1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

250509 UN Aussöhnung Kolumbien Krieg

11 Juni 2009

Presiden Alvaro Uribe berupaya menghentikan spiral kekerasan di negaranya dengan politik tangan besi. Rekonsiliasi hanya berhasil di tingkat akar rumput. Di tingkat nasional perang selama 45 tahun masih menyisakan luka.

https://p.dw.com/p/I7j6
Foto: Steffen Leidel

Perang di Kolumbia adalah perang terpanjang di Amerika Latin. Selama 45 tahun konflik ini berlangsung ada sejumlah upaya pendamaian, tapi tak ada yang membuahkan hasil.

Politik tangan besi Presiden Alvaro Uribe didukung sebagian besar warga Kolumbia. Uribe mencatat sejumlah keberhasilan. Angka tindak kekerasan menurun, kelompok gerilya melemah dan paramiliter radikal kanan melalui proses demobilisasi.

Walau begitu, pegiat HAM mengkritik politik Uribe. Upaya rekonsiliasi tak seharusnya dilandasi kekerasan. Sementara itu, sejumlah inisiatif kecil justru lebih berhasil mendamaikan kawasan yang dikoyak perang selama puluhan tahun ini.

Rekonsiliasi di Akar Rumput

Semuanya berubah, demikian isi lagu yang dilantunkan para pemuda yang datang ke "Bengkel Kehidupan".

Bildergelerie Kolumbien Versöhnung Bild 3: Feinde werden zu Freunden
Lawan yang menjadi kawanFoto: Steffen Leidel

"Di sini, para lelaki muda menemukan tempat, di mana mereka dapat memperbaiki hidup mereka, di rumah ini kita belajar saling mengenal melalui teater, musik capoera atau rap.“ Demikian ungkap Stella Duque dari inisiatif "Bengkel Kehidupan".

Musik dan kesenian yang mengantar laki-laki dan perempuan muda memasuki babak hidup yang baru. Hidup lama mereka hanya meninggalkan luka dan trauma. Mereka adalah anak-anak perang. Sebagian memanggul senjata, berperang bersama kelompok gerilya atau paramiliter sebagai tentara anak-anak. Sebagian lagi adalah korban kelompok-kelompok bersenjata itu, pengungsi di negerinya sendiri. Tak hanya raga mereka yang terluka. "Bengkel Kehidupan" yang antara lain didukung organisasi bantuan anak-anak Terre des Homme, juga menampung mereka yang tersayat jiwanya karena perang.

Menurut Stella Duque: "Mereka sangat lemah bila sampai di sini. Mereka gampang terpancing, marah dan geram. Tapi juga sangat mudah terkejut.“

Berpaling dari Kekerasan

Seperti misalnya Mario. Saat ia berusia 13 tahun, ia bergabung dengan kelompok paramiliter. Mereka memberinya senapan mesin AK47 dan ransel seberat 50 kilogramm. Ia bercerita: "Kami lari terus. Kalau bertemu gerilyawan, kami melawan mereka. Kami juga bertempur lawan militer atau polisi. Kami selalu berpikir, kami mungkin mati.“

Mario tak hanya menyaksikan banyak korban jiwa jatuh, ia juga turut merenggut nyawa. Tahun 2005 ia meletakkan senjata, mengikuti proses demobilisasi bersama sekitar 31.000 paramiliter lainnya. Di "Bengkel Kehidupan" ia bertemu kawan maupun lawan lama.

"Awalnya saya agak takut. Saya pikir, mungkin pemuda dari kelompok lain akan membunuh saya. Sekarang saya tinggal di kontrakan, satu rumah dengan dua bekas paramiliter dan seorang lagi bekas anggota FARC. Kami sekarang berteman.“

Bildergelerie Kolumbien Versöhnung Bild 2: Foto der Vergangenheit
Bagian masa lalu: Sebagian warga Kolumbia pernah memanggul senjataFoto: Steffen Leidel

Konflik bersenjata di Kolumbia sudah berlangsung puluhan tahun. Tiga pihak yang terlibat bentrokan kepentingan adalah polisi dan militer, kelompok paramiliter dan kelompok gerilya seperti FARC.

Stella Duque adalah salah satu korban konflik. Ayahnya dibunuh kelompok paramiliter. Tak mudah bagi Stella untuk bekerja bersama bekas paramiliter dan gerilyawan. Selama berbulan-bulan ia bergumul sampai akhirnya berani menjalani keputusan ini.

"Sama sekali tidak mudah. Kami lalu mengatakan: ayo berkenalan! Mereka yang terusir, paramiliter dan gerilyawan, mereka duduk bersama dan bertukar cerita. Awalnya mereka tidak bisa saling memandang, tapi lama-kelamaan kami belajar untuk saling mengenal sebagai manusia, kami semua mengalami kekerasan.“

Rekonsiliasi nasional

Ini adalah proses pendamaian berskala kecil. Di tingkat nasional, upaya rekonsiliasi tak membuahkan hasil. Presiden Uribe mengandalkan kekuatan militer dalam menghadapi kelompok gerilyawan. Sementara untuk kelompok bersenjata paramiliter, Uribe berhasil menyepakati demobilisasi atau peletakan senjata.

Andreas Forer dari Lembaga Kerja Sama Teknis Jerman (GTZ) mengamati proses rekonsiliasi di Kolumbia. Pengacara Jerman dan timnya mendampingi kejaksaan Kolumbia dalam upaya penyelenggaraan Undang-Undang Keadilan dan Perdamaian yang diratifikasi Presiden Uribe tahun 2005 lalu. Undang-undang ini merupakan kerangka hukum bagi demobilisasi paramiliter. Mereka yang secara sukarela meletakkan senjata mendapat hukuman yang lebih ringan, kata Andreas Forer:

"Mereka mengakui apa yang mereka lakukan di depan jaksa. Seluruh harta mereka diserahkan untuk mengkompensasi para korban, dan mereka tidak boleh melakukan kejahatan lagi. Untuk itu mereka mendapat hukuman yang lebih ringan, bagi pembunuhan yang keji sekalipun – mereka tak hanya menembak mati korban, ada juga korban yang dipotong-potong di depan anggota keluarganya dan mayatnya dibuang ke sungai. Untuk kekejian seperti itu mereka seharusnya dihukum 40 sampai 60 tahun, tapi mereka hanya divonis lima sampai delapan tahun penjara.“

Videoaufnahme einer Anhörung eines Paramilitärs in Kolumbien
Rekaman video dengar pendapat seorang bekas paramiliterFoto: Steffen Leidel

Proses persidangan dan dengar pendapat disiarkan melalui video ke desa-desa terpencil. Para korban mendapat kesempatan untuk menyaksikan persidangannya. Jerman mengirimkan kendaraan khusus untuk melakukan siaran kepada pemerintah Kolumbia. Sehingga para korban bisa melontarkan pertanyaan langsung kepada pelaku:

"Mereka ingin tahu, apa yang terjadi pada anak saya, suami saya. Tapi, orang yang ditanyai itu tidak tahu detilnya, apa yang terjadi pada si A atau korban B. Mereka juga tak ingat nama para korban. Karena itu, korban selamat banyak yang frustasi, mereka mendengar suatu bentuk kebenaran, ada kelompok pembunuh, tapi mereka tak tahu, apa sebetulnya yang terjadi.“

Kritik Pegiat HAM

Undang-Undang Keadilan dan Perdamaian banyak dikritik oleh organisasi HAM dan kelompok yang mewakili para korban. Mereka memandangnya sebagai suatu undang-undang pemberian amnesti. Luiz Gonzales dari kantor kejaksaan agung yang turut meluncurkan UU Keadilan dan Perdamaian menolak kritik tersebut:

"Negara ini masih dirundung konflik. Di sini ada kelompok gerilya, ada bandar narkoba, kelompok bersenjata baru yang terlahir dari kelompok paramiliter. Meski banyak pihak menolak mengakuinya, tapi undang-undang ini memberi peluang kepada para korban untuk mengikuti proses ini, untuk menyampaikan ceritanya. Dan pelaku membantu mengungkap kebenaran. Secara sukarela, tanpa ada surat penahanan terhadap mereka.“

Bildergelerie Kolumbien Versöhnung Bild 9: Realität, keine Fiktion
Pertunjukkan sandiwara 'Bengkel Kehidupan'Foto: Steffen Leidel

Kembali di "Bengkel Kehidupan". Kaum muda yang tergabung dalam kelompok ini mempertunjukkan sandiwara yang berdasar para pengalaman pribadi mereka. Seperti misalnya Jarai:

"Saya memerankan petani yang kehilangan tanahnya, ini kisah saya sendiri. Saya hanya memainkan otobiografi saya di atas panggung.“

Sebenarnya, Stella sedikit kuatir. Jarai menerima ancaman atas nyawanya. Di kawasan kota tempat ia tinggal muncul daftar target pembunuhan dan nama Jarai tercantum di sana. Daftar tersebut disebarkan kelompok bersenjata yang baru terbentuk. Banyak pihak menduga, kelompok tersebut dipimpin bekas paramiliter. Kelompok ini bertanggung jawab atas pembunuhan puluhan pemuda di pinggiran kota Bogota. Stella kritis terhadap politik tangan besi Uribe. Menurutnya, kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru.

"Saya kira, jalan keluar dari konflik hanya bisa melalui dialog, Di Kolumbia harus ada era yang baru. Sejak saya lahir, saya mengenal konflik, saya hidup dalam konflik. Dan ini dialami satu generasi di Kolumbiam apakah generasi berikutnya harus melewati hal sama?“

"Tidak" Jawaban tegas dari kaum muda di Bengkel Kehidupan yang dipimpin Stella. Mereka menolak untuk tetap hidup dalam konflik. Mereka memilih "Resistencia" atau melawan kekerasan. Satu-satunya senjata dalam perjuangan ini adalah seni dan teater.

Steffen Leidel/Ziphora Robina
Editor: Ayu Purwaningsih