1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Ikuti Panggilan, Atasi Berbagai Tantangan di Jerman

Marjory Linardy
23 Desember 2022

Jalan Endah Anindika ke pekerjaan yang sesuai panggilannya panjang dan berliku. Keraguan kadang masih muncul pula, akibat beratnya pekerjaan perawat. Tapi walau berat, pintu menuju karir yang lebih tinggi juga terbuka.

https://p.dw.com/p/4LKAy
Deutschland l Endah Anindika, eine Krankenschwester aus Indonesien
Endah Anindika ketika bekerja di rumah sakit.Foto: privat

Endah Anindika lahir di Yogyakarta. Dia sudah bekerja di Jerman selama tujuh tahun. Dulu di Indonesia dia menuntut ilmu di sekolah pariwisata. Dia belajar bahasa Jepang, Jerman dan Prancis. Setelah itu dia bertolak ke Jerman untuk bekerja sebagai au pair. Kemudian dia melakukan Freiwilliges Soziales Jahr (FSJ), yaitu bekerja sosial sukarela selama beberapa bulan di rumah sakit. Dari pekerjaan singkat di rumah sakit dia sudah merasakan ketertarikan untuk lebih mendalami pekerjaan di rumah sakit. Itulah yang jadi alasan mengapa dia akhirnya ikut Ausbildung atau pendidikan, untuk menjadi perawat di Jerman.

Tapi sebelum menempuh pendidikan untuk menjadi perawat, dia kembali ke Indonesia terlebih dahulu, dan bekerja sebagai pemandu wisata selama tiga tahun. Selain itu dia juga menjadi manajer dalam mengatur berbagai tur wisata di Indonesia. Ketika bekerja di bidang pariwisata itu, dia bertemu dengan kepala sekolah perawat yang berlokasi di kota Freising, Bayern.

Lewat bincang-bincang di mana Endah menceritakan ketertarikannya untuk menjadi perawat, akhirnya dia juga mendapat kesempatan wawancara. Hasilnya, dia langsung mendapat persetujuan untuk menuntut pendidikan di sekolah perawat di Freising. Sebelumnya Endah tidak punya pendidikan untuk menjadi perawat sama sekali.

Dari Freising, dia melanjutkan pendidikan ke kota Wasserburg am Inn hingga selesai. Di kota itulah, yang juga berada di negara bagian Bayern, dia sampai sekarang berdomisili dan bekerja.

Bekerja berat sebagai perawat di negeri orang

Dia bercerita, dia bekerja di rumah sakit di bagian Innere Medizin atau penyakit dalam. Selain menjadi asisten dokter, sebagai perawat dia juga bertugas melakukan semua administrasi dalam penerimaan pasien yang tiba di stasiun tempatnya bekerja, juga mengurus administrasi ketika pasien meninggalkan rumah sakit. “Dari Akte [berkas-berkas] sampai Grundpflege [perawatan dasar] kami yang urus,“ begitu dijelaskan Endah.

Pekerjaan para perawat di rumah sakit tempat dia bekerja meliputi tiga Schichtdienst [kerja giliran]. Jika bertugas pagi, waktu dinasnya dimulai pukul 6 pagi sampai 14 siang. Spätdienst, yang jadi sebutan bagi jam kerja saat hari sudah larut, dimulai sekitar pukul 13 sampai pukul 21. Setelah itu, Nachtdienst [kerja malam] dimulai pukul 20:30 hinga 6:30 pagi. Ketika ditanya yang mana yang paling berat, Endah menjawab, “Aduh, semuanya berat!“

Kemudian dia bercerita, di pekan yang baru lewat dia giliran kerja malam, dan stasiun tempat dia bekerja adalah stasiun yang besar. Di satu malam mereka bisa kedatangan delapan pasien baru, yang tentu belum mereka kenal dan harus segera diurus. “Sampai setengah tujuh pagi itu, kami cuma am Rennen [bekerja dengan cepat]. Kami tidak Pause [beristirahat] sama sekali, karena benar-benar viel los [banyak kerjaan]!“

Deutschland l Endah Anindika, eine Krankenschwester aus Indonesien
Ketika berwisata ke kota Hamburg.Foto: privat

Dalam satu waktu dinas, dia hanya berdua dengan seorang rekan, dan mereka mengurus sampai 40 pasien. “Makanya saya kan sekarang masih kerja vollzeit [kerja penuh], saya tuh mau reduzieren [mengurangi] jam kerja saya,“ begitu diceritakan Endah, mengingat tugas yang sangat berat, baik bagi fisik maupun bagi psikisnya.

Endah menjelaskan, jika baru memulai tugas, dia pertama-tama mengganti baju. Sebelumnya mengenakan jeans, diganti ke seragam perawat. Setelah itu, segera diadakan Übergabe [penyerahan tugas], di mana para perawat yang bertugas sebelumnya memberikan informasi tentang pasien dan apa saja yang terjadi sebelumnya. Kemudian mereka juga mempersiapkan infus dan antibiotika untuk pasien.

Setelah itu, selama sekitar satu setengah jam, mereka mengunjungi setiap pasien, juga mengukur tekanan darah dan detak nadi, serta memberikan infus kepada yang membutuhkan. Jika tugas pagi, mereka juga membantu pasien yang perlu bantuan untuk mandi. Setelah itu, jika masih ada waktu mereka beristirahat setengah jam, yaitu dari pukul 8:30 sampai pukul 9:00. “Setelah itu kami durchgehen [mendatangi setiap pasien] lagi. Apakah mereka sudah selesai? Apakah perlu bantuan?“

Itu kemudian disusul dengan melakukan Visite, yaitu mendatangi dan memeriksa pasien bersama dokter, yang secara teratur dilakukan setiap hari. Berdasarkan pemeriksaan, dokter memberikan tugas kepada perawat, apa yang harus dilakukan bagi pasien. Di sela itu semua, jika mereka mendengar suara bel panggilan dari pasien, mereka juga harus mendatangi dan mengecek apa yang dibutuhkan pasien.

Di berbagai media Jerman kerap diberitakan bahwa Jeman kekurangan dokter dan perawat. Endah membenarkan hal itu, memang sangat kurang. “Assistenzärzte [dokter asisten] dan perawat terpaksa melakukan banyak sekali Überstunde [kerja lembur].“ Endah menambahkan, di antara perawat kalau satu sakit, yang lain harus “pasang badan“.

Dalam satu waktu dinas, dia hanya berdua dengan seorang rekan, dan mereka mengurus sampai 40 pasien. Dia juga sudah pernah mengalami tugas malam, di mana dia bertugas sendirian. Tapi jika bertugas sendirian, perawat tidak mengurus 40 orang, melainkan lebih sedikit. “Makanya saya kan sekarang masih kerja vollzeit [kerja penuh], saya tuh mau reduzieren [mengurangi] jam kerja saya,“ begitu diceritakan Endah, mengingat tugas yang sangat berat, baik bagi fisik maupun bagi psikisnya.

Ikut merasakan penderitaan pasien dan merasakan kehilangan

Endah bercerita, kadang dia ingin mendengarkan, jika seorang pasien menceritakan kesulitannya. Tapi jika sangat sibuk, ia tidak bisa mengambil waktu untuk itu. “Sebenarnya psikis saya juga kena. Karena itu saya juga ke psikiater,“ kata Endah dan menambahkan, “karena kalau kita lama mengurus pasien, kita bukan hanya merasakan Mitleid [kasihan] melainkan juga Mitgefühl [ikut merasakan penderitaannya].“  

Dia memberikan contoh seorang pasien yang mereka rawat selama enam minggu di stasiun mereka. Tapi pada akhirnya pasien itu meninggal. “Kami tuh nangis. Satu stasiun. Karena kami merasa kami udah deket banget, gitu lo.“ Jadi dalam masalah membatasi perasaan dekat dengan pasien susah sekali, walapun kadang ada orang yang mengatakan, sebagai perawat orang harus bisa menjaga batas. “Sulit sekali. Karena, kita tuh Menschen [manusia], kita ga bisa begitu.“ Demikian dipaparkan Endah. Dia menambahkan setelah pasien itu meninggal, dia masih menangisi selama seminggu.

Untungnya, dari rumah sakit mereka mendapat voucher untuk merawat kesehatan psikis maupun tubuh. Untuk kesehatan tubuh, misalnya ada voucher untuk wellness, pijat atau thermal. Untuk kesehatan psikis, di rumah sakit ada program untuk curhat, kata Endah. Selain itu, seperti biasa di rumah sakit ada petugas Seelsorge, yaitu petugas untuk sokongan spiritual, tetapi bukan pastor (Katholik) atau pendeta (Protestan), melainkan terbuka untuk semua agama.

Mengingat sangat kurangnya tenaga perawat dan dokter di Jerman, menurut Endah ada upaya pemerintah untuk merekrut perawat dari luar negeri.  Tetapi mengingat kota tempat tinggalnya, Wasserburg am Inn adalah kota kecil, di sana sebagian besar perawat orang Jerman. Sedangkan di kota besar seperti München, perawat sudah berasal dari berbagai negara. Endah bercerita juga sudah pernah melihat di sosial media bahwa ada agen yang menawarkan layanan bagi orang Indonesia yang ingin bekerja sebagai perawat di Jerman.

Tantangan berupa pandemi belum berlalu bagi petugas medis

Endang berkata, tantangan terbesar yang ia hadapi dulu ketika baru akan mulai bekerja di Jerman adalah bahasa. Karena di daerah Bayern, orang Jerman kerap berbicara menggunakan dialek, dan bukan dengan Hochdeutsch, atau bahasa Jerman tinggi. Sekarang dia bukan hanya bisa bahasa Jerman, melainkan juga dialek Bayern, katanya sambil tertawa. Karena itulah yang dipakai sebagian besar orang di kota itu, juga pasien yang ia urus di rumah sakit.

Ditambah lagi, ketika baru datang, Endah merasa karakter orang Jerman sangat keras. “Sedangkan saya, sebagai orang Indonesia, dulu rasanya sulit untuk mengatakan nein [tidak], di satu dua tahun pertama.“ Untuk mengubah itu, dia juga merasa susah dulu. “Karena takut, ini nyakitin apa engga, gitu.“ Sekarang dia sering sudah bisa menolak karena sadar, bahwa jika selalu menerima, itu akan sangat merugikan dirinya sendiri. “Jadi sekarang udah ga ada kendala lagi,“ kata Endah.

Deutschland l Endah Anindika, eine Krankenschwester aus Indonesien
Meluangkan waktu, berjalan-jalan ke kota Bamberg, Bayern.Foto: privat

Selain itu, Endah menjelaskan, bagi banyak orang, pandemi Corona rasanya seperti telah berlalu. Tetapi bagi mereka yang bekerja di bidang medis, seperti perawat dan dokter, Corona masih jadi tantangan besar. Setiap kali bertugas di rumah sakit, mereka tetap harus mengenakan masker. Mereka juga masih menyediakan Isolationszimmer, atau kamar-kamar perawatan ekstra bagi orang yang tertular virus COVID-19.

Sekarang, Endah juga masih merawat satu dua orang yang menderita Corona di stasiun tempat ia bekerja. “Menurun sih, jumlahnya,“ kata Endah, “tahun lalu kami sampai punya dua stasiun khusus untuk penderita Corona.“ Selain itu, Endah sendiri selama ini juga pernah tertular COVID-19 dua kali. Yang terakhir baru sekitar sebulan lalu, dan saat itu dia sampai menderita radang paru-paru juga. “Selama dua minggu, saya batuk-batuk terus. Rasanya seperti Brustkorb [toraks] saya itu patah.“

“Apakah ini pekerjaan yang aku mau?“

Endah juga sempat “kehilangan“ banyak pasien akibat Corona. Dia merasa sangat sedih jika mengingat semua pasien yang pernah dia kenal. Ia menceritakan salah satu dari mereka, yang ketika datang masih bisa berjalan dan melakukan segalanya sendirian. Dia hanya banyak batuk saja. Tapi lama kelamaan tubuhnya sudah tidak mendapat cukup oksigen lagi, karena paru-paru dan saluran pernapasannya semakin penuh lendir. Akhirnya pasien itu meninggal dunia.

Endah mengatakan, sudah jadi tantangan bagi orang yang menjadi perawat untuk bisa kuat menghadapi kehilangan seperti itu. “Kalo kita bekerja masih pakai rasa. Orang Jerman juga pakai rasa,“ kata Endah, “tapi kolega saya bilang, orang Indonesia itu kerja pakai hati.“ Kemudian Endah bercerita, ketika suatu kali dia sedang bekerja di malam hari, dia harus mereanimasi pasien, tetapi gagal dan pasien meninggal.

“Tetapi walaupun pasien meninggal, kami keluar dari kamar dan harus biasa aja, karena kami masih punya pasien lain lagi.“ Jadi kadang Endah berkata, ia berpikir manusia seperti apakah dia, seperti tidak punya perasaan. Ketika kerja malam itu, karena yang meninggal ada beberapa orang, akhirnya ketiga perawat yang bertugas hanya bisa saling menghibur. Akhirnya Endah sempat berpikir, “Apakah ini pekerjaan yang aku mau?“

Tapi dia berkata, dia juga yakin, pekerjaan itu juga panggilan bagi dia. Dia sekarang sedang menempuh pendidikan lanjutan untuk menjadi perawat khusus di bidang gerontologi, yaitu ilmu tentang proses dan gejala penuaan, juga penyakit yang berhubungan dengan penuaan pada manusia. Contohnya adalah penyakit demensia.

Endah menjelaskan, Krankenschwester [perawat] juga bisa punya karir, karena pendidikan lanjutannya banyak. Selain di bidang gerontologi, Weiterbildung atau pendidikan lanjutan bisa ke bidang onkologi, penyakit jiwa, higiene dan sebagainya. “Makanya tiga tahun Ausbildung [pendidikan] perawat itu sebenarnya hanya basic doang, sih,“ kata Endah.

Endah memilih bidang gerontologi karena meras terpanggil. “Kadang aku ngurus orang-orang tua di sini, aku merasa kaya ngurus orang tuaku,“ tutur Endah. Kalau bekerja, dia juga mengaku kadang kesal kalau melihat ada orang berusia lanjut, yang jelas perlu perawatan, tetapi tidak dijenguk oleh keluarganya. “Jadinya dongkol sendiri,“ kata Endah.

Pekerjaan ini juga dia rasa seperti penebusan dosa, kalau mengingat ibunya yang meninggal di Indonesia, dan ketika itu ia tidak berada di sisi ibunya. “Jadi saya mengurus orangtuanya orang lain seperti mengurus orang tua sendiri.“ Di lain pihak, dia juga merasa senang dengan pekerjaan itu. “Aku melakukan itu untuk almarhum ibuku dan baktiku kepada Tuhan. Udah gitu aja,“ tutur Endah.

Itu juga yang membuat dia kuat untuk bekerja setiap hari. “Kalo masalah gaji, aduh! Udah jangan ditanya,“ kata Endah, “abis buat bayar sewa tempat tinggal, dan ongkos penggunaan mobil.“ Jadi untuk bekerja di bidang itu, memang harus ada panggilannya. Ketika bekerja sebagai manajer tur-tur besar di Indonesia, bisa dibilang gajinya lebih besar, dalam relasi dengan pekerjaannya.

Buat Endah, bekerja sebagai perawat dan bekerja sebagai manajer tur, sama-sama bekerja mengurus orang. “Saya kalau jadi pemimpin tur kan ga bisa menikmati perjalanan. Itu kan saya jagain orang.“ Baik ke Bromo, maupun ke Bali, tidak bisa rileks karena harus mengurus orang lain.

Deutschland l Endah Anindika, eine Krankenschwester aus Indonesien
Endah Anindika mengenakan baju tradisional Bayern, Dirndl ketika berwisata ke München.Foto: privat

Ingin merayakan Natal di tengah salju

Dia juga punya teman-teman orang Jerman, dan mereka juga kerap melakukan aktivitas bersama-sama. “Di tempat saya kan ga ada orang Indo. Jadinya gaulnya sama orang Jerman semua,“ kata Endah sambil tertawa terbahak-bahak.

Endah yang merayakan Natal berpendapat, di Jerman situasi beragama di Jerman nyaman. “Teman-teman saya yang muslim juga merasa nyaman di Jerman,“ begitu cerita Endah dan menambahkan, “mereka merasa bisa mengekspresikan diri.“

Tapi ada satu hal yang jadi dambaan Endah, yang kemungkinan tidak tercapai dalam Natal tahun 2022 ini. Yaitu merayakan Natal di tengah salju. Sayangnya, karena pengaruh cuaca, kali ini Natal di Jerman terpaksa dirayakan dalam suhu yang hangat untuk ukuran musim dingin pada umumnya.

Untuk tahun depan, harapan Endah adalah agar pemerintah lebih bijak dalam membuat peraturan, agar lebih menguntungkan bagi banyak orang. “Apalagi orang-orang yang bekerja di bidang saya,“ kata Endah. Bagi dia dan orang-orang lain yang anggota masyarakat, dia berharap semoga lebih bisa mawas diri dalam menghadapi perubahan.

“Jangan setengah-setengah“

Pelajaran terbesar yang ia peroleh di Jerman: “Kalau ingin menggapai impian, jangan melakukannya dengan setengah-setengah. Ego diri sendiri juga harus diturunkan. Kemauan dan tekad bener-bener harus seratus persen.“ Dia bercerita, dulu ketika ikut pendidikan di Freising, dia masih merasa, dulu sudah jadi pemimpin tur, masa sekarang jadi murid lagi. Karena berpikiran seperti itu, di tahun pertama pendidikan, dia merasa tertekan. Tapi setelah dia membulatkan hati, dan dengan sokongan doa dari ibunya, ia berhasil lulus dengan nilai terbaik di Wasserburg am Inn.

Untuk orang Indonesia yang ingin bekerja atau belajar ke Jerman, dia menyarankan untuk mempersiapkan diri sematang mungkin, bukan sekedar dari segi bahasa. “Jangan ikut-ikut. Tanya kepada diri sendiri, apakah ke Jerman atau ke Eropa itu yang terbaik bagi diri sendiri.“

Yang penting, ikuti kata hati, minta restu dari orang tua dan tentunya berdoa kepada Tuhan. Endah menarik kesimpulan, “Itulah yang membuat aku waras“.