1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiEropa

Apa Dampak Turunnya Nilai Tukar Euro bagi Jerman dan Eropa?

Ashutosh Pandey
25 Agustus 2022

Nilai tukar mata uang euro minggu sempat tenggelam sampai di bawah 1 dolar AS, nilai terendah selama lebih 20 tahun. Dan mungkin penurunan nilai tukar euro tidak berhenti sampai di sini.

https://p.dw.com/p/4G1Ws
Foto ilustrasi euro/dolar
Foto ilustrasi euro/dolarFoto: Carol Smiljan/picture alliance

Nilai tukar mata uang euro terus jatuh terhadap dolar dan mata uang dunia lain. Bahkan pada hari Selasa (23/8) bahkan sempat berada di bawah 1 dolar AS, batas psikologis yang membuat para investor di Eropa khawatir, di tengah potensi resesi di zona euro, sementara harga gas dan listrik masih terus naik karena ketidakpastian seputar pasokan gas dari Rusia.

Memburuknya prospek zona euro secara umum menyeret nilai tukar mata uang bersamanya. Ketergantungan besar ekonomi utama seperti Jerman dan Italia pada gas Rusia telah membuat investor cemas. Para pengamat ekonomi memperkirakan resesi akan datang jauh lebih cepat dan lebih menyakitkan, dibandingkan situasi di AS.

Selain itu, tingkat suku bunga di AS dan zona euro juga berbeda jauh. Bank Sentra AS The Fed telah lebih agresif menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi, dibanding Bank Sentral Eropa, ECB.

"Uang akan pergi ke tempat dengan hasil yang lebih tinggi," kata Carsten Brzeski, kepala ekonom untuk Jerman dan Austria di bank ING kepada DW.

Dolar AS juga tentu diuntungkan dari posisinya sebagai “safe haven”, di massa-masa krisis kebanyakan orang cenderung menyimpan mata uang dólar ketimbang euro.

Bagaimana dampak lemahnya euro pada konsumen?

Melemahnya mata uang euro akan menambah beban rumah tangga dan bisnis di Eropa, yang sedang terhuyung-huyung menghadapi rekor inflasi tinggi. Lemahnya mata uang juga akan akan membuat barang impor, yang sebagian besar dibayar dalam mata uang dolar, menjadi lebih mahal. Tren ini pada akhirnya akan mendorong inflasi di kawasan euro ke tingkat yang lebih tinggi.

Di massa-masa normal, melemahnya mata uang bisa dipandang sebagai kabar baik bagi para eksportir dan bisnis ekspor, karena mendorong harga-harga barang yang diekspor jadi lebih murah dan lebih mampu bersaing di pasaran global. Tapi ini bukanlah massa-masa normal, karena ada gangguan serius pada rantai rantai pasokan global akibat pandemi, dan sekarang akibat pemberlakuan sanksi terhadap Rusia karena perang di Ukraina.

"Dalam situasi saat ini dengan ketegangan geopolitik, keuntungan dari melemahnya mata uang jauh lebih sedikit daripada kerugiannya," kata Carsten Brzeski dari ING.

Sebaliknya, bagi wisatawan AS yang menuju ke Eropa, perkembangan ini seperti berkah. Karen anilai uang dólar sekarang sudah jauh lebih tingi dibandingkan pada awal tahun. Semuanya jadi lebih murah, kakalu dihitung dalam dolar.

Apa dampaknya bagi perekonomian di zona euro?

Para pengamat ekonomi memperkirakan, mata uang euro sementara ini akan terus melemah terhadap dolar. Ahli strategi di Nomura International memperkirakan, euro bisa turun ke level 0,95 dolar. Bank investasi AS Morgan Stanley memperkirakan, euro akan berkisar di 0,97 dolar pada kuartal ini.

Padahal saat ini Uni Eropa, terutama Jerman, sedang berusaha untuk melepaskan diri dari minyak dan gas Rusia, dan untuk menemukan alternatif lain. Tapi untuk minyak dan gas dari tempat lain, harga yang harus dibayar juga lebih tinggi.

Mata uang euro tidak hanya melemah terhadap dolar, melainkan juga terhadap mata uang lain seperti franc Swiss dan yen Jepang. Hal ini menjadi salah satu alasan utama yang mendorong Bank Sentral Eropa, ECB, mengumumkan kenaikan suku bunga sampai 50 basis poin pada Juli lalu, dua kali lipat dari kenaikan suku bunga yang diumumkan sebulan sebelumnya.

Lalu apa masih ada prospek lebih baik di masa depan? "Sementara dampak jangka pendek dari krisis energi yang sedang berlangsung tetap negatif pada EUR/USD, beberapa risiko Eropa setelah musim panas untuk jangka menengah bisa dibilang agak mereda," kata George Saravelos, Direktur Penelitian Devisa di Deutsche Bank. (hp/yf)