1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan PersIndonesia

Jadi Caleg Tapi Masih Rangkap Jurnalis? Bagaimana Baiknya?

28 Juni 2023

Di alam demokrasi, setiap warga negara yang berhak memilih dan dipilih, bebas mencalonkan diri jadi anggota legislatif (caleg). Adakah batasannya bagi jurnalis?

https://p.dw.com/p/4T6Oq
Ilustrasi jurnalis televisi tengah meliput
Ilustrasi jurnalis televisi tengah meliputFoto: Madalena Sampaio/DW

Kontestasi menuju kursi legislatif baik di tingkat daerah maupun nasional di Indonesia memang selalu menarik untuk dibahas. Di alam demokrasi, setiap warga negara yang berhak memilih dan dipilih pun bebas berpartisipasi dalam proses pemilihan umum yang akan berlangsung tahun 2024. Maka tidak heran jika selama masa pendaftaran caleg pada Mei lalu, mayoritas partai politik menyerahkan daftar nama caleg dengan jumlah maksimal yaitu 580 orang.

Pendaftaran calon legislatif hingga pertengahan Mei lalu diwarnai sejumlah jurnalis yang mendaftarkan diri menjadi bakal calon legislatif dari berbagai partai politik. Di antaranya Prabu Revolusi, Aiman Witjaksono, Dian Mirza, dan Ratu Nabilla yang dikenal sebagai presenter dan reporter media diusung Partai Perindo.

Sebagai warga negara, jurnalis juga memiliki hak berpolitik. Namun, pencalonan ini dinilai kontroversial dan rawan konflik kepentingan oleh sejumlah lembaga pers dan pakar politik. Mereka pun mendesak jurnalis yang mendaftarkan diri sebagai bakal calon legislatif atau memilih terjun ke politik praktis, baik menjadi simpatisan maupun tim sukses kampanye, untuk segera mengundurkan diri dari profesinya.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim, mengatakan tanpa mengundurkan diri, pencalonan ini menyebabkan adanya konflik kepentingan sehingga mereka tidak bisa bekerja independen. 

"Sangat jelas sekali itu melanggar kode etik dan menimbulkan bias dalam pemberitaan. Dia sudah tidak bisa lagi bekerja untuk publik karena dia berpihak kepada salah satu kelompok politik tertentu yang dia usung," ujar Sasmito kepada DW Indonesia.

Menurutnya, kode etik jurnalistik mengatur independensi jurnalis dalam kerja jurnalistiknya, sehingga tidak bisa begitu saja maju sebagai calon legislatif sambil juga bekerja sebagai jurnalis.

"Sebaiknya bagi rekan yang mengambil hak politiknya untuk maju dalam kegiatan politik praktis seperti menjadi simpatisan atau timses mundur dari kerja sebagai jurnalis," kata Sasmito.

Melalui surat edaran Dewan Pers Nomor 01/SE-DP/XII/2022, Dewan Pers telah mengeluarkan aturan jurnalis yang aktif di partai politik.

Wakil Ketua Dewan Pers, M Agung Dharmajaya, mengatakan pihaknya sudah menyampaikan agar wartawan yang ikut kontestasi politik atau menjadi tim sukses lebih dulu cuti atau nonaktif. "Kalau saya malah tidak sekadar cuti, tapi kalau perlu sebaiknya berhenti atau mundur. Ini agar sikapnya tidak ambigu," kata Agung dalam press release akhir bulan lalu.

Diminta mundur sesegera mungkin

Sasmito Madrim dari Aliansi Jurnalis Indonesia  menyarankan para jurnalis untuk mundur sesegera mungkin begitu mereka memutuskan untuk mengikuti pendaftaran caleg.

"Kalau mundur saat sudah menjadi caleg maka akan banyak kegiatan-kegiatan politik saat dia mendaftar hingga ditetapkan menjadi caleg sehingga bisa mempengaruhi kinerja newsroom menjadi tidak independen lagi," ujar dia.

Dampaknya, kata dia, publik dirugikan karena jurnalis seharusnya bekerja untuk rakyat sementara caleg akan bekerja untuk partai. "Fungsi publik tidak akan bisa terjadi kalau media tidak berdiri secara independen," ujarnya.

Sasmito menyebut jurnalis yang tidak mengundurkan diri saat ‘nyaleg' sebagai orang yang mencoreng martabat jurnalisme dan merugikan pers di Indonesia.

"Kami menyayangkan orang yang mencoreng jurnalisme dengan menyalahgunakan profesinya dan ini bisa mengurangi kepercayaan publik. Saya harap Dewan Pers bisa mengingatkan dengan keras kalau bisa dilengkapi dengan aturan dan sanksi," tambahnya.

Bagaimana nasib netralitas dan independensi media?

Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mengatakan jurnalis menjadi partai sebenarnya bukan hal baru. Beberapa mantan jurnalis juga diketahui telah duduk sebagai anggota DPR seperti Putra Nababan dari PDIP dan Meutya Hafid yang mewakili Partai Golkar.

"Presenter dan wartawan menjadi caleg lebih karena faktor hubungan kerja antara pemilik media yang pada saat yang sama menjabat sebagai elit partai," kata dia.

Sementara itu, faktor lainnya adalah karena faktor ketertarikan terhadap dunia politik dari pribadi masing-masing. 

"Faktor lainnya juga untuk mendongkrak suara meskipun ada yang berhasil dan tidak karena tergantung di wilayah mana dia maju menjadi kandidat, apakah ada incumbent dan latar belakang pendidikan dari pemilih," kata dia.

Ia berharap wakil partai berlatar belakang jurnalis ini mampu untuk lebih aktif dan responsif dalam menghadapi masalah publik. "Meskipun tak menjamin kalau wakil jurnalis bisa bekerja lebih baik dibandingkan dari latar belakang lainnya," kata dia.

Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Djati menilai alasan nominasi jurnalis menjadi caleg itu salah satunya adalah intensitas mereka tersorot oleh media sehingga bisa dikenal luas publik terutama televisi.

"Alasan lainnya adalah jurnalis ini tentu adalah komunikator yang baik sehingga tahu caranya meraih simpati dan atensi dari publik yang berbeda latar belakang," kata dia.

Dampaknya, kata dia, tentu adalah netralitas yang akan berpengaruh terhadap independensi media. "Tentu kalau yang bersangkutan sudah nyaleg akan berpengaruh pada kepentingan dan keberpihakan. Idealnya mundur demi imparsialitas media," ujar Wasisto Raharjo Djati. "Mereka dituntut kepekaannya untuk bisa lebih advokatif terhadap isu-isu di ruang publik."

Masa kampanye Pemilu 2024 akan dimulai pada 28 November 2023. Sementara itu, berdasarkan jadwal KPU, penetapan DCT akan diumumkan pada tanggal 4 November 2024.

(ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.