1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

070911 25 Jahre Pro Asyl

8 September 2011

8 September 1986 sebuah organisasi yang memperjuangkan hak suaka bagi pengungsi "Pro Asyl" didirikan di Jerman. Sejak itu, gereja, serikat buruh dan sejumlah perkumpulan lainnya mengikuti gagasan organisasi tersebut.

https://p.dw.com/p/12VJb
Guenter Burghardt, Delegationsleiter EU-Kommission, Washington D.C., beim Wirtschaftstag des Wirtschaftsrats der CDU am 28.06.2001 in Berlin
Günter Burghardt, ketua organisasi "Pro Asyl"Foto: picture-alliance/dpa

Kantor pusat Pro Asyl terletak di tengah kota Frankfurt. 6 orang bekerja di sana. Günter Burkhardt, pemimpin Pro Asyl menjelaskan, bahwa organisasinya adalah sebuah perkumpulan independen yang tidak mendapat dana bantuan dari pemerintah.Ia mengatakan, „kami mendapat dana dari 15.000 anggota kami, para donor. Secara keseluruhan dua juta Euro terkumpul setiap tahun.“

Dengan anggaran itu cukup banyak yang bisa dikerjakan. Juga, 25 tahun setelah perkumpulan itu dibentuk. Günter Burkhardt memaparkan, "di tahun 80-an, kami merasakan bahwa pengungsi dijadikan sebagai tema kampanye pemilu. Serangan terhadap orang asing terjadi di mana-mana. Suasananya semakin panas. Akhirnya kami mendirikan Pro Asyl untuk mewakili para pengungsi itu.“

Di awal pendiriannya, organisasi itu melihat para pengungsi tidak mendapat bantuan hukum sama sekali. Padahal, hak suaka tertera dalam undang-undang dasar Jerman. Dalam pasal 16a disebutkan, „orang yang diburu secara politis memiliki hak suaka“. Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari masa lalu Jerman, ketika NAZI berkuasa dan mengusir ratusan ribu orang dari Jerman. Kebanyakan dari mereka tidak mendapat suaka di negara pelariannya.

Namun tahun 1993, karena di Jerman semakin banyak orang mencari suaka, isi pasal 16 itu dipertanyakan kembali, kemudian diubah. Seorang pegawai Pro Asyl menjelaskan, "Secara de facto pasal itu dilengkapi dengan kalimat, ‚bagi orang yang masuk ke negara lain terlebih dulu, harus mengajukan permohonan suaka di sana.' Sehingga Jerman hanya menjadi semacam batu loncotan.“

Dengan demikian pemerintah Jerman dapat menolak atau mendeportasi para pengungsi. Pengungsi-pengungsi itu tidak harus dikirim balik ke negara asalnya, dimana mereka terancam akan dibunuh, akan tetapi, dapat dikirim kembali ke negara, dimana para pengungsi itu menginjakkan kakinya pertama kali di kawasan Uni Eropa. Namun, bagi pengungsinya, tentu tidak ada perubahan, jelas Jürgen Burkhardt.

Burkhardtmemberi contoh, "Ada seorang pengungsi. Ia akan dideportasi ke Malta. Di Malta ia ditahan selama 12 bulan. Tidak ada yang menengoknya. Kenapa ia mengungsi? Ia melarikan diri dari Somalia, karena dikejar-kejar oleh kelompok Islam ekstremis. Ia datang ke Jerman, tetapi pemerintah Jerman ingin mengirimnya balik ke Malta. Ia disebutkan, di sana ia masuk ke Eropa dan di sanalah, ia harus kembali.“

Sementara di Malta, permohonan suakanya tidak diperiksa dan kemungkinan besar, ia akan dikirim kembali ke Somalia. Diterangkannya, "dalam kasus seperti ini, kami akan melakukan intervensi. Kami mengajukan pengaduan di Mahkamah Konstitusi Federal atau Mahkamah Hak Asasi Manusia. Karena hukumnya jelas. Tidak mungkin seseorang dikirm balik tanpa diperiksa terlebih dahulu, apakah ia membutuhkan perlindungan atau tidak.“

Pro Asyl juga mendokumentasi dan melakukan riset di perbatasan UE. Seperti, dari mana pengungsi itu datang. Mengapa mereka ingin masuk ke Jerman atau kenapa mereka melarikan dri?

Di luar itu, Pro Asyl juga mengawasi, agar pemerintah Jerman -betul melakukan tugasnya  dalam penerapan politik, demikian disampaikan menteri kehakiman Sabine Leutheusser-Schnarrenberger dalam kata penyambutan memperingati 25 tahun berdirinya Pro Asyl.

Dirk Kaufmann/Andriani Nangoy

Editor: Yuniman Farid