksa.

Apakah Cina, yang sebentar lagi akan menjadi ekonomi terbesar dunia, akan menyerang sebuah negara kepulauan kecil dan memaksanya untuk tunduk? Jika terjadi, itu adalah tindakan yang keterlaluan.

*Alexander Görlach adalah peneliti di Carnegie Council for Ethics in International Affairs dan di University of Oxford. Pernah ntinggal di Taiwan dan Hong Kong, subjek utama penelitiannya adalah kebangkitan Cina menjadi negara adi kuasa. Dia juga memegang berbagai posisi di Universitas Harvard dan Universitas Cambridge.

(hp/yf)