1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Iran: Perlawanan Merebak di Media Sosial

Manasi Gopalakrishnan | Niloofar Gholami
1 Desember 2022

Demonstran di Iran giat menggunakan media sosial untuk saling menyebar informasi atau mengorganisir aksi protes. Pemerintah sebaliknya menggalang serangan balik lewat kampanye disinformasi.

https://p.dw.com/p/4KLbS
Aksi prores di Iran
Aksi prores di IranFoto: SalamPix/abaca/picture alliance

Sudah sejak beberapa pekan terakhir ini aksi protes terus berkecamuk di Iran. Berawal dari kematian Jina Mahsa Amini - yang tewas di tahanan polisi Syariah karena melanggar aturan berhijab –aksi protes yang digalang kaum perempuan semakin merebak, baik di jalan-jalan kota atau di ranah maya. 

Perlawanan terpercik lewat gambar-gambar perempuan, tua dan muda, yang membakar jilbabnya sebagai protes. Aksi-aksi demonstrasi bermunculan bak jamur di kota-kota besar, di sekolah dan universitas. Sejak awal, media sosial sudah mewadahi gerakan oposisi. 

Di Iran, sebanyak 40 juta orang menggunakan aplikasi pesan pendek Telegram, klaim pemilik perusahaan, Pavel Durov. Adapun Globalstats mencatat sebanyak 89 persen warga Iran aktif menggunakan Instagram dan Whatsapp.  

Jumlahn pengguna menurun drastis pada 2022 setelah pemerintah membatasi akses media sosial. 

Have the Iran protests had an impact?

Perlawanan senyap 

"Rezim di Teheran saat ini membatasi semua akses komunikasi, baik kanal berita atau internet dan media sosial," kata Mahdi Saremifar, wartawan sains keturunan Iran di Kanada. 

“Penyedia layanan seluler dan internet memang pengusaha swasta, tapi diatur dan digerakkan oleh Ayatollah Khamenei melalui labirin yang terdiri dari sederet perusahaan cangkang dan empat lembaga keuangan," kata Mahdi.  

Maka, warga mengandalkan media sosial, dan jejaring privat alias VPN, untuk mengakses sumber informasi independen. Berkat kemudahan informasi, aksi brutal aparat Iran malah semakin meningkatkan antipati warga terhadap pemerintah, kata Mahdi Saremifar. 

'Today is also a test of our courage': Baerbock on Iran

Menurut pegiat media sosial Iran, Kamran, media sosial masih merupakan sarana terbaik untuk saling bertukar informasi tentang “kejahatan Republik Islam.” Hal serupa diungkapkan Shirin, yang aktif menggunakan Instagram sejak 2013. 

“Saya banyak belajar tentang komunikasi yang efisien melalui media sosial,” ujarnya. Shirin mengatakan pemerintah saat ini melambatkan akses internet untuk menghalangi warga mengakses situs luar negeri. “Saya langsung kehabisan sabar ketika ingin membukanya,” kata dia. 

Kampanye disinformasi oleh aparat negara 

Belum lama ini, aktivis Iran, Azam Jangravi, diberikan akses untuk menggunakan akun Instagram milik dua selebriti Jerman berpengikut sebanyak lebih dari dua juta pengguna. Dengannya dia giat mengunggah gambar-gambar protes, “untuk mempertajam kesadaraan kepada apa yang terjadi di Iran, terutama perjuangan kaum perempuan,” ujarnya. 

Geliat media sosial kaum oposisi diimbangi kampanye disinformasi oleh aparat pemerintah. Baru-baru ini, sebuah kabar beredar cepat bahwa 15.000 demonstran divonis hukuman mati oleh pengadilan. Belakangan ketahunan, kabar tersebut merujuk pada vonis mati bagi lima tahanan di Iran. 

Sebab itu Jangravi mewanti-wanti, betapa daya tahan gerakan oposisi juga memiliki batas. ”Kita tidak boleh melupakan kekuasaan sistem propaganda Republik Islam dan sumber daya yang mereka miliki, sementara para aktivis politik kebanyakan bergantung pada kapasitas pribadi.” 

rzn/as