1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tadinya Diprotes Karena Limbah, Kini Punya Energi Terbarukan

Iman Baruna
14 Juli 2023

Desa penghasil tahu di Sumedang, setelah jadi sasaran protes, kini punya energi terbarukan dari limbah tahu. Peneliti senior BRIN berusaha agar teknologi yang diperkenalkan kepada warga desa bisa terus digunakan.

https://p.dw.com/p/4TlXO
SABS Vida
Foto: Sarah Mischke/DW

Siapa tidak kenal tahu. Makanan berbahan utama kedelai yang aslinya kuliner dari Cina ini, sulit terpisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia. Tahun 2020, produksi tahu Indonesia total mencapai 3,3 juta ton.

Mayoritas produsen tahu di Indonesia masih menggunakan cara tradisional, termasuk dalam pengelolaan limbahnya. Membuang limbah tahu ke sungai, dilakukan selama puluhan tahun oleh para perajin tahu di desa Kebonjati, Sumedang, Jawa Barat.

Itu juga dilakukan Oji, ketua Paguyuban Pengrajin Tahu Giriharja. Dia membuang limbah ke sungai sejak 1985. Dia menjelaskan, dulu dia tidak mengerti cara mengolah limbah cair. Kemudian Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Neni Sintawardani datang berkunjung. Oji bercerita, "Dia datang ke saya langsung. Dia berkata: 'Pak Oji, saya akan memberi peluang emas!'"

Neni Sintawardani memperkenalkan metode pengolahan limbah cair menjadi gas metana kepada produsen tahu di desa tempat Oji tinggal. Tekniknya diterapkan setelah observasi selama setahun di desa penghasil tahu yang limbahnya sempat diprotes ini.

Neni Sintawardani menjelaskan, mereka melihat limbah tahu secara teknis sangat bermasalah bagi lingkungan. Saat memulai studi awal di sana, mereka berdiskusi dengan masyarakat sampai muncul pernyataan, terutama dari perajin tahu, bahwa mereka malu diprotes. Mereka juga memperlihatkan potongan koran. "Dari situ, kami melihat adalah satu kesempatan," kata Neni Sintawardani. Mereka punya teknologi yang ini mereka terapkan, di sisi lain ada kebutuhan dari masyarakat itu sendiri.

Kebiasaan yang merugikan lingkungan hidup

Kebiasaan membuang limbah cair ke sungai di desa ini berhenti setelah tempat pengolahan limbah beroperasi tahun 2018. Sebuah instalasi biogas dibangun untuk mendistribusikan gas metana dari limbah tahu ke rumah-rumah warga, dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

Mengatasi Polusi Limbah Tahu dengan Produksi Biogas

Sedikitnya 80 rumah warga mendapat pasokan biogas, dan warga dikenakan iuran Rp 20.000,- per bulan untuk layanan menggunakan energi terbarukan ini.

Dede Hidayah, warga desa, mengatakan, "Kalau kita sedang susah mencari elpiji, merasa terbantu dengan adanya biogas”. Sementara warga lainnya, Wariah mengungkap, penggunaan biogas lebih hemat, karena sekarang harga elpiji lebih mahal. "Jadi bisa membantu untuk sehari-hari,” katanya.

Selain ekonomis, warga merasakan manfaat lain dari keberadaan instalasi biogas, yaitu baik bagi lingkungan hidup. Dulu limbah dibuang ke sungai, sekarang tidak lagi, kata Wariah. Sementara Dede Hidayah mengemukakan, "Lingkungan menjadi bersih, selokan dan sungai tidak bau lagi, jadi bersih!”

Setiap hari pabrik biogas ini menerima pasokan 24 ribu hingga 30 ribu liter limbah cair dari sejumlah pabrik tahu yang ada di perkampungan ini. Keberadaan pabrik biogas membuat sanitasi di kawasan ini makin membaik. Limbah yang berasal dari sembilan pabrik disalurkan menggunakan pipa sepanjang 1,5 kilometer. Limbah tahu memiliki tingkat keasaman yang berbahaya jika tidak diolah.

Neni Sintawardani, peneliti senior BRIN mengatakan, ia memperhtikan kondisi dari air limbah yang buruk, yang sangat berisiko bagi lingkungan kalau dibuang langsung ke sungai. "Dapat dibayangkan, kalau air sungai tersebut memburuk, kualitasnya menurun, misalnya pH-nya menjadi rendah, maka dia [air] tidak layak lagi untuk dipergunakan sebagai air irigasi. Atau kalau dia [limbah cair tahu] meresap ke sumur warga dengan pH yang masih rendah, maka itu [air] juga tidak layak untuk dikonsumsi”.

Dari limbah tahu jadi gas metana

Enam reaktor biogas digunakan untuk mengolah limbah tahu menjadi gas metana. Instalasi bisa menghasilkan 200 meter kubik gas metana per hari, dan kualitas air menjadi semakin baik.

Neni Sintawardani menjelaskan lebih lanjut; limbah dari kolam penampungan akan masuk ke reaktor pertama. Di situ akan diolah oleh mikroba aneorobik, sebagian menjadi biogas, karena tidak semuanya dapat diolah. Cairan (limbah) yang sudah terolah akan langsung masuk ke reaktor dua. Di reaktor dua, itu akan diolah lagi oleh mikroba yang ada menjadi biogas. Dan demikian seterusnya. "Sehingga dapat dikatakan, di reaktor yang selanjutnya limbah yang diolah tentu lebih tidak terpolusi dibandingkan yang pertama-tama," dijelaskan Neni Sintawardani.

Infrastruktur teknik pengolahan limbah tahu yang dibangun Neni bersama timnya, terbukti jadi solusi masalah lingkungan. Namun sebagai peneliti, Neni juga sadar ia punya peran lain dalam transfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat.

Jika orang mencoba mencari solusi dengan teknologi, orang berpikir jika teknologinya diterapkan, maka masalahnya selesai. Tapi kenyataannya tidak demikian. "Karena kalau suatu teknologi itu dimanfaatkan, tapi tidak berkelanjutan berarti tidak ada gunanya,” begitu ditekankan Neni.

Usaha Neni Sintawardani dengan mentransfer ilmu pengetahuan dan melibatkan masyarakat sejak awal akhirnya berbuah manis. Seluruh pengoperasian pabrik biogas dari limbah tahu kini dilakukan oleh warga. Meski berlatar belakang sebagai produsen tahu, mereka mampu membuat desanya jadi ramah lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat.

Produsen tahu Pepen Sopendi mengatakan, itu cara belajar yang alami. "Harapannya supaya ke depannya lebih baik dan ini diperbesar lagi," kata Pepen. Jika semua limbah pabrik tahu masuk ke sini, mungkin akan lebih bagus!

Ilmu pengetahuan yang diperoleh Pepen terus ia kembangkan agar teknologi ramah lingkungan yang kini ada di desanya bisa terus digunakan. Neni Sintawardani mengatakan, untuk mengimplementasikan suatu hasil penelitian, terutama teknologi, para ilmuwan berpikir mengenai keberlanjutan. Yaitu, seberapa jauh teknologi itu bisa digunakan, mau digunakan dan dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama oleh masyarakat.

"Kita harus menemukan siapa agen perubahannya. Kalau kita tidak bisa menemukan itu, maka bisa dikatakan percuma," kata Neni Sintawardani menegaskan. "Yang harus kami pegang adalah apakah ini berkelanjutan atau tidak? Salah satunya peran dari agen pengubah di lapangan. Dan itu harus kita temukan!”

Hasilnya kini sudah terasa, desa terhindar dari cemaran limbah tahu sekaligus memetik manfaat dari biogas yang dihasilkan. (ml/as)