1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diabetes dan Menormalkan Gaya Hidup Sehat

14 November 2017

415 juta orang menderita diabetes di dunia. Dari jumlah itu, 10 juta kasus diabetes di Indonesia, menempatkan Indonesia pada urutan ketujuh tertinggi di dunia. Waspada! Opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2nXiB
Japan Medizintourismus
Foto: picture-alliance/dpa/E. Kennedy Brown

Diabetes melitus—sering hanya disebut diabetes atau kencing manis—meskipun sama-sama mematikan seperti penyakit jantung Iskemik atau kanker, sering dianggap tak terlalu mengancam jiwa, terutama karena gejalanya yang tak gampang terdeteksi. Padahal saat ini dunia sedang mengalami pertumbuhan penderita diabetes. Menurut Internasional Diabetes Federation (IDF), setidaknya 415 juta orang menderita diabetes di dunia. Dari jumlah tersebut ada 10 juta kasus diabetes di Indonesia, menempatkan Indonesia pada urutan ketujuh tertinggi di dunia.

Pemahaman masyarakat umum atas diabetes pun masih sangat minim. Jangankan paham soal perbedaan diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, atau diabetes kehamilan yang timbul saat hamil. Masih banyak yang mengartikan diabetes sebagai penyakit yang timbul hanya karena terlalu banyak asupan gula. Padahal diabetes adalah persoalan insulin dalam tubuh. Insulin adalah hormon produksi pankreas yang berguna untuk mengatur jumlah gula dalam darah. Pada penderita diabetes kadar gula darah (glukosa) jauh di atas normal.

Penulis: Uly Siregar
Penulis: Uly Siregar Foto: Privat

Berbeda dengan diabetes tipe 1 yang terjadi karena kerusakan pankreas hingga tak bisa memproduksi cukup insulin dan merupakan kondisi yang dibawa sejak lahir, diabetes tipe 2 diderita oleh mereka yang menjalani pola hidup tak sehat. Diabetes tipe 2 biasanya menyasar mereka yang memiliki berat badan berlebih atau obesitas, ditambah dengan pelaku gaya hidup yang tidak aktif dan kebiasaan menyantap makanan tak sehat.

Dalam kultur Indonesia yang menempatkan nasi sebagai makanan utama dalam jumlah yang sering berlebihan, menghindari diri dari serangan diabetes tipe 2 menjadi tantangan sendiri. Belum lagi di kalangan masyarakat urban menengah ke atas, karena tuntutan pekerjaan di luar rumah, sudah jamak memiliki asisten rumah tangga dalam jumlah yang tak tanggung-tanggung. Pasangan suami istri dengan dua anak kadang bisa memiliki lima orang asisten: dua orang supir, dua orang babysitter, dan satu orang asisten rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga seperti membersihkan rumah, merawat tanaman di halaman, atau mengurusi anak yang bila dikerjakan sendiri membuat tubuh lebih banyak bergerak, nyaris lenyap dari rutinitas harian. Bila tak digantikan dengan olah raga cukup dan teratur, jelas berpotensi mengundang datangnya diabetes.

Konsumsi gula tidak melebihi 6 sendok teh per hari

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merumuskan sebaiknya konsumsi gula tidak melebihi 25 gram atau 6 sendok teh per hari. Nah, bayangkan, berapa asupan gula bila kita memulai hari dengan sarapan mi instan dengan campuran dua telur dan minum teh manis hangat, makan siang lauk rendang Padang dan gulai otak dengan nasi berlimpah dan minum teh botol, makan malam nasi goreng berwarna gelap akibat kecap manis dan minum jus sirsak yang ditambah gula.

Seorang teman, Nayu Novita, ibu dari dua orang anak usia sekolah dasar mengaku meskipun telah berusaha memberi makanan sehat pada kedua anaknya dengan memperbanyak konsumsi sayur dan buah, tetap saja sulit untuk mengontrol kebiasaan anak makan, terutama bila anak sedang berada dalam lingkungan sekolah. "Saya coba untuk melarang anak tidak jajan di sekolah, tapi namanya anak-anak ya tetap sulit dilarang. Untunglah  belakangan saya agak lega, karena jajanan sekolah sekarang diseleksi oleh tim bentukan dari orang tua murid. Tak ada lagi makanan yang mengandung MSG, minuman bersoda, apalagi permen,” ujar dia.

Ide menyediakan makanan sehat di lingkungan sekolah ini sangatlah bagus. Alangkah baiknya juga bila diikuti oleh dunia profesional. Nah, bayangkan bila kantor tempat Anda bekerja memfasilitasi gaya hidup sehat dengan menyediakan kantin sehat, atau hanya membolehkan pedagang makanan sehat di lingkungan kerja. Tentu pekerja akan ‘dipaksa' untuk makan makanan sehat, dan syukur-syukur bisa terbawa menjadi kebiasaan bahkan saat di luar lingkungan kerja.

Minimnya informasi dan kurangnya edukasi

Minimnya informasi dan kurangnya edukasi membuat masyarakat terjebak dalam situasi yang menjerumuskan mereka pada serangan diabetes. Padahal tindakan pencegahan adalah hal yang paling penting. Menjaga pola makan sebenarnya bukan hal yang terlalu sulit dilakukan bila terus-menerus dicoba, apalagi bila dokter dan para ahli tempat kita berkonsultasi tak putus-putusnya mengingatkan. Mengubah kebiasaan memang membutuhkan upaya serius. Tentu tak segampang membalikkan telapak tangan mengubah kebiasaan makan nasi dua piring dengan lauk ayam goreng menjadi makan ikan bakar dengan sayur berlimpah dan sejumput nasi, misalnya.

Peran orang tua sangat penting dalam membiasakan anak-anak untuk memiliki gaya hidup sehat dan aktif, melahirkan generasi yang sehat. Masalahnya, bila orang tua sendiri membiasakan diri makan asal kenyang dan enak, enggan bergerak apalagi berolah raga, bagaimana mungkin anak-anak akan mengadopsi gaya hidup sehat? Pada dasarnya anak-anak akan melihat apa yang dilakukan orang tua mereka sebagai sebuah kenormalan. Sudah saatnya kita menormalkan gaya hidup sehat hingga anak-anak pun akan melihat bahwa berolah raga setiap hari adalah sebuah kebutuhan, dan setiap makanan yang masuk ke dalam tubuh tak hanya demi kenikmatan yang sering mengundang datangnya penyakit, termasuk diabetes.

Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)

Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.