1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

240511 EHEC

30 Mei 2011

Dalam waktu hanya beberapa hari, sekitar 1200 orang diindikasikan terinfeksi penyakit yang disebabkan bakteri Escherichia coli penyebab pendarahan saluran pencernaan-EHEC. Dilaporkan 10 orang meninggal akibat infeksinya.

https://p.dw.com/p/11Qg6
Bakteri enterohaemoragic Escherichia coli EHEC, yang memicu pendaharan saluran pencernaan dan dapat berakibat fatal.Foto: picture-alliance/dpa


Dalam beberapa hari terakhir di penghujung bulan Mei 2011 ini, warga Jerman mencemaskan serangan penyakit infeksi saluran pencernaan yang memicu sindroma diare hebat bercampur darah. Kini para peneliti kedokteran dan farmasi di Jerman terus meneliti penyebab semakin berbahayanya serangan bakteri tsb.

Bakteri Escherichia coli pemicu pendarahan saluran pencernaan atau EHEC bukanlah varian baru. Para pakar kedokteran dan farmasi sejak tahun 1977 sudah mengenal bakteri EHEC yang habitat aslinya adalah saluran pencernaan binatang ternak sapi, domba, kambing dan juga pada saluran pencernaan binatang liar. Bakterinya juga bisa menular kepada manusia dengan cara langsung, lewat produk susu atau daging binatang ternak bersangkutan. Atau secara tidak langsung, lewat kotoran binatangnya yang dijadikan pupuk bagi tanaman sayuran atau buah-buahan. Atau juga penularan lewat air yang terkontaminasi bakterinya. Bagi binatang ternak atau binatang liar, bakteri “enterohaemoragic Escherichia coli”-EHEC itu tidak menimbulkan ancaman bahaya.

EHEC Keime
Para periset kedokteran terus meneliti bakteri EHEC yang mematikan.Foto: dapd

Tapi pada manusia, bakterinya memicu infeksi yang ditandai dengan gejala diare berat serta rasa mual. Dalam kondisi normal, serangan bakterinya biasanya tidak berdampak mematikan. Susanne Glasmacher dari lembaga penelitian Institut Robert Koch di Berlin mengungkapkan : “ Kami setiap tahunnya menerima laporan 1.000 kasus EHEC, diantaranya 80 kasus berat.“

Perkembangan penyakit berat itu di kalangan kedokteran disebut HUS singkatan dari sindroma hemolitic uremic. Yakni potensi komplikasi infeksi yang dapat berdampak mematikan akibat serangan bakteri EHEC. Penyebabnya diungkapkan oleh Susanne Glasmacher : "Keistimewaan bakterinya adalah sangat beracun, jadi bakterinya memproduksi sel racun yang menimbulkan masalah. Sel racun ini menghancurkan sel darah merah, sehingga memicu anemia, sel darah merah menyumbat pembuluh darah halus di ginjal, sehingga menimbulkan kerusakan ginjal.“

Akibatnya dapat terjadi kasus gagal ginjal dan dalam kasus sangat gawat, dapat menimbulkan kematian. Para pakar kedokteran juga menghadapi dua masalah besar dalam pengobatan penyakit infeksi yang dipicu bakteri EHEC. Pertama, jenis Escherichia coli terbaru yang mematikan itu, amat sulit dibedakan dari jenis yang tidak berbahaya. Dan kedua, pengobatannya menggunakan obat-obatan antiobiotika tidak mungkin dilakukan.

Penyebabnya kembali diungkapkan periset dari Institut Robert Koch di Berlin, Susanne Glasmacher : “Jika kita menghancurkan bakterinya dengan antiobiotika, racun yang dilepaskan akan lebih banyak dan gejalanya akan bertambah gawat. Jadi amat kontraproduktif. Karena itulah dalam kasus infeksi EHEC, antibiotika tidak mungkin digunakan dalam terapinya.“

Menimbang realita yang dihadapi, para dokter hanya memiliki kemungkinan untuk meringankan gejalanya. Misalnya dengan infus untuk membantu menanggulangi kehilangan cairan pada pasien. Jika gejalanya amat gawat, para dokter dapat melakukan cuci darah atau dialisa untuk mencegah terjadinya kerusakan pada ginjal. Sejauh ini para dokter juga belum mengetahui penyebab infeksinya. Mereka memperkirakan sayuran yang dipupuk menggunakan kotoran ternak sebagai pemicunya. Tapi juga kini diperkirakan susu sapi atau daging mentah dan air yang tercemar sebagai sumber penularan bakteri pemicu infeksi saluran pencernaan yang mematikan tsb.

Sekarang kemungkinan untuk melindungi diri dari infeksi bakteri itu hanyalah mengikuti aturan kesehatan secara ketat. Para pakar kesehatan menyarankan agar semua bahan makanan, baik sayuran maupun daging dipanaskan selama 10 menit pada suhu 70 derajat Celsius. Dengan itu, semua bakterinya akan mati. Susanne Glasmacher menjelaskan lebih lanjut : “Amat penting untuk selalu mencuci tangan setelah kita keluar dari WC sebelum menyentuh makanan. Atau pisau yang digunakan mengiris daging harus dicuci bersih dengan sabun, sebelum digunakan merajang sayuran.“

Salatgurke
Mentimun diduga salah satu sayuran yang mengandung bakteri E.coli yang mematikan EHEC.Foto: picture-alliance/dpa

Para pakar kedokteran, kesehatan dan farmasi di Jerman, saat ini mencemaskan kenyataan bahwa penyakit yang sudah lama dikenal, kini berkembang tidak terkendali dan tidak diketahui mekanismenya. Sejauh ini baru diketahui, bahwa bakteri EHEC jenis baru itu resisten pada sejumlah obat-obatan anti bakteri. Biasanya penderita penyakit infeksi EHEC adalah anak-anak. Tahun 2010 lalu Institut Robert Koch hanya mencatat 65 kasus gawat, dengan enam orang pasiennya berusia lebih tua dari 18 tahun. Tapi kini dalam waktu beberap hari, tercatat hampir 1200 kasus infeksi bakteri coli pemicu pendarahan di saluran pencernaan itu, dengan lebih dari 140 kasus gawat. Juga kebanyakan pasiennya kini adalah perempuan dewasa.

Pakar penyakit menular dari Institut Robert Koch, Gerard Krause hanya dapat melontarkan spekulasi mengenai mengapa kini banyak penderita infeksinya adalah perempuan dewasa. Kemungkinan mereka terinfeksi ketika mengolah sayuran atau daging, karena biasanya kaum perempuanlah yang memasak di rumah.

Menanggapi merebaknya infeksi bakeri EHEC yang dapat berakibat kematian itu, para petugas kesehatan di Jerman kini menyarankan werga agar segera berobat ke dokter jika mengalami diare berkepanjangan. Juga diingatkan, jangan mengkonsumsi antibiotika sembarangan, karena dapat memperparah gejalanya sampai yang paling parah berupa kegagalan fungsi ginjal. Selain itu, sarana klasik pencegahan penyakit, berupa mencuci tangan menggunakan sabun atau menggunakan obat desinfeksi tetap disarankan untuk dijadikan kebiasaan sebelum memegang makanan.

Fabian Schmidt/Agus Setiawan

Editor : Carissa Paramaita