1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAmerika Serikat

Ke Saudi dan Israel, Presiden AS Biden Hadapi Ranjau Politik

12 Juli 2022

Presiden AS Joe Biden akan berkunjung ke Israel dan Arab Saudi mulai Rabu (13/07). Perjalanannya itu dipenuhi kontroversi menyusul langgam autoritariansime penguasa Saudi dan krisis keamanan di Tepi Barat Yordan.

https://p.dw.com/p/4Dy6c
Presiden AS, Joe Biden
Presiden AS, Joe BidenFoto: picture alliance / ASSOCIATED PRESS

Pernah mengritik Arab Saudi sebagai "negara paria" lantaran pembunuhan jurnalis AS, Jamal Khashoggi, Presiden AS Joe Biden, kini mempersiapkan lawatan pertamanya ke negeri kerajaan itu. Dia dijadwalkan akan tiba di Israel pada Rabu (13/07), sebelum bertolak ke Jeddah pada Jumat (15/7). Di kedua negara, Biden diagendakan membahas isu keamanan dan perdagangan senjata.

Sebagai kandidat Presiden, Biden pada 2018 sempat mengecam Riyadh atas pembunuhan Khashoggi yang diundang ke gedung konsulat Saudi di Turki, sebelum dibunuh dan dimutilasi jenazahnya. Dalam sebuah editorial untuk harian Washington Post itu, dia menyebut Saudi sebagai "negeri paria," yang tidak mengindahkan martabat manusia.

Setelah berkuasa, pemerintahannya menerbitkan temuan dinas rahasia AS yang mengidentifikasi putera mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, sebagai dalang utama pembunuhan Khashoggi.

Sikapnya itu berubah menyusul krisis geopolitik yang memicu kelangkaan bahan bakar dan krisis ekonomi di seluruh dunia. Bagi AS, persekutuan dengan Arab Saudi menjamin pasokan minyak mentah dan pemesanan senjata yang mendatangkan devisa.

"Di Arab saudi, kami menghentikan kebijakan cek kosong yang kami wariskan dari pemerintahan sebelumnya," tulis Biden dalam editorial untuk Washington Post, Sabtu (9/7) kemarin. "Sejak awal, tujuan saya adalah mengorientasikan ulang, bukan memutus, hubungan dengan Arab Saudi."

"Saya tahu ada banyak yang tidak setuju dengan keputusan saya berkunjung ke Arab Saudi," tulisnya lagi, merujuk pada kelompok progresif kiri di tubuh Partai Demokrat. Dia berjanji akan tetap "menegakkan kebebasan fundamental dalam agenda" pembahasan dengan penguasa di Riyadh.

Menurutnya, kunjungan ke Saudi diperlukan untuk "membantu menstabilkan pasar minyak dunia," kata Biden.

Pertemuan Biden dengan MbS

Jon Alterman, Wakil Presiden Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, mengatakan pemerintahan Biden "menemukan lagi apa yang telah ditemukan oleh pemerintahan AS sebelumnya, bahwa banyak hal di Timur Tengah atau di dunia yang akan lebih mudah dicapai jika Saudi bersedia membantu, dan akan lebih sulit jika mereka menolak."

Washington ingin agar Saudi menambah kapasitas produksi untuk menurunkan harga minyak. Jika berhasil, Partai Demokrat berharap bisa mendapat dukungan elektoral untuk memenangkan pemilu sela, November mendatang.

Namun demikian, kunjungannya juga bernilai simbolis, terutama bagi Mohammed bin Salman yang dijadwalkan akan bertemu Joe Biden. Menurut Marti Flacks dari CSIS, kesempatan itu bisa digunakan oleh MbS untuk mengiklankan diri bersama "pemimpin Dunia Barat." Sebab itu dia meyakini Gedung Putih akan berusaha mengatur pertemuan keduanya secara seksama untuk mencegah pemberitaan miring.

"Masalahnya adalah, pihak lain selalu bisa mengganggu rencana itu jika mereka benar-benar berniat," imbuhnya.

Bagi Biden, kunjungannya melampaui pencitraan simbolik karena mengagendakan sejumlah isu pelik, yakni antara lain program nuklir Iran, perang di Yaman, serta krisis politik di Suriah, Libya, Irak dan Lebanon.

Terutama ambisi atom Iran akan dijadikan agenda utama oleh tuan rumah Israel, ketika Biden dijadwalkan bertemu Perdana Menteri Yair Lapid. Di sana, dia juga disibukkan oleh pembunuhan jurnalis AS, Shireen Abu Akleh, yang ditembak serdadu Israel pada Mei silam. Keluarga Akleh telah meminta pertemuan dengan Biden untuk mendesakkan investigasi independen. Namun Gedung Putih sejauh ini menolak mengomentari permintaan tersebut.

rzn/pkp (afp,ap)