1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hiu Darat di Raja Ampat

Andy Budiman27 Februari 2013

Melihat hiu adalah cita-cita hampir semua penyelam. Deutsche Welle mengisahkan pengalaman ironis seorang diver yang justru lebih banyak menemukan spesies langka itu di darat, daripada di kedalaman laut Raja Ampat.

https://p.dw.com/p/17lvY
Foto: picture-alliance/dpa

Perairan Indonesia adalah surga bagi hiu dan para pemburunya. Lebih dari sepuluh juta hiu dibunuh di perairan nusantara setiap tahun. Indonesia adalah pemasok utama dalam rantai bisnis yang bertanggung jawab atas kematian 73 juta hiu setiap tahun.

Raja Ampat yang terletak di ujung timur Nusantara adalah surga hiu. Perairan jernih dan dalam yang dikelilingi gugusan pulau itu menjadi tujuan utama para penyelam dunia, terutama yang ingin melihat hiu yang populasinya semakin langka. World Wildlife Fund WWF menyebut populasi spesies itu telah berkurang lebih dari tiga perempat. Belakangan pemerintah Papua Barat menetapkan Raja Ampat sebagai kawasan perlindungan hiu dan pari manta.

Kresna Astraatmadja adalah field producer dokumenter bawah laut. Selama menyelam dan mendokumentasikan Raja Ampat, dia mengaku hanya melihat satu atau dua hiu yang melintas. Tapi ironisnya, di darat dia melihat seratusan hiu, termasuk dari jenis martil yang selama ini paling dia cari dalam petualangan bawah laut.

“Hiu-hiu itu masih segar, tapi sudah tidak ada siripnya,“ kata Kresna kepada Deutsche Welle.

Deutsche Welle

Bisa anda ceritakan pengalaman anda menemukan hiu di Raja Ampat?

Kresna Astraatmadja

Akhir 2012, saya berkunjung ke beberapa tempat menyelam. Sejak awal mendalami diving saya ingin bertemu hiu martil. Nah, akhirnya saya menemukannya di Raja Ampat. Itu adalah hiu martil pertama yang saya lihat. Ironisnya sudah tidak bersirip: mati di sekitar pantai. Di pantai di belakang gubuk, bergeletakan sirip kering dan daging hiu. Sementara di perairan sekitar pantai ada banyak bangkai hiu yang sudah tidak ada siripnya. Bangkai itu tidak dibuang tapi rupanya sedang direndam dan nanti dagingnya akan diambil. Nelayan yang saya temui mengaku biasa (berburu hiu-red) melakukannya sehari-hari.

Indonesien - Handel mit Haifischflossen
Kresna Astraatmadja bertemu hiu martil tanpa sirip di Raja Ampat.Foto: DW/K. Atmadja

Deutsche Welle

Dalam sehari ada berapa yang bisa didapat para nelayan pemburu hiu ini?

Kresna Astraatmadja

Di tempat pengeringan itu ada seratus hingga seratus limapuluhan sirip punggung hiu.Dua nelayan yang saya temui mengaku mendapatkannya dalam waktu tiga hari. Mereka menangkap hiu dengan menggunakan perahu tradisional yang dilengkapi tali sepanjang hingga seribu meter yang dipenuhi hook (kail-red).

Deutsche Welle

Lantas, sirip dan daging hiu yang ditangkap nelayan tadi dijual kepada siapa?

Kresna Astraatmadja

Para nelayan ini membawa sirip dan daging hiu dari Raja Ampat ke Sorong, yang jika ditempuh dengan perahu biasa milik mereka bisa memakan waktu hingga lima jam. Di Sorong mereka sudah punya pembeli tetap, dari Sorong sirip hiu dikirim ke Jakarta. Belakangan karena hiu makin susah diburu, para nelayan ini beralih ke jenis pari manta atau pari besar. Mereka mengambil insangnya yang dipercaya bisa menjadi obat kuat.

Deutsche Welle

Berapa harga sirip dan daging hiu ini mereka jual kepada pembeli di Sorong?

Kresna Astraatmadja

Setiap kilogram sirip hiu dijual seharga sekitar Rp 1 juta untuk yang berwarna hitam, sementara yang ujung siripnya berwarna putih bisa Rp 1,5 juta. Daging hiu dijual Rp 15 ribu. Saya dengar harganya sudah turun karena belakangan ada banyak kepedulian terhadap hiu di Indonesia, sehingga membuat beberapa restoran tidak lagi menyajikan menu (sirip maupun daging-red) hiu. Termasuk pada saat Imlek (tahun baru Cina-red) kemarin, di mana biasanya ada banyak orang menyantap hiu yang dianggap sebagai makanan para raja.

Deutsche Welle

Kenapa perburuan hiu di Raja Ampat yang merupakan kawasan konservasi justru marak?

Kresna Astraatmadja

Para nelayan ini cuma tak punya kesadaran, mereka bukannya tidak sayang lingkungan, tapi cuma tidak mengerti. Mereka cuma ingin mencari nafkah, dan hiu ada harganya karena ada yang membeli. Sangat sulit mengawasi perburuan di Raja Ampat karena ada banyak sekali teluk dan selat. Tanpa niat bersembunyipun akan sulit menemukan para nelayan (pemburu hiu-red). Jika ingin menggelar patroli, biayanya sangat mahal. Ambil contoh kalau dari Sorong ke Wayag salah satu ikon Raja Ampat itu biaya speedboat-nya sekitar Rp 30 juta.

Deutsche Welle

Apa saran anda untuk melestarikan hiu di Raja Ampat?

Kresna Astraatmadja

Setiap turis yang masuk kan harus membayar biaya konservasi. Untuk turis lokal Rp 250 ribu sementara turis asing Rp 500 ribu. Biaya wisata ke Raja Ampat itu sangat mahal. Sekali ke Raja Ampat itu ongkosnya hampir sama seperti naik haji (sekitar Rp 30 juta). Itu semua untuk biaya diving, penginapan, makan dll. Itu seharusnya ikut dinikmati penduduk setempat. Seperti di Costa Rica, di mana para nelayan diajak menyelam: diberdayakan, diajari jadi dive guide, dipekerjakan di resor-resor, atau industri yang menunjang wisata menyelam. Itu akan otomatis membuat mereka berhenti (memburu hiu-red). Bahkan mereka akan ikut menjaga dan memperingatkan kawan-kawannya: woi… jangan bunuh hiu!