1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IklimPakistan

Banjir di Pakistan Desakkan Dana Kompensasi Iklim

1 September 2022

Negara kaya boros emisi harus mendapat “tekanan moral” untuk membantu negara miskin menghadapi bencana iklim, desak Pakistan. Negeri yang nyaris bangkrut itu harus menyiapkan USD 10 miliar untuk membantu korban banjir

https://p.dw.com/p/4GIfo
Banjir di Pakistan
Banjir di PakistanFoto: DW

Hujan ekstrem dan banjir bandang menewaskan lebih dari seribu orang dan menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan. Padahal sebulan silam, negara di Basin Sungai Indus itu dilanda gelombang panas yang menghanguskan sebagian hasil panen.

Tapi meski dinilai masih terlalu dini untuk mengukur kontribusi pemanasan global, Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres, menanggap banjir di Pakistan sebagai fenomena "bencana iklim.” 

"Bencana ini bukan sebuah kebetulan, timpal Nabeel Munir, Duta Besar Pakistan di Korea Selatan dan juru runding iklim PBB. "Ilmu pengetahuan sudah membuktikan bahwa frekuensi dan dampak bencana semacam ini hanya akan semakin parah. Kita harus siap menghadapinya.”

Menurutnya, kerusakan akibat banjir akhir Agustus silam hanya permulaan. "Bencana ini masih berlanjut. Hujannya belum berhenti,” imbuh Munir kepada AFP.

Pakistan tercatat hanya menyumbang 0.5 persen terhadap total jumlah emisi global, jauh lebih kecil dibandingkan emisi AS yang sebesar 25 persen. Ia termasuk sekelompok negara yang kendati beremisi rendah, tapi rentan terhadap bencana iklim.

Sejauh ini, negosiasi seputar pembiayaan iklim terganjal penolakan produsen emisi terbesar seperti Amerika Serikat atau Cina.

Sebab itu bencana di Pakistan diyakini bakal meningkatkan tekanan terhadap KTT Iklim COP27 di Kairo, Mesir, yang diharapkan menyepakati regulasi soal dana kompensasi bagi "kehilangan dan kerusakan” akibat bencana iklim.

Blokade dana iklim oleh negara kaya

Munir mengatakan, negara-negara kaya yang berkontribusi besar terhadap krisis iklim harus mengakui perannya dan membantu negara-negara miskin. Menurutnya, perundingan PBB sejauh ini gagal menyepakati kerangka pembiayaan, "tidak satu sen pun,” tukasnya. 

"Kami akan terus menekan secara moral. Tapi saya kira tekanan politik dan moral terbesar harus datang dari dalam negeri,” kata Munir.

Pemerintah di Islamabad memperkirakan biaya pemulihan dan pembangunan kembali akan berkisar USD 10 miliar atau sekitar Rp.140 triliun. Sejauh ini, PBB sudah mengumpulkan USD 160 juta sebagai bantuan darurat. 

"Negara-negara darurat harus bisa bergantung pada sumber pembiayaan berjangka panjang dan konsisten, seiring dampak krisis iklim yang semakin menggunung,” kata Kristine Dahl, pakar iklim di Union of Concerned Scientists. 

Negara penghasil emisi terbesar, terutama AS dan Uni Eropa, "secara konsisten berusaha menggagalkan” upaya menyepakati dana kompensasi iklim, imbuh Dahl. 

Menyusul kegagalan negara kaya menepati janji bantuan mitigasi iklim senilai USD 100 miliar pada 2020, isu ketimpangan global dan pembiayaan iklim dipastikan akan jadi agenda utama dalam KTT Iklim, bulan November mendatang.

Sebuah studi teranyar memprediksi potensi terjadinya musim hujan ekstrem di Asia Selatan mencapai enam kali lipat lebih besar, bahkan jika manusia berhasil membatasi emisi gas rumah kaca.

"Adalah fakta bahwa bencana banjir ini terjadi akibat perubahan iklim,”kata diplomat Pakistan, Munir. "Jadi, dana bantuan dan mitigasi harus segera dikucurkan, dan Anda tahu siapa yang mampu.”

rzn/yf (afp,rtr)

'The government is not helping us'