1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ibu Tewas Diperkosa, Pria Nigeria Lawan Toxic Masculinity

Arti Ekawati
8 Juni 2023

Ditinggal mati ibunda di usia 9 tahun akibat perkosaan oleh sekelompok pria bersenjata, pemuda Nigeria ini bertekad melawan "toxic masculinity" dan mendidik anak lelaki agar menghargai perempuan.

https://p.dw.com/p/4SBWe
Nigeria | Boys Champions
Foto: Boys Champions

Dalam diskusi tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan, banyak nasihat diarahkan kepada kaum hawa agar mereka lebih berhati-hati dalam berkata, bersikap, maupun berpakaian. Sayangnya, bahkan pakaian yang tertutup dan 'tampak biasa' pun tidak menjamin perempuan terhindar dari kekerasan dan pelecehan.

Sayangnya, justru  masih jarang pihak-pihak yang menekankan pentingnya pendidikan dini terhadap anak lelaki agar menghargai perempuan dalam hidup mereka. Inilah yang tengah giat dilakukan oleh sekelompok pemuda asal Nigeria lewat gerakan Boys Champions. Mereka membangun jejaring mentor untuk membina anak-anak lelaki sejak belia agar lebih menghargai perempuan.

"Ini bermula dari pengalaman pribadi saya, terutama harus kehilangan ibu saya di usia 9 tahun, melihat ibu saya diperkosa oleh tiga perampok bersenjata," ujar Emmanuel Ifeanyi Alumona atau biasa dipanggil Noel kepada DW Indonesia.

Luka batin dari trauma mendalam ini mendorong pria berusia 30 tahun itu bertekad untuk berkontribusi mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan budaya "maskulinitas beracun" atau toxic masculinity di Nigeria.

"Jadi, salah satu alasan saya memulai Boys Champions adalah berkontribusi untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan di Nigeria." 

Emmanuel Ifeanyi Alumona, pendiri Boys Champion di Nigeria
Emmanuel Ifeanyi Alumona, pendiri Boys Champion di NigeriaFoto: Boys Champions

Sejak Oktober 2018, ia mendirikan organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang pemberdayaan dan mentoring anak lelaki yang dikenal sebagai Boys Champions. Ide ini, ujarnya, muncul setelah dirinya bertemu mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.

Mengutip Gender Data Portal Bank Dunia, berdasarkan studi oleh Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2021, 30% perempuan pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim mereka atau kekerasan seksual oleh orang yang bukan pasangan. Persentase itu setara dengan 736 juta perempuan di seluruh dunia. Kekerasan berbasis gender lebih banyak terjadi ketika tidak ada konsekuensi hukum, kuatnya norma budaya seksis dan patriarki, dan dalam keadaan darurat atau konflik kemanusiaan.

Prihatin dengan banyaknya perempuan yang mengalami kekerasan, baik dari pasangan maupun bukan dari pasangan, Noel mengatakan Boys Champion punya tujuan utama melibatkan anak laki-laki dan laki-laki dewasa, mengajari mereka maskulinitas yang sehat dan bagaimana berhubungan dengan perempuan dengan penuh rasa hormat.

Ia ingin menghapus lingkaran setan toxic masculinity yang banyak menjangkiti anak dan remaja laki-laki di negaranya. "Ini sebenarnya sangat membantu menyelesaikan masalah dari akar penyebabnya," ujar Noel.

Apa itu toxic masculinity?

Menurut laman Webmd, toxic masculinity atau maskulinitas beracun adalah sikap atau pola berpikir tertentu yang secara stereotip dikaitkan dengan kejantanan dan sering kali justru berdampak negatif terhadap laki-laki, perempuan, dan masyarakat pada umumnya.

Sejumlah perilaku yang bisa dianggap mencirikan maskulinitas beracun antara lain yakni homofobia, keinginan untuk selalu memegang kendali, merasa 'hebat' jika punya banyak mitra seksual perempuan dan menganggap perempuan yang melakukan hal tersebut sebagai 'rendah', melakukan tindak kekerasan dan atau agresi seksual terhadap perempuan.

Selain itu, ada pula tindakan seperti menolak membantu mengerjakan tugas rumah tangga, melakukan tindakan berisiko yang dapat membahayakan diri atau orang lain seperti berjudi dan mengemudi ugal-ugalan, dan menganggap emosi adalah hal yang lemah. 

Bagaimana situasinya di Indonesia?

Budaya masyarakat Indonesia yang masih kental dengan nilai-nilai patriarki ikut memberi andil terhadap tumbuhnya nilai-nilai maskulinitas beracun. Padahal, mengutip tulisan Yosua A. Simamora, pekerja sosial yang memberikan layanan konseling di RS Jiwa dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor, maskulinitas beracun seperti ini rentan menimbulkan depresi.

"Dampak toxic masculinity bisa menyebabkan depresi hingga bunuh diri pada korban yang mengalami stigma maskulin di masyarakat yang didukung budaya patriarki," tulis Yosua Simamora seperti dikutip dari laman web Dirjen Layanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Belajar salurkan emosi secara sehat lewat olahraga

DW Indonesia bertemu Noel dalam seminar dua hari Global Solutions Summits di Berlin, Jerman, pada pertengahan Mei 2023. Sikapnya terbuka dengan senyum yang hangat dan ramah. Ia bahkan dengan ceria menyapa DW terlebih dahulu setelah membaca dan mengenali tanda nama yang wajib dipakai oleh para peserta seminar.

DW bertanya bagaimana cara ia mengikis budaya maskulinitas toksik yang terlanjur mengental di negaranya. Ia mengatakan gerakannya menitikberatkan program mentoring.

Boys Champion menuliskan dalam laman internet mereka bahwa mayoritas anak muda yang bermasalah - seperti mereka yang menghuni penjara anak, drop out dari sekolah, menjadi pemerkosa dan punya masalah penyaluran amarah, dan membunuh diri - tumbuh dari rumah yang tidak memiliki figur fungsional seorang ayah. 

Organisasi nonpemerintah Boys Champions dari Nigeria
Boys Champions bersama para pemuda lokal mengampanyekan gerakan antikekerasan terhadap perempuanFoto: Boys Champions

"Jadi, salah satu hal yang kami sadari adalah pentingnya pendampingan (mentoring) oleh para pria (dewasa) terutama di Nigeria. Kita melakukannya lewat olahraga," ujar Noel kepada DW Indonesia.

Aktivitas mentoring bagi anak lelaki utamanya mereka lakukan sembari berolahraga seperti sepak bola.

Lewat aktivitas ini, selain bersuka cita saat memenangkan pertandingan, anak-anak lelaki juga diajarkan untuk menyikapi kekalahan dan kekecewaan sebagai hal wajar dan merupakan bagian dari pengalaman kehidupan. Bahwa emosi, baik positif maupun negatif, adalah hal wajar yang dirasakan dan perlu diekspresikan secara sehat oleh setiap manusia, laki-laki dan perempuan.

Ketika orang tua selalu ribut dianggap hal biasa

Satu hal yang menyulut keprihatinan Noel adalah dianggap lumrahnya adu argumen sengit antara dua orang tua di dalam rumah tangga. Apabila adu argumen ini kerap terjadi dan disaksikan oleh anak-anak, mereka akan mengira ini adalah hal yang wajar. Keadaan yang dianggap lumrah ini perlahan akan turut membentuk mentalitas anak dan membuat mereka merasa boleh berbuat demikian.

"Padahal kenyataannya, ini adalah pengalaman traumatis yang akhirnya memengaruhi (perilaku) anak laki-laki. Ketika mereka akhirnya tumbuh menjadi laki-laki dewasa, mereka rawan bersikap seperti ini kepada perempuan di sekitarnya," ujar Noel.

"Jadi kita harus melakukan perubahan, memberi anak-anak ini kesempatan untuk terhubung dengan beberapa pria dewasa yang telah menjadi pemimpin luar biasa di bidang mereka, yang akan membantu mereka (anak-anak lelaki) dalam menjalani (kehidupan), mendukung karier atau juga untuk sekadar melakukan percakapan penting seputar seperti apa seharusnya menjadi laki-laki itu." 

Boys Champions dari Nigeria
Selain mentoring, diskusi yang digelar Boys Champions juga melibatkan lelaki dan perempuan dari berbagai generasi untuk memutus mata rantai mentalitas maskulinitas toksik.Foto: Boys Champions

Kurikulum lawan toxic masculinity di sekolah

Kerja keras Noel dan rekan-rekannya perlahan mulai berbuah. Sejak memulai gerakan mentoring dan diskusi antikekerasan, mereka telah menjangkau setidaknya 11.000 remaja dan lelaki dewasa di negara itu.

"Nah, saat ini di negara kami antusiasme anak muda juga meningkat. Saat ini kami juga sedang bekerja dengan pemerintah federal untuk melihat bagaimana kami dapat memastikan bahwa program ini bisa jadi bagian dari kurikulum sekolah dan sebagainya," ujarnya.

Noel yakin, apabila langkah ini berhasil, akan banyak orang muda yang bisa terjangkau oleh pesan-pesan yang ia bawa. Namun untuk saat ini, secara umum ia melihat sudah ada penerimaan dari publik yang lebih luas. Sebagian kelompok masyarakat juga telah bisa menerima ide mereka tentang menjadi laki-laki yang sehat secara mental dan menghargai perempuan.

"Harapan saya ke depan adalah dunia di mana ada kesetaraan gender. Harapan saya untuk masa depan, adalah dunia di mana perempuan memiliki pria (di lingkungan mereka) yang mampu menciptakan peluang dan platform bagi perempuan untuk terus berusaha," ujar Noel penuh senyum.

(ae/hp)