1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

HRW Kecam Penindasan Rohingya

22 April 2013

Organisasi HAM Human Rights Watch menyebut kekerasan terhadap kelompok muslim di Myanmar sebagai ”pembersihan etnis”. Aparat keamanan tidak memberikan perlindungan.

https://p.dw.com/p/18Kde
a refugee camp for Muslims outside Sittwe October 30, 2012. REUTERS/Soe Zeya Tun (MYANMAR - Tags: RELIGION CIVIL UNREST)
Pengungsi RohingyaFoto: Reuters

Human Rights Watch (HRW), Senin (22/04) merilis laporan setebal 153 halaman. Laporan itu disusun berdasarkan interview lapangan dengan para saksi mata. HRW mengeluarkan kecaman keras dan menyatakan, warga minoritas Rohingya mengalami kejahatan kemanusiaan, pembunuhan, penindasan dan deportasi.

Pejabat pemerintah Myanmar, pemimpin komunitas dan para biksu budha turut mengorganisasi dan memprovokasi warga agar melakukan serangan terhadap desa-desa warga muslim di negara bagian Rakhine. Aksi itu didukung oleh aparat keamanan Myanmar, demikian disebutkan dalam laporan HRW.

”Pemerintah Myanmar terlibat dalam aksi pembersihan etnis terhadap warga Rohingya, dan ini masih terjadi sekarang dengan penolakan penyaluran bantuan”, kata wakil direktur HRW di Asia, Phil Robertson.

Laporan itu dikeluarkan menjelang keputusan Uni Eropa untuk mencabut semua sanksi terhadap Myanmar, kecuali embargo senjata. Robertson mengatakan, keputusan Uni Eropa adalah "prematur”. Ia menyerukan kepada negara-negara donor internasional, termasuk Amerika Serikat, untuk tetap menekan Myanmar agar terus melakukan perubahan demokratis.

Kekerasan Terhadap Minoritas

Laporan HRW memperkirakan saat ini ada 125.000 pengungsi Rohingya di negara bagian Rakhine. Dalam sebuah serangan tanggal 23 Oktober 2012 di lembah Yan Thei, diperkirakan ada 70 warga Rohingya tewas.

”Bulan Oktober, aparat keamanan tidak bertindak ketika massa menyerbu perumahan muslim. Aparat membiarkan atau malah ikut dalam aksi penyerbuan dan pembakaran,” kata Phil Robertson. ”Tiga bulan kemudian, pemerintah Myanmar tetap menyebut insiden ini sebagai kerusuhan komunal. Padahal pemerintah tahu apa yang terjadi, dan sebenarnya bisa menghentikan aksi itu.

Myanmar sudah melakukan beberapa reformasi politik. Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah mulai melonggarkan sanksi. Aung San Suu Kyi dan partainya diijinkan ikut pemilu dan mengirim wakilnya ke parlemen. Ini merupakan langkah reformasi yang paling menonjol. Namun situasi kelompok minoritas masih sangat buruk.

Aparat Membiarkan

Laporan HRW memuat hasil wawancara dengan lebih 100 warga budha, Rohingya dan warga muslim lain yang bukan minoritas Rohingya. Menurut Human Rights Watch, wawancara dilakukan dengan para saksi mata, korban maupun ”beberapa pihak yang mengorganisasi dan menyulut aksi kekerasan.”

Menurut organisasi HAM itu, serangan bulan Oktober lalu sudah direncanakan. HRW menyebut beberapa penganut budha dan petinggi partai lokal menjadi dalang aksi tersebut. Kedua kelompok ini membagikan pamflet dan pernyataan publik yang menuntut agar warga Rohingya diusir dari tempat itu.

Polisi dilaporkan sudah tahu serangan akan terjadi. Polisi juga ada ketika aksi tersebut berlangsung, namun aparat keamanan tidak bertindak. ”Pemerintah harus segera menghentikan kejahatan ini dan mengusut pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga minoritas”, kata Phil Robertson dari HRW.

Utusan khusus PBB untuk Myanmar Tomas Ojea Quntana awal tahun ini berkunjung ke Rakhine dan menyatakan, ia menerima berbagai laporan tentang keterlibatan negara dalam aksi kekerasan. Pemerintah Myanmar menolak tuduhan itu dan menyatakan mereka ”menyesalkan” pernyataan Quintana yang hanya ”menerima informasi dari tangan kedua, tanpa meneliti situasi di lapangan”.

HP/DK (afp, dpa)