1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAsia

Akankah Konflik Gaza Hadang Ambisi Ekonomi Arab Saudi?

Cathrin Schaer
31 Oktober 2023

Di tengah pertumpahan darah di Jalur Gaza, Arab Saudi sibuk menyelenggarakan forum ekonomi dan investasi. Analis memprediksi seberapa besar krisis di Timur Tengah berdampak terhadap iklim investasi.

https://p.dw.com/p/4YChs
KTT Inisiatif Investasi Masa Depan di Riyadh, Arab Saudi
KTT Inisiatif Investasi Masa Depan di Riyadh, Arab SaudiFoto: Fayez Nureldine/AFP/Getty Images

Lima tahun lalu, di hadapan pelaku usaha dan investor yang memenuhi Hotal Ritz Carlton di Riyadh, Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, mengatakan betapa dirinya meyakini bahwa Timur Tengah bisa menjadi "Eropa baru."

"Pencerahan global selanjutnya, dalam 30 tahun ke depan, akan berada di Timur Tengah," kata pemimpin otoriter dalam konferensi Inisiatif Investasi Masa Depan yang digelar Saudi pada tahun 2018.

"Ini adalah perangnya Saudi. Ini adalah perang saya," lanjutnya. "Saya tidak ingin meninggalkan dunia ini sebelum saya melihat Timur Tengah berada di garis terdepan dunia."

Tahun ini, konferensi investasi yang dijuluki "Davos di tengah gurun pasir" karena menyerupai Forum Ekonomi Dunia tahunan di Swiss itu dibayangi perang antara Hamas dan Israel di Jalur Gaza. Namun selain pembatalan oleh segelintir undangan, forum yang digelar Saudi akan disambangi oleh investor paling mapan di dunia, antara lain BlackRock, Blackstone, Citigroup, Goldman Sachs dan JP Morgan Chase.

Inisiatif Investasi Masa Depan diharapkan bisa menghasilkan kesepakatan bisnis, seperti rencana pembangunan pabrik otomotif di Saudi lewat kerja sama dengan produsen Korea Selatan, Hyundai, senilai USD 500 juta, yang diumumkan Senin (30/10).

Why is Saudi Arabia investing billions in sports?

Dibayangi perang di Gaza

Ada banyak alasan akal untuk berada di Saudi meskipun apa yang terjadi di Gaza, kata Karen E. Young, peneliti senior di Pusat Kebijakan Energi Global Universitas Columbia, kepada DW.

"Investor membayar banyak untuk menghadiri konferensi tersebut. Mereka melihat Saudi dan PIF sebagai sumber utama investasi dan peluang,” jelasnya. "Ada ketertarikan untuk mencoba memahami bagaimana negara-negara Teluk dan dana investasi mereka akan merespons krisis ini.”

Diperkirakan 6.000 warga Palestina, hampir setengahnya adalah anak-anak, tewas terbunuh akibat pemboman Israel yang masih berlangsung, menurut otoritas kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza. Jumlah korban tewas dikabarkan terus meningkat. Serangan Israel merupakan respons terhadap teror Hamas yang menewaskan lebih dari 1.200 orang pada 7 Oktober silam.

Apa yang saat ini terjadi di Gaza "membayangi segalanya,” tulis harian AS, The Wall Street Journal mengutip pernyataan Menteri Investasi Arab Saudi, Khalid al-Falih. "Tetapi demi kebaikan mereka dan demi kemanusiaan, kita harus tetap fokus pada kesejahteraan rakyat kita.”

Kepala eksekutif Citibank Jane Fraser mengatakan sulit untuk tidak bersikap pesimis mengingat keadaan yang ada. Adapun Direktur Utama  BlackRock Larry Fink menyatakan bahwa pertempuran di Ukraina dan Gaza mulai mengendurkan semangat dan harapan investor. Hal ini dikhawatirkan bakal membebani sentimen konsumen dan pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi, kata dia.

Ancaman lonjakan inflasi

Dalam jangka pendek, masalah ekonomi terbesar yang disebabkan oleh konflik di Gaza adalah pasokan dan fluktuasi harga energi, kata para ekonom. Dalam skenario terburuk, jika konflik menyebar ke luar Israel, harga minyak bisa naik hingga $150 per barel, tulis analis di Bloomberg minggu ini. Harga saat ini masih bertengger di kisaran $90 per barel. Kenaikan harga energi akan menyebabkan lonjakan inflasi dan memperlambat pertumbuhan.

Risiko lain yang lebih mendesak adalah peningkatan arus pengungsi, kenaikan biaya asuransi, dan ancaman terhadap negara-negara di kawasan yang bergantung pada pendapatan pariwisata.

Menteri Keuangan Saudi, Mohammed al-Jadaan, sudah bertekad bahwa krisis di Gaza tidak akan mengganggu rencana investasi Arab Saudi. "Kami melakukan banyak upaya bersama mitra kami untuk memastikan agar segalanya kembali seperti dulu," ujarnya.

"Kepemimpinan Saudi memahami bahwa isu Palestina masih membebani isu domestik dan internasional, serta relasi dengan AS dan rivalitas dengan negara-negara muslim lain," kata Yamine Farouk, peneliti Timur Tengah di Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga wadah pemikir AS.

"Hal terakhir yang diinginkan Saudi adalah kekacauan regional yang menghadang pembangunan proyek Visi 2030," pungkasnya, merujuk pada ambisi Riyadh membangun kota futuristis di tepi Laut Merah.

rzn/hp