1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kembalinya El Nino Berpotensi Perparah Inflasi

20 Juni 2023

Fenomena iklim El Nino tiba di awal tahun ini dengan ancaman banjir di Amerika Selatan dan kekeringan di Asia Tenggara. Kerentanan ekonomi global terhadap dampak El Nino berpotensi memicu kerugian besar dan inflasi.

https://p.dw.com/p/4Slvo
Kekeringan di Kupang, Nusa Tenggara Timur
Kekeringan di Kupang, Nusa Tenggara TimurFoto: Azwar Ipank/AFP

El Nino, fenomena pemanasan Suhu Muka Laut di jantung Samudera Pasifik, secara resmi telah tiba setelah empat tahun dan dikhawatirkan bakal memperparah nilai inflasi bahan pangan. 

Pekan lalu, Lembaga Oseanografi dan Atmosfer AS, NOAA, memprediksi bahwa pengaruh El Nino sudah terasa dan diperkirakan "akan menguat secara perlahan” dalam enam hingga sembilan bulan ke depan.

Dampaknya adalah maraknya cuaca ekstrem di belahan Bumi selatan,” kata Harald Kunstmann, seorang guru besar di Institut Riset Meteorologi dan Iklim IMK-IFU, Karlsruhe, Jerman. "Ada kemungkinan besar munculnya periode El Nino yang kuat,” kata dia.

"Jika terjadi, kita harus mengantisipasi tingkat keekstreman dan anomali iklim yang sama seperti yang kita kenal dari fenomena ini,” imbuhnya.

How do El Nino and La Nina come about?

Petaka cuaca El Nino

El Nino ditandai dengan kenaikan Suhu Muka Laut (SML) di Pasifik Tengah dan Timur, yang bergerak ke selatan Amerika.

Di sana, tingginya suhu air mempercepat terjadinya penumpukan awan dan curah hujan yang tinggi. Sebaliknya di Asia Tenggara dan Asia Selatan, perubahan pada suhu laut justru mengurangi curah hujan dan memicu kekeringan.

El Nino biasanya bertukar peran dengan fenomena lain, yakni La Nina, selama empat atau lima tahun sekali. 

Dampaknya adalah disrupsi pada sektor perikanan, pertanian dan perkebunan. El Nino juga berpotensi memperparah dampak pemanasan global.

Pada 2016, fenomena ini berkontribusi mencatatkan tahun terpanas dalam sejarah pencatatan cuaca. Kedatangan El Nino pada 2019 juga ditandai oleh kekeringan dan kebakaran hutan di Asia Tenggara.

Korelasi antara pemilu dan karhutla di Indonesia
Angka titik api di Indonesia sebelum dan sesudah pemilihan umum

Kerugian senilai miliaran Dollar AS

Kerugian ekonomi akibat fenomena El Nino di masa lalu tercatat terus membesar, bahkan jauh setelah berakhirnya kondisi cuaca ekstrem. 

Pada 1982-83, dampak keuangan masih terasa hingga separuh dekade setelahnya dan mencatatkan kerugian senilai USD 4,1 miliar, menurut data Dartmouth College, AS.

Dalam sebuah riset untuk jurnal ilmiah Science, ilmuwan mencatat kerugian ekonomi global akibat musim El Nino 1997-98 mencapai USD 5,7 triliun. Saat itu, Indonesia dilanda kebakaran hutan ekstrem yang mencuatkan angka pemborosan emisi oleh Indonesia.

"Kami bisa katakan dengan pasti bahwa perekonomian dan masyarakat tidak bisa mendapat pukulan lalu pulih dengan mudah,” kata Christopher Callahan dari Dartmouth College. 

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang terdampak akan tetap dirasakan selama 14 tahun setelah berakhirnya musim El Nino, bahkan lebih. 

ElNino dan Kebakaran Hutan

Lonjakan inflasi akibat gagal panen?

Riset oleh Dartmouth College menemukan,musim El Nino 1982-83 dan 1997-98 menyusutkan Produk Domestik Brutto di AS sebanyak 3 persen pada 1988 dan 2003. Kerugian juga menimpa sektor pertanian di Peru dan Indonesia yang menyumbang 15 persen terhadap PDB. Di kedua negara, dampak El Nino memangkas pertumbuhan sebesar 10 persen di sektor pertanian pada 2003.

"Dampak ekonominya mulai terasa di sektor perikanan, yang merugi akibat tingginya Suhu Muka Laut,” kata Kunstmann. "Lalu kerugian akan mulai menimpa kawasan pertanian di Afrika, Amerika Selatan dan sejumlah wilayah Amerika Utara. Karena, jika hasil panen buruk, infrastruktur rusak akibat bencana cuaca ekstrem, sektor asuransi juga akan merugi,” imbuhnya.

Sebuah pemodelan statistik oleh Bloomberg Economics pekan ini menyebut, musim El Nino lalu memperkuat inflasi bagi komoditas non-energi sebanyak empat persen. Angka inflasi ditaksir 0,75 persen lebih besar di Amerika Selatan dan 0,5 persen di Asia Tenggara dan Selatan di musim El Nino.

Dengan prediksi El Nino yang dikhawatirkan akan menjadi yang terpanas dan paling mahal, analis memperkirakan fenomena itu akan memperpanjang periode inflasi tinggi yang muncul sejak pandemi Covid-19.

rzn/hp

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Nik Martin Penulis berita aktual dan berita bisnis, kerap menjadi reporter radio saat bepergian keliling Eropa.