1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hukuman Mati Harus Dihapus Total

Grahame Lucas28 April 2015

Indonesia mengeksekusi delapan terpidana mati kasus narkoba dalam eksekusi gelombang kedua. Tapi apapun alasannya, hukuman mati adalah keliru, tidak memecahkan masalah dan harus dihapuskan. Perspektif Grahame Lucas.

https://p.dw.com/p/1FGOv
Foto: picture alliance/abaca

Rencana eksekusi dua gembong sindikat narkoba "BaliNine", Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, serta enam orang lainnya, hampir semuanya warga asing, sejak beberapa bulan terakhir jadi sorotan para penentang hukuman mati. Kasus ini mendemonstrasikan dengan gamblang sekali lagi, mengapa hukuman mati perlu dihapuskan di seluruh dunia.

Sebagaimana yang disebutkan Amnesty International, hukuman mati melanggar hak-hak dasar untuk hidup, dan merupakan "hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat." Ini bukan hanya soal metode yang digunakan, melainkan juga soal penantian yang begitu lama dan penderitaan mental para terpidana mati.

PBB menyebutkan, pelanggaran dan penyelundupan narkoba bukanlah tindakan yang bisa dijatuhi hukuman mati menurut standar internasional. Sanksi hukum juga biasanya dijatuhkan agar ada efek perbaikan. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran sudah menjalani tahanan penjara selama sepuluh tahun. Penahanan itu menurut berbagai laporan telah mengubah pandangan mereka terhadap kehidupan. Mereka mengakui kesalahannya. menyesal dan minta maaf. Fakta bahwa mereka telah melakukan rehabilitasi selama dalam tahanan, sama sekali tidak diindahkan oleh Presiden Jokowi.

Ini mengilustrasikan lagi motif sebenarnya dibalik penerapan hukuman mati, apakah untuk pelanggaran narkoba atau karena alasan politik. Jokowi berbicara tentang situasi darurat narkoba di negaranya. Jadi dia tidak mempersoalkan masalah rehabilitasi dan fungsi penjara. Tapi dia sama sekali mengabaikan fakta, bahwa telah terbukti berulang kali, hukuman mati tidak memberi efek jera maupun mencegah penyebaran narkoba.

Jokowi bukan hanya tidak punya agenda efektif untuk menanggulangi masalah narkoba. Dia juga memanfaatkan eksekusi mati sebagai isu politis dan memainkan kartu nasionalisme.

Sekalipun mendapat tekanan dari kubu oposisi, Jokowi, presiden pertama yang tidak muncul dari kalangan elit politik di era Suharto, sebenarnya punya posisi unik untuk memperbaiki catatan dan kondisi hak asasi di Indonesia. Dia bahkan bisa mencatat reputasi lebih baik dari pendahulunya, dengan memperpanjang moratorium eksekusi mati yang dibatalkan lagi oleh SBY.

Tapi Jokowi malah terjebak dalam perangkap pencitraan. Dia percaya harus membangkitkan kesan sebagai pemimpin yang tegas, yang menguasai panggung politik Indonesia yang korup, dan membuat oposisi tunduk.

Lucas Grahame Kommentarbild App
Grahame Lucas Pimpinan Redaksi South-East Asia DW

Padahal, untuk bisa membenahi sistem yang korup, yang terutama dibutuhkan adalah sistem peradilan yang adil dan bersih. Salah satu argumen terkuat menentang hukuman mati justru, karena sistem hukum dimana sanksi itu diterapkan sering korup, penuh manipulasi dan tidak adil.

Pengacara duo #BaliNine sekarang mengungkapkan, ada hakim yang menuntut bayaran sampai 130.000 dolar dengan janji bahwa kliennya akan lepas dari hukuman mati dan mendapat ganjaran 20 tahun penjara. Ini tampaknya harga untuk satu nyawa terpidana asing di Indonesia.

Pejabat tinggi Indonesia juga ada yang mengatakan, eksekusi mati harus dilaksanakan, apapun hasil pengadilan banding. Semua ini menunjukkan, ada yang tidak beres dalam sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Akibatnya, hukuman mati seringnya diterapkan kepada mereka yang tidak punya uang, daripada terhadap orang kaya.

Ini juga terlihat dari kasus pembantu rumah tangga asal Filipina, Mary Jane Veloso. Dari laporan-laporan yang ada hingga kini, makin jelas bahwa perempuan ini adalah korban penipuan sindikat narkoba. "Kejahatannya" berasal dari kenaifan, tidak lebih dari itu.

Kredibilitas Jokowi makin dipertanyakan, dalam posisinya menghadapi hukuman mati warga Indonesia di arab Saudi. Pemerintah Indonesia berusaha menyelamatkan warganya yang terancam hukuman mati. Artinya, dia hanya mendukung hukuman mati, selama itu menguntungkan posisi politiknya.

Akhirnya, ini tidak akan menghibur keluarga terpidana mati yang dieksekusi, mungkin ada satu aspek yang patut disebutkan dalam konteks ini. Keputusan Jokowi untuk melanjutkan eksekusi mati, telah memperluas debat dan penentangan hukuman mati di dalam negeri.

Semoga ini akan menjadi wasiat dari mereka yang ditembak mati hari Rabu pagi ini. Bahwa kasus mereka telah menjadi titik balik penting bagi wacana penghapusan hukuman mati di Indonesia dan di bagian lain dunia.