1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumKorea Selatan

Korea Selatan akan Perketat Hukuman untuk Spionase Industri

15 Februari 2024

Korea Selatan telah membuat UU baru untuk mengantisipasi upaya dari Cina dan entitas asing lainnya dalam memperoleh teknologi rahasia. Sebelumnya, seorang insinyur Indonesia dicurigai telah melakukan pencurian data.

https://p.dw.com/p/4cPm7
Foto prototipe pesawat jet tempur KF-21
Otoritas Korea Selatan dilaporkan sedang menyelidiki seorang insinyur Indonesia yang bekerja pada pengembangan bersama jet tempur KF-21 karena dicurigai mencuri teknologi penting.Foto: Yonhap/REUTERS

Ketika Kementerian Perdagangan dan Industri Korea Selatan mengajukan revisi undang-undang yang mencakup spionase industri pada bulan November lalu, secara luas revisi tersebut diterima karena dirancang untuk mengantisipasi upaya perusahaan-perusahaan Cina dan pemerintah di Beijing untuk mendapatkan akses ke teknologi rahasia milik Korea Selatan.

Namun, munculnya laporan bahwa otoritas Korea Selatan tengah menyelidiki salah seorang insinyur asal Indonesia yang dicurigai mencuri teknologi penting, mengindikasikan bahwa Korea Selatan memiliki masalah yang sama dengan negara-negara yang dianggap sebagai sekutu dan mitra bisnis.

Insinyur yang dilaporkan tengah diselidiki itu adalah satu dari dari 15 insinyur asal Indonesia yang bekerja di Korea Aerospace Industries (KAI) dalam proyek pengembangan bersama jet tempur KF-21.

Revisi Undang-Undang (UU) bernama UU Pencegahan Penyingkapan dan Perlindungan Teknologi Industri itu saat ini sedang dipertimbangkan di Majelis Nasional dan akan mulai berlaku enam bulan setelah disetujui.

UU baru ini akan menaikkan hukuman denda bagi pelaku yang membocorkan kekayaan intelektual kepada perusahaan dan organisasi asing, dari 1,5 miliar won Korea (setara dengan Rp17,5 miliar) menjadi 6,5 miliar won (setara dengan Rp76,1 miliar), dan denda 3 miliar won (setara dengan Rp35,1 miliar) untuk teknologi yang tidak terlalu penting.

Kasus mata-mata industri meningkat

Menurut para ahli, hukuman baru ini sudah terlambat. Pasalnya, meningkatnya jumlah kasus spionase industri menunjukkan bahwa selama ini upaya yang dilakukan untuk melindungi teknologi yang dikembangkan di dalam negeri belum cukup, sehingga membahayakan keamanan nasional.

Menurut data pemerintah, 14 kasus spionase industri terdeteksi pada tahun 2019. Jumlah itu terus meningkat menjadi 23 kasus pada tahun 2023. Mayoritas insiden tersebut melibatkan teknologi semikonduktor mutakhir, bidang di mana perusahaan Korea Selatan merupakan salah satu pemimpin dunia.

Surat kabar Korea Times melaporkan empat karyawan dari produsen peralatan layar yang berafiliasi dengan Samsung Electronics ditangkap pada bulan Januari karena memberikan teknologi kepada PNC Process System yang berbasis di Cina.

Pencurian tersebut menyebabkan "kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada industri semikonduktor negara itu," kata jaksa penuntut seraya menambahkan bahwa kerugian finansial akibat insiden tersebut mencapai 210 miliar won.

"Peristiwa ini terus terjadi, dan merupakan indikator kuat dari masalah yang dihadapi perusahaan-perusahaan Korea dan pemerintah dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai keamanan teknologi kami," kata Park Jung-won, seorang profesor hukum internasional di Universitas Dankook Korea Selatan.

"Saya khawatir bahwa banyak orang melihat kasus Indonesia dan menganggapnya sebagai masalah yang sepele," katanya kepada DW.

"Kita perlu melihat hal ini dengan mempertimbangkan semua skandal serupa lainnya yang berdampak pada keamanan nasional dan bahkan demokrasi kita," kata Park.

"Kita harus lebih baik dalam melindungi teknologi yang dirancang untuk memastikan keamanan dan demokrasi kita," tambahnya.

Pencurian data jet tempur baru

Meski begitu, ia mengaku terkejut bahwa seorang insinyur asal Indonesia dicurigai mencoba mencuri teknologi Korea pada pesawat yang sedang dikembangkan bersama oleh kedua negara.

Menurut laporan media setelah kebocoran tersebut diumumkan pada tanggal 2 Februari, para penyelidik saat ini sedang menguraikan lebih dari 6.000 file terenkripsi di sejumlah perangkat penyimpanan yang diambil oleh insinyur tersebut.

Pria tersebut ditahan ketika ia berusaha melewati pos pemeriksaan keamanan di fasilitas pengembangan pesawat pada tanggal 17 Januari dan sedang menjalani interogasi. Insinyur tersebut diketahui telah bekerja pada proyek tersebut sejak tahun 2017 dan dikhawatirkan telah mencuri data teknologi utama selama beberapa waktu.

Berbeda dengan Park, Dan Pinkston yang merupakan seorang profesor hubungan internasional di kampus Troy University di Seoul, mengaku tidak terlalu terkejut mendengar ada mitra, baik perusahaan swasta maupun pemerintah, yang berusaha mengambil keuntungan dari setiap peluang ekonomi.

"Tidak terlalu mengejutkan bahwa negara melakukan hal ini dan mencoba untuk mendapatkan teknologi rahasia atau sensitif, apakah itu di tingkat negara atau perusahaan swasta," katanya.

Namun, ia menambahkan bahwa ancaman terbesar terhadap rahasia teknologi Korea Selatan masih berasal dari Cina.

Pendekatan 'seluruh masyarakat' oleh Cina

Beijing menggunakan pendekatan 'seluruh masyarakat' untuk memperoleh teknologi," katanya kepada DW. "Di bawah hukum Cina, setiap warga negara Cina yang diminta untuk bekerja sama dalam pengumpulan informasi atau teknologi, baik secara legal maupun ilegal, wajib melakukannya."

Selain itu, perusahaan-perusahaan Cina atau unit penyusupan siber milik negara, sangat mahir dalam mengakses sistem komputer perusahaan atau pemerintah asing dan mengumpulkan informasi yang berguna, katanya.

Dan itu berarti tergantung pada semua perusahaan dan pemerintah asing untuk menerapkan langkah-langkah defensif yang mampu mencegah penyusup.

"Pertumbuhan spionase siber telah mengubah lanskap dan sekarang ada kebutuhan yang lebih besar untuk kolaborasi antara perusahaan swasta dan pemerintah mereka untuk melindungi pengetahuan dan rahasia mereka," pungkas Pinkston.

bh/gtp

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.