1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kirim Lebih Sedikit E-mail Bisa Kurangi Jejak Karbon?

13 Mei 2022

Berkirim sedikit e-mail atau batasi langganan e-mail promo dinilai bisa kurangi jejak karbon. Aktivis khawatir langkah ini ibarat menyiram sepercik air ke rumah yang kebakaran.

https://p.dw.com/p/4BBFp
Gambar ilustrasi perempuan berkirim e-mail
Ilustrasi pengiriman e-mailFoto: Unai Huici/Addictive Stock/imago images

Emisi karbon saat ini masih menjadi masalah besar di dunia. Jejak karbon akan menyebabkan serangkaian dampak negatif di alam. Beberapa di antaranya adalah kekeringan, berkurangnya sumber air bersih, cuaca ekstrem, bencana alam, dan lainnya.

Mengutip laman Kementerian ESDM RI, jejak karbon adalah jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan atau aktivitas manusia pada kurun waktu tertentu. Berbagai aktivitas sehari-hari yang menyebabkan bertambahnya jejak karbon di alam, misalnya penggunaan bahan bakar fosil, polusi kendaraan bermotor, penggunaan energi listrik serta air yang berlebihan, dan lainnya.

Apa hubungan e-mail dan jejak karbon?

Sekilas, antara surat elektronik atau e-mail dan jejak karbon yang dilepaskan ke alam memang sepertinya tidak berhubungan. Namun, sebenarnya keduanya punya hubungan sebab akibat. Sederhananya, agar bisa mengirim e-mail dari laptop atau ponsel, itu pun membutuhkan energi listrik agar bisa alat tersebut bisa menyala. Selain itu layanan internet untuk mengirim e-mail juga butuh energi listrik.

Yang menjadi masalah, sampai saat ini kebanyakan energi di dunia dihasilkan oleh bahan bakar fosil, bukan energi terbarukan. Energi yang dihasilkan dari bahan bakar fosil ini akan menghasilkan emisi karbon yang dilepaskan ke alam.

Sebuah penelitian tahun 2019 oleh OVO Energy, perusahaan penyedia energi independen di Inggris, menyebut bahwa mengurangi mengirim e-mail yang tak terlalu penting bisa mengurangi produksi karbon hingga 16.433 ton. Penelitian ini juga menyebut bahwa sekitar 72% orang Inggris sama sekali tak sadar kalau ada jejak karbon yang tertinggal dari e-mail yang mereka kirimkan.

Dalam laman resminya, peneliti menyimpulkan setidaknya ada lebih dari 64 juta e-mail di Inggris yang tidak perlu dikirim setiap harinya. E-mail ini hanya dianggap basa-basi, seperti ucapan terima kasih atau sekadar sapaan 'Hai.' Kebiasaan ini inilai telah menyumbang 23.475 ton karbon per tahun ke jejak karbon di Inggris.

Dinilai tidak signifikan

Menanggapi hasil penelitian itu, ternyata tak semua ahli sepakat. Adila Isfandiari, Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia mengatakan tidak sepenuhnya yakin bahwa menghapus atau mengurangi berkirim e-mail bisa berdampak signifikan dalam mengurangi jejak karbon.

"Kalau kita bicara e-mail, pasti bicara soal energi yang dipakai server. Jadi, dalam urusannya dengan jejak karbon akan balik lagi pertanyaannya pada energi yang digunakannya dari mana, apakah energi fosil atau energi terbarukan," ungkapnya kepada DW Indonesia.

Berdasar data Carbon Brief, Indonesia menempati posisi 5 di dunia penyumbang emisi karbon terbesar di dunia (4,1%). Posisi pertama ditempati oleh Amerika Serikat (20,3%), posisi kedua Cina (11,4%), ketiga Rusia (6,9%), dan keempat ditempati Brasil (4,5%). 

"Menghapus e-mail itu adalah langkah individual. Sementara, yang kita hadapi saat ini yang sudah krisis iklim global. Langkah individual sudah sulit untuk bisa mengatasi isu global ini. Ibaratnya menyiram seember air buat rumah yang kebakaran, tidak akan memadamkan apinya. Jadi butuh perubahan sistem yang besar," ujar Adila.

Hal senada juga diungkapkan oleh Pakar Sains Data Universitas Airlangga, Muhammad Noor Fakhruzzaman. Pria yang biasa disapa Ruzza ini membenarkan bahwa e-mail bisa menyumbang pemanasan global. Namun penggunaan energi listrik oleh penyedia layanan e-mail tidak akan berkurang signifikan hanya dengan menghapus e-mail tak berguna.

Ruzza menambahkan, aktivitas digital tidak berdampak langsung pada penambahan emisi karbon. Semuanya bergantung pada sumber energi yang digunakan penyedia layanan. Dia mendorong penggunaan sumber energi terbarukan, bukan bahan bakar fosil.

Kurangi langganan email promosi dan milis

Anggapan berbeda disampaikan Dr. Rudi Rusdiah, Ketua Asosiasi Big Data dan AI (ABDI). Ia setuju bahwa mengurangi berkirim e-mail bisa mengurangi jejak karbon.

"Karena pada waktu kirim email pasti banyak gunakan energi. Pesan e-mail itu tidak diterima langsung dari A ke B. Tapi ada perhentiannya (hop) dulu. Sejak e-mail dikirim, lewat satelit, lalu data e-mail ini akan disimpan di active server pages (ASP), lalu ke data center, kemudian disimpan di provider, kemudian masuk ke e-mail penerima. Semuanya memakai energi yang cukup besar," ucapnya.

"Data center di dunia itu sama dengan 60 pembangkit listrik tenaga nuklir. Data akan disimpan di data center dan makan energinya juga banyak. Memang, untuk satu e-mail saja tidak banyak tapi kalau ribuan orang yang melakukannya bisa menghemat energi," kata Rudi Rusdiah kepada DW Indonesia.

"Dibanding e-mail 'terima kasih,' 'hai' atau basa-basi, junk mail di e-mail dan spam, sampai pesan-pesan di mailing list (milis) itu jauh lebih besar jejak karbonnya dibanding dengan e-mail yang dikirim satuan dan pribadi. Tapi saya tidak ada data pasti berapanya."

Junk mail yang ia maksud antara lain e-mail broadcast (pengiriman secara massal) atau berlangganan milis aneka promo seperti promo hotel, restoran, busana, dan lainnya. Kebanyakan orang Indonesia menggunakan e-mail tidak sekadar buat kebutuhan personal, tapi juga untuk mendaftar media sosial, berlangganan aneka promo, hingga belanja online

Jejak karbon tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah e-mail yang dikirimkan, tetapi juga ukuran lampiran, misalnya foto atau video. E-mail yang mengandung foto atau video akan membutuhkan energi lebih besar.

Harga lingkungan dari e-mail gratis

Saat ini kemajuan teknologi membuat pesan instan jadi semakin mudah diakses dan juga cepat, dan dianggap gratis. Namun ada kekhawatiran tersendiri di baliknya. Rudi mengatakan bahwa anggapan penggunaan e-mail dan sosial media gratis menyebabkan orang tidak pikir panjang.

"Semua balik ke edukasi, memang bikin e-mail, dan akun sosial media itu memang tidak bayar tapi semua meninggalkan jejak karbon. Orang tidak bayar langsung, paling bayar pulsa berapa, sisanya, lingkungan yang bayar."

Untuk setidaknya mengurangi sedikit jejak karbon yang muncul karena teknologi, Rudi menyebutkan bahwa keluar dari grup pesan instan yang tidak perlu, berhenti berlangganan berbagai milis promo dan akun e-mail yang tak digunakan adalah cara yang bijak.

Hapus atau jangan?

Lantas apakah dengan menghapus e-mail yang tak dibaca, tak penting, dan e-mail basa-basi bisa menyelesaikan masalah jejak karbon? Untuk satu hal ini, baik Ruzza dan Rudi sepakat bahwa menghapus e-mail tidak berarti menghapus jejak karbon, justru sebaliknya.

"Walaupun kita hapus semua e-mail kita, server akan terus berjalan dan mengonsumsi energi listrik yang mengeluarkan emisi karbon selama ada aktivitas surat-menyurat para pengguna e-mail," kata Ruzza.

Sementara Rudi mengungkapkan bahwa menghapus e-mail justru bakal membuang energi dua kali lebih banyak. Apalagi ketika sistem penyedia layanan masih menggunakan bahan bakar fosil yang meninggalkan emisi jejak karbon tinggi.

"Saat menghapus e-mail, berarti laptop atau ponsel harus nyala. Dan ini butuh energi, listrik harus nyala. Tapi bayangkan saja berapa energi yang dipakai buat kirim e-mail ini. Mau dihapus pun, energinya yang dibutuhkan untuk mengirim e-mail ini sudah terbuang untuk bisa sampai ke penerima." (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.