1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiGlobal

Kenapa Harga Tiket Pesawat Semakin Mahal?

Arthur Sullivan
14 November 2023

Maskapai di seluruh dunia bergelimang keuntungan, karena harga tiket yang tinggi tidak menyurutkan niat konsumen untuk tetap mengudara. Namun meski mahal, tiket pesawat dianggap masih terlampau rendah. Kenapa demikian?

https://p.dw.com/p/4YkIZ
Ilustrasi penerbangan udara
Ilustrasi penerbangan udaraFoto: Rainer Keuenhof/picture alliance

Penerbangan sipil diyakini tidak akan menjadi lebih murah di masa depan, terutama karena ongkos lingkungan yang hingga kini masih diabaikan.

Bulan lalu, Uni Eropa memastikan, harga rata-rata tiket pesawat pada pertengahan tahun 2023 meningkat antara 20 hingga 30 persen, dibandingkan tahun 2019. Lonjakan harga dicatat terjadi hampir bersamaan di seluruh dunia pada awal 2022, ketika Rusia menginvasi Ukraina dan memicu krisis energi dunia.

Namun laju kenaikan harga tiket pesawat tidak selaras dengan kenaikan angka inflasi. Sebabnya Komisi Eropa pekan ini mengumumkan akan memeriksa, "apa yang sebenarnya terjadi di pasar dan kenapa," kata Komisioner Transportasi, Adina Valean, kepada Financial Times.

Maskapai memberikan ragam penjelasan, mulai dari gairah wisata konsumen yang tinggi hingga gangguan rantai suplai untuk berbagai komponen dan suku cadang.

Aeropod: Daur Ulang Badan Pesawt Terbang

Terjebak hukum pasar atau pembengkakan aritifisal?

Kelangkaan suku cadang turut membayangi musim liburan 2023 yang ditandai lonjakan angka penumpang. Karena laju permintaan dan penawaran tidak lagi seimbang, harga tiket akhirnya meningkat dramatis. Fenomena ini menjadi berkah bagi maskapai internasional.

Ryanair, maskapai murah terbesar di Eropa, mengumumkan rekor keuntungan senilai USD 2,1 miliar tahun ini. Situasi serupa diumumkan Lufthansa,  Emirates, Air-France-KLM dan American Airlines. Asosiasi maskapai internasional, IATA, memperkirakan, industri penerbangan akan mencatatkan pemasukan sebesar USD 800 miliar tahun ini, untuk pertama kalinya sejak 2019.

Asumsi ketimpangan pasar dibantah Karolina Wojtal dari Pusat Jejaring Konsumen Eropa. Menurutnya, maskapai secara sengaja membengkakan harga tiket, yang terlihat pada laju kenaikan yang melampaui tingkat inflasi.

"Maskapai biasanya menaikkan harga secara artifisial melalui sistem pemesanan," kata dia. Praktik tersebut dimudahkan oleh "gairah konsumen yang ingin kembali berpergian setelah pandemi virus Corona," imbuhnya.

Terbang Hanya dengan Energi Angin dan Surya

Membayar ongkos lingkungan

Menurut Jon Worth, analis transportasi rel di Jerman, mengimbau pemerintah mengajak maskapai untuk mencegah praktik penerbangan eksesif atau berlebihan. "Kita harus bertanya struktur harga seperti apa yang masuk akal, demi membuat gentar mereka yang terlalu sering terbang dan mewakili sebagian besar penumpang maskapai," kata dia.

"Pada akhirnya, kita harus mengurangi jam terbang. Tiket pesawatpun harus lebih mahal dalam jangka menengah dan panjang karena kita harus mencegah orang untuk terbang terlalu sering."

Tren harga tiket yang tinggi kelak akan semakin lebih mahal dengan ragam regulasi lingkungan yang harus dipatuhi maskapai dan produsen pesawat terbang. Tingginya emisi gas rumah kaca di kedua industri aviasi dan penerbangan harus diatasi dengan solusi berharga mahal.

Untuk menjembatani pengembangan teknologi mesin penggerak niremisi, maskapai saat ini hanya bisa mematuhi batasan emisi lewat penggunaan bahan bakar khusus atau membayar denda iklim. Kedua opsi ujung-ujungnya akan dibebankan kepada penumpang.

"Artinya, harga tiket akan tetap tinggi karena bahan bakar pesawat yang berkelanjutan masih lebih mahal ketimbang kerosin," kata Willie Walsh, Direktur Jendral IATA. "Transisi menuju ekonomi berkelanjutan akan menelan biaya yang tidak sedikit," pungkasnya.

rzn/hp