1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hujan Kritik bagi Suu Kyi

13 November 2012

Dua tahun lalu Aung San Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah. ia kini bekerja sama dengan bekas musuh politik demi masa depan Myanmar. Bagaimana kiprahnya?

https://p.dw.com/p/16hY0
Aung San Suu KyiFoto: Getty Images

Hingga beberapa waktu lalu, Aung San Suu Kyi masih menjadi tumpuan harapan bagi Myanmar dan kaum minoritas yang hidup di negeri itu.

Perempuan yang pernah memenangkan nobel perdamaian dan merupakan simbol perjuangan kemanusiaan selama bertahun-tahun. Namun sikap pasifnya menghadapi berbagai konflik di dalam negeri justru mendulang kritik dari berbagai arah.

Akhir September lalu perwakilan suku Kachin melayangkan surat kepada Suu Kyi: “Kami menyesalkan, bahwa anda diam menghadapi ketidakadilan terhadap mereka-mereka yang dilucuti suaranya.” Surat yang ditandatangani sebanyak 23 organisasi Kachin itu merujuk pada perang saudara di utara yang telah berkecamuk sejak Juni 2011.

Bencana Kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine

Kecaman serupa juga muncul lantaran pernyataan Suu Kyi terhadap nasib kelompok minoritas Rohingya yang dianggap terlalu lunak. Rohingya adalah minoritas muslim yang hidup pesisir teluk Bengal dan tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah pusat.

Sejak beberapa bulan terakhir pecah bentrokan antara suku Rohingya dengan mayoritas Buddha yang menelan korban jiwa sebanyak 180 orang. Ribuan lainnya menjadi pengungsi karena terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Suu Kyi dituding enggan mengambil sikap yang tegas terhadap konflik tersebut.

Putri pejuang kemerdekaan Myanmar itu berupaya menepis kritik dengan mengajak anggota parlemen dari suku minoritas untuk menerbitkan deklarasi bersama. Namun usahanya urung membuahkan hasil. Deklarasi tersebut tidak menyebut nama suku Kachin dan Rohingya secara gamblang. Di dalamnya cuma tertulis, “Setiap orang bertanggungjawab untuk menghormati Hak Asasi Manusia, tanpa perbedaan mayoritas dan minoritas, kesukuan atau agama.

Gejolak Dalam Tubuh Partai

Myanmar Rohingya Flüchtlinge
Pengungsi RohingyaFoto: Reuters

Situasi muram juga menguasai markas Liga untuk Demokrasi (NLD). Harian “Financial Times” melaporkan, awal November lalu sebanyak 130 anggota dan fungsionaris partai mengundurkan diri. Pakar Asia Tenggara, Gerhard Will, menyebut gaya kepemimpinan di dalam tubuh partai sebagai kambing hitam.

“Pimpinan partai berkuasa secara otoriter.” Tiga anggota senior NLD dari kota Pathein bahkan secara umum mengecam “praktik anti demokrasi” yang dilakukan fungsionaris partai. Konflik terutama berkecamuk antara anggota baru dan anggota lama, serta antara pusat dan daerah.

Satu-satunya orang yang mampu memediasi konflik di tubuh partai adalah Suu Kyi. “Tapi ia menjauhkan diri dari urusan internal kepartaian. Ia sebaliknya melakukan kunjungan internasional atau tampil di depan parlemen. Suu Kyi jarang terlibat dalam revitalisasi partai,” kata Will.

Minimnya pengalaman politis semakin mempertajam konflik di dalam NLD. Ini lantaran para pemimpin partai yang kebanyakan mendekam di penjara selama bertahun-tahun. NLD tidak memiliki barisan politikus yang cakap menangani masalah ekonomi, transportasi atau kebijakan terkait sistem pendidikan. Akibatnya NLD mulai kehilangan pengaruh di pemerintahan pusat.

Ongkos Politik

Aung San Suu Kyi
Para pendukung menyambut pembebasan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah.Foto: picture-alliance/dpa

Kendati begitu, Suu Kyi masih berperan penting di panggung politik Myanmar. Menurut pakar Asia Tenggara Marco Bünte, Suu Kyi lah yang mejembatani antara pemerintah dan oposisi. “Suu Kyi membangun kepercayaan antara dua front yang selama ini saling berseteru.” Tanpa kepercayaan luas antara Suu Kyi dan Thein Sein, Myanmar tidak akan mengalami perubahan politik dan masih terisolir dari dunia internasional.

Perubahan yang juga menghantarkan Suu Kyi ke kursi parlemen itu menuntut peran yang berbeda pula, kata Bünte. “Dulu ia pemimpin oposisi garis keras. Sekarang ia menjadi pragmatis. Dulu aktivias politik Suu Kyi terbatas d luar negeri dan bercorak simbolis. Sekarang ia mengambil alih tugas reformasi di dalam negeri.”

WIll sebaliknya menyimpulkan, fenomena Suu Kyi pasca junta militer adalah ongkos politik yang harus dibayar. “Siapapun yang berpolitik, harus mau berkompromi dan melunak dari prinsip-prinsip sendiri.”

Keinginan Suu Kyi untuk terjun ke arena politik pernah diutarakannya saat kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, Desember 2011 lalu. Saat itu Clinton menjawab, “bersiaplah menghadapi kecaman.”

Wochenrückblick Welt KW 48 Iran
Hillary Clinton melawat ke Birma bulan Desember 2011Foto: AP

Rodion Ebbighausen / Ayu Purwaningsih

Editor : Andy Budiman