1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apa Dampak UU Rantai Suplai Uni Eropa bagi Petani Sawit?

12 April 2023

Regulasi baru UE untuk cegah deforestasi di rantai suplai global diyakini akan menguntungkan pengusaha besar sawit. Tingginya standar keberlanjutan menyulitkan petani kecil. Bantuan diperlukan untuk biaya sertifikasi.

https://p.dw.com/p/4PuLF
Kebun sawit di Malaysia
Kebun sawit di MalaysiaFoto: Lim Huey Teng/REUTERS

Petani sawit Malaysia, Reta Lajah, tergolong beruntung. Sebagai perwakilan orang asli Malaysia, dia dipilih untuk mendapat sertifikasi hijau secara cuma-cuma untuk lahan sawitnya seluas 8,5 hektare. 

"Rasanya seperti mendapat sertifikat kelahiran anak,” kata dia. Kebunnya berada di Desa Sungai Judah di Pulau Carey, 60 kilometer di lepas pantai Kuala Lumpur. 

Meski berkomitmen melaksanakan pertanian ramah lingkungan, melindungi hutan dan satwa, atau menyelesaikan konflik lahan secara damai, tidak ada jaminan bagi Reta untuk bisa menjual hasil sawitnya ke Uni Eropa.

Sejak Desember lalu, Uni Eropa melarang impor produk yang punya catatan perusakan lingkungan atau pelanggaran HAM  pada rantai suplainya. Regulasi tersebut terutama diarahkan bagi impor dari Cina, tapi juga untuk komoditas seperti sawit, kedelai, atau cokelat yang dikenal memotori deforestasi.

Organisasi lingkungan mewanti-wanti betapa Undang-undang Rantai Suplai Uni Eropa bisa menjauhkan petani kecil. Pasalnya untuk bisa menjual ke Eropa, mereka akan diwajibkan melampirkan jejak rekam rantai suplai secara menyeluruh, strategi penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, serta peta kebun secara detail.

Tidak heran jika proses sertifikasi ditaksir berbiaya tinggi.

Memproduksi Minyak Sawit dengan Lebih Berkelanjutan

Jebakan kemiskinan di balik transformasi hijau

Sebanyak 40 persen sawit di Indonesia dan Malaysia diproduksi petani sawit skala kecil. Sebagian besar tidak memiliki sertifikat berkelanjutan. 

Kelak, UE mewajibkan importir membuktikan di mana, oleh siapa dan bagaimana produknya dibuat, serta tidak ditanam di atas hutan yang dibabat setelah 2020. Siapa pun yang melanggar akan diganjar dengan denda yang tinggi.

"Perkebunan sawit besar adalah pemenang terbesar, karena mereka punya kemampuan finansial untuk melacak di mana sawitnya ditanam,” kata Danny Marks, Asisten Guru Besar Kebijakan Lingkungan di Dublin City University, Irlandia.

"Penanggung kerugian terbesar adalah petani kecil, kecuali mereka mendapat bantuan," imbuhnya.

Uni Eropa didesak untuk ikut membantu proses sertifikasi bagi petani kecil, warga lokal, atau penduduk asli.

Koltiva: Jamin Kejelasan Jalur Produksi

Populerkan sawit berkelanjutan

Bagi Reta Lajah, regulasi Uni Eropa bisa membantu warga lokal melindungi hutan, serta beradaptasi dengan ekosistem alami. Dia mengimbau pemerintah untuk menegosiasikan kemudahan akses ke pasar Uni Eropa bagi petani kecil.

Reta mendapat lahannya sebagai hibah dari Jakoa, sebuah lembaga negara yang mengurusi penduduk asli. Tanpanya, dia akan kesulitan membiayai hidup dan pendidikan anak-anaknya di kawasan terpencil.

"Minyak sawit berjasa mengamankan masa depan saya dan masyarakat di sini. Ia membantu menghapus rasa khawatir tentang masa depan kami," tukasnya.

Saat ini, terdapat tujuh juta petani sawit skala kecil di seluruh dunia. Di antaranya, cuma sekitar 175 ribu petani yang memiliki sertifikat berkelanjutan. 

Lembaga konsultan hijau seperti Wild Asia berusaha membantu petani kecil untuk menjalani proses sertifikasi sawit. Namun, regulasi baru Uni Eropa turut membuat mereka ketar-ketir, yang oleh pendirinya, Reza Azmi, disebut akan "berdampak pada sangat banyak orang di banyak kawasan geografis yang berbeda."

rzn/ha (Reuters)