1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hubungan Diplomatik Indonesia dan Israel, Mungkinkah?

Leo Galuh | Arti Ekawati
31 Maret 2023

Indonesia dibatalkan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 karena ada pihak yang menolak kedatangan tim Israel. Sentimen negatif terhadap Israel masih tinggi. Mungkinkah hubungan diplomatik Indonesia-Israel terjalin?

https://p.dw.com/p/4PV2Z
Spanduk Persiapan Piala Dunia U-20 di Jakarta
FIFA resmi batalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 karena penolakan terhadap tim IsraelFoto: Dita Alangkara/AP/picture alliance

Bunda Dewi, 45, meluangkan waktunya untuk menghadiri diskusi publik oleh Presidium Nasional Suporter Sepak Bola Indonesia (PN-SSI). Bunda Dewi menempuh puluhan kilometer dari rumahnya di Kabupaten Bandung Barat, ke sebuah Café di bilangan Dago untuk menyuarakan aspirasi mengenai penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Perempuan yang sudah empat tahun terakhir bergabung di kelompok suporter Bobotoh Persib Jawara Salawasna (BPJS) ini tampak tekun mengikuti jalannya diskusi yang bertajuk Urgensi Penyelenggaran Piala Dunia U-20.

Meski mengaku tidak setuju dengan pendudukan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, ia mengatakan masih banyak cara yang bisa dilakukan secara elegan untuk mengungkapkan perlawanan terhadap Israel.

“Orang yang mempermasalahkan Piala Dunia U-20 itu adalah orang-orang yang tidak menyukai sepak bola,” tegasnya saat diberikan kesempatan berbicara di forum sore itu.

Sementara Heru Joko, pendiri Viking Persib Club, menunjukkan harapan tinggi Piala Dunia U-20 bisa dilaksanakan di Indonesia. "Kapan lagi kita bisa melihat timnas Indonesia melawan tim-tim negara besar seperti Inggris, Jepang," papar Heru di hadapan peserta diskusi.

Hubungan diplomatik Indonesia-Israel, mungkinkah?

Penentangan untuk menyambut kedatangan tim Israel di Indonesia yang terjadi belakangan ini muncul akibat sentimen negatif terhadap negara tersebut. Kebanyakan orang mengutip rasa solidaritas mereka terhadap rakyat Palestina sebagai alasan penolakan terhadap Israel.

Sama-sama terdaftar sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga saat ini Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Meski tidak punya hubungan diplomatik resmi, kedua negara memiliki hubungan bilateral di berbagai sektor.

Seperti diketahui, ide untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel pernah dilontarkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjabat sebagai presiden tahun 1999-2001. Namun, kala itu Gus Dur juga mendapat tentangan keras dari sebagian masyarakat yang mayoritas beragama Islam.

Mungkinkah hubungan diplomatik antara kedua negara terjalin? Aknolt Kristian Pakpahan, dosen Ilmu Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, mengatakan sulit bagi Indonesia untuk membangun hubungan diplomatik dengan Israel. Ia merujuk kepada UUD 1945 yang menyatakan kemerdekaan adalah hak semua bangsa di dunia.

"Jadi tidak boleh ada penjajahan atau tuliskan penjajahan harus dihapus. Itu dalam konteks Israel dilihat sebagai negara yang melakukan penjajahan terhadap Palestina. Yang kedua sebenarnya merujuk kepada Peraturan Menteri Luar Negeri nomor 3 tahun 2019 Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel sehingga kita tidak bisa melakukan hubungan dengan Israel kecuali hubungan nondiplomatik, misalnya perdagangan, pariwisata," ujar Aknolt kepada DW Indonesia.

Meski demikian, ia mengakui bahwa aktivitas lain yang berhubungan dengan Israel seperti di sektor perdagangan dan pariwisata selama ini tetap berlangsung, meski dengan bantuan pihak ketiga. "Orang Israel juga bisa datang ke Indonesia orang kita bisa yang melakukan misalnya ziarah atau perjalanan keagamaan ke Israel. Jadi rasanya dengan apa yang terjadi sekarang ini kan kita tidak perlu juga takut bahwa ada tuduhan Indonesia tuh antisemitic." 

Bukan kasus pertama buat Indonesia

Sebelumnya Presiden Jokowi telah menyerukan untuk tidak mencampur aduk olahraga dengan politik. Namun seperti diketahui, ini bukan kali pertama Indonesia dikenai sanksi di bidang olahraga karena masalah politik, utamanya karena menolak tim Israel.

Mengutip Detik Sport, sanksi tersebut dijatuhkan saat kualifikasi Piala Dunia 1958 dan Asian Games 1962. Karena alasan politik, Indonesia menolak bertanding dengan Israel dalam kualifikasi Piala Dunia 1958. Saat itu Indonesia butuh dukungan negara Arab dan internasional atas masalah perebutan wilayah Papua Barat dari Belanda. Indonesia pun mendapatkan dukungan yang diperlukan. Namun di satu sisi, Indonesia juga memperoleh sanksi dan denda dari FIFA.

Selain itu, presiden saat itu yakni Sukarno juga pernah melarang Israel untuk berpartisipasi dalam Asian Games 1962 dan menolak memberikan visa kepada atlet dan rombongan Israel kala itu.

Meistra Budiasa, Direktur Pusat Studi Komunikasi Olahraga Univesitas Bung Karno, Jakarta, menjelaskan bahwa kegiatan-kegiatan besar keohlaragaan di dunia tidak bisa lepas dari isu politik.

"Misalnya, piala dunia bagi negara tuan rumah menjadi ajang menunjukkan soft power atau identitasnya ke dunia," Meistra mencontohkan kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon.

Dia melanjutkan, bahwa acara akbar keolahragaan semacam piala dunia atau olimpiade memiliki fungsi yang hampir sama dengan ajang multilateral. "Semua isu ada di situ, (tapi) olahraga lebih simbolik," ujar Meistra.

Oleh karena itu, Meistra menekankan pentingnya proses komunikasi dan diplomasi pemerintah Indonesia dengan badan-badan keolahragaan dunia seperti International Olympic Committee (IOC) atau FIFA. Pemerintah harus menyelaraskan konstitusi negara dengan aturan-aturan dari IOC atau FIFA apabila ada acara olahraga yang melibatkan Israel, tambahnya. 

Mengubur impian fans sepak bola

Harapan Bunda Dewi dan Heru Joko sirna untuk menonton langsung Piala Dunia U-20 pun seketika sirna. Lembaga tertinggi yang menaungi sepak bola dunia, FIFA, mengumumkan keputusan yang menghancurkan hati timnas Indonesia dan para suporter.

Perhelatan Piala Dunia U-20 sedianya akan digelar di 6 kota yakni Palembang, Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Gianyar, pada tanggal 20 Mei hingga 11 Juni. Persiapan seperti inspeksi stadion oleh PSSI dan FIFA sudah dilakukan.

Namun pada tanggal 14 Maret 2023 Gubernur Bali Wayan Koster menuliskan surat kepada Menpora yang isinya menolak kehadiran tim nasional Israel di Pulau Dewata. Demonstrasi menolak kedatangan tim Israel juga bermunculan di berbagai daerah. Mereka menolak kehadiran Israel di Indonesia sebagai wujud komitmen dalam upaya kemerdekaan Palestina sesuasi amanat Presiden Soekarno.

Hal ini membuat Presiden Joko Widodo mengutus Ketum PSSI Erick Thohir untuk bernegosiasi dengan FIFA di Doha, Qatar, pada 29 Maret, yang berujung pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.

"Setelah pertemuan hari ini antara Presiden FIFA Gianni Infantino dan Presiden Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir, FIFA telah memutuskan, karena keadaan saat ini, untuk menghapus Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA. Tuan rumah baru akan diumumkan sesegera mungkin, dengan tanggal turnamen saat ini tetap tidak berubah. Potensi sanksi terhadap PSSI juga dapat diputuskan pada tahap selanjutnya," tulis FIFA dalam keterangan resminya.

Dampak bagi timnas, ekonomi, kepercayaan internasional

Pembatalan piala dunia ini tidak hanya mengecewakan suporter timnas Indonesia, tetapi juga para pemain timnas, kata Ignatius Indro, ketua Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI). Selain itu, tuan rumah akan dipindahkan dan otomatis Indonesia tidak bisa menjadi peserta gelaran akbar yang diadakan setiap dua tahun sekali.

Dia menambahkan misalnya timnas Indonesia bisa berlaga di Piala Dunia U-20 bisa menjadi modal berharga menambah jam terbang di edisi piala dunia selanjutnya. Indro juga menekankan agar PSSI memikirkan lagi kemungkinan kelolosan Israel, bila Indonesia berhasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034.

Sementara Meistra Budiasa menambahkan bahwa pernyataan para politisi yang keberatan terhadap partisipasi Israel di Piala Dunia U-20 memengaruhi ekonomi masyarakat. Terutama di kota-kota yang menjadi penyelenggara. Acara olahraga besar bisa menambah pemasukan bagi suatu daerah, minimal bagi Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM). Potensi pemasukan menguap bila Indonesia batal menjadi tuan rumah.

Dia berharap pemerintah Indonesia bisa konsisten mempertahankan pandangan politik asalkan ada kejelasan regulasi di sisi praktik. Bila tidak, Indonesia bisa kehilangan kepercayaan di dunia internasional untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga.

"Jangan bermimpi jadi tuan rumah piala dunia atau olimpiade," kata Meistra kepada DW Indonesia.

(ae/hp)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).