1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Ada Kearifan Lokal, Tapi Ada Juga Ketidakarifan Lokal

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
2 April 2024

Banyak kalangan di masyarakat Indonesia, baik elite maupun "wong cilik”, kelompok akademik maupun nonakademik, membicarakan kearifan lokal. Namun, dalam batas tertentu mengabaikan ketidakarifan lokal (local ignorance).

https://p.dw.com/p/4Zvtm
Gambar simbol
Gambar ilustrasi pertarungan kebaikan melawan kejahatanFoto: Getty Images/J. Simon

Sebagai bangsa besar dan klasik, Indonesia tentu saja mewarisi aneka ragam praktik kearifan lokal dari para "leluhur nusantara” yang hingga kini (sebagian) masih eksis di masyarakat dan dijadikan sebagai "pedoman hidup” untuk menjalin relasi sosial, mengurus keperluan ekonomi, mengelola alam, menjalankan ritual-keagamaan, membuat sistem politik-pemerintahan dan seterusnya.

Tetapi perlu diingat, leluhur bukan hanya kumpulan orang-orang baik. Sebagaimana umat manusia sekarang, para leluhur di masa lalu juga beragam: ada leluhur yang baik, ada pula leluhur yang tidak baik dan bahkan jahat.

Nusantara menjadi saksi bisu pluralitas dan kompleksitas para leluhur. Ada leluhur yang cinta damai, arif, dan bijak (misalnya para resi dan brahmana) tetapi ada pula leluhur yang hobi berperang, berkonflik, dan pertumpahan darah (misalnya para raja, punggawa, dan bala tentaranya).

Sering kita baca dalam buku-buku dan dokumen sejarah, para elite kerajaan tempo dulu rela saling telikung, saling fitnah, dan bahkan saling bunuh satu sama lainnya tidak peduli bahwa mereka adalah sebangsa, sesuku, seagama, dan bahkan sekeluarga demi sebuah jabatan, kekuasaan, dan bahkan perempuan.

Sumanto Al QurtubyPendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Di zaman penjajahan (Portugis, Belanda, dan Jepang), para leluhur juga beraneka ragam. Ada yang menjadi pejuang dan pahlawan tetapi ada pula yang menjadi pecundang dan pembelot. Ada yang prorakyat dan bangsanya sendiri, ada pula yang bersekutu dengan bangsa kolonial.

Demi "sekepeng” uang dan jabatan di pemerintah kolonial, banyak warga pribumi (adipati, demang, lurah, mandor, opas, "centheng,” dlsb) yang rela memeras, menyiksa, dan membunuh kaumnya sendiri. Para sejarawan bahkan mengatakan kalau jumlah "milisi pribumi” yang bekerja untuk pemerintah kolonial jauh lebih banyak ketimbang "tentara kolonial” itu sendiri.

Setelah bangsa kolonial hengkang dari bumi nusantara, "leluhur kontemporer” bangsa Indonesia pun tetap bermacam-macam. Ada yang baik, ada yang buruk. Leluhur yang baik menyebarkan pesan-pesan perdamaian dan keharmonisan sedangkan leluhur yang "buruk rupa” menebarkan konflik, kekerasan, dan perang. Meskipun penjajah asing sudah pergi dari tanah air, "penjajah lokal” masih terus berkeliaran di mana-mana, desa maupun kota.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Jadi jelasnya, Indonesia saat ini bukan hanya mewarisi kearifan lokal para leluhur bangsa Nusantara tetapi juga ketidakarifan lokal mereka, baik "leluhur klasik” maupun "leluhur kontemporer.” Tentu saja ketidakarifan lokal itu tidak semata-mata produk dari perilaku leluhur.

Kita sendiri yang menciptakan ketidakarifan

Kita sendiri turut menciptakan ketidakarifan lokal itu. Ada banyak sekali contoh ketidakarifan lokal di masyarakat, baik warisan leluhur maupun produk manusia masa kini. Sebut saja, misalnya, perilaku kekerasan, persekusi, korupsi, pencurian, penipuan, pemalakan, provokasi, fitnah, hujatan, penyerobotan, dan masih banyak lagi yang setiap detik mewarnai berita-berita di Tanah Air. Lalu di mana kearifan lokal yang selama ini didengungkan, diagungkan, dikampanyekan, dan dipropagandakan?

Hanya karena jabatan, kekuasaan, kekayaan, atau masalah sepele seperti uang recehan, pinjaman, dan perempuan, sesama anak bangsa rela saling baku hantam. Hanya karena masalah kepentingan politik tertentu, sesama anak bangsa rela saling hujat dan menjatuhkan. Inilah bagian dari ironi dan paradoks umat manusia: praktik kearifan lokal berdampingan dengan ketidakarifan lokal.

Lahan Tandus Mengajarkan Pentingnya Swasembada Pangan

Memanfaatkan yang baik, memberantas yang tidak baik

Menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya orang-orang yang masih memiliki akal sehat dan hati nurani, untuk merawat, melestarikan, mempertahankan, dan memajukan praktik kearifan lokal di satu sisi serta meminimalisir (karena menghilangkan nyaris tidak mungkin) praktik ketidakarifan lokal di masyarakat di pihak lain. Masyarakat yang masih waras perlu menjadikan praktik ketidakarifan lokal sebagai "musuh bersama” yang harus diperangi.

Sementara itu, dalam batas tertentu, praktik kearifan lokal di Indonesia bukan hanya perlu untuk dilestarikan tetapi juga perlu dibela dan diperjuangkan baik karena adanya "serbuan” sejumlah kelompok tertentu terhadap praktik kearifan lokal di masyarakat yang mereka lakukan atas nama ideologi, agama, pemahaman, dan orientasi tertentu maupun lantaran adanya ketidaktertarikan masyarakat, termasuk pemerintah dan kelompok elite, terhadap praktik kearifan lokal itu. 

Sumanto Al Qurtuby

Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.