1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Demokrasi Dirampas

Andy Budiman18 November 2014

Dimotori Koalisi Merah Putih yang terutama didukung Gerindra dan Golkar, DPR September lalu menghapus pemilihan langsung kepala daerah. Tajuk Andy Budiman menyebut keputusan parlemen itu sebagai perampasan demokrasi.

https://p.dw.com/p/1DLaO
Foto: Reuters

26 September 2014 adalah hari ketika parlemen merampas suara rakyat.

Mari kita simpan dengan baik kenangan ini: Golkar, Gerindra, PKS, PPP, dan PAN adalah partai-partai yang mendukung penghapusan pemilihan langsung kepala daerah.

Sementara, partai Demokrat yang seharusnya bisa menggagalkan perampasan atas hak rakyat itu memilih walk out, mendiamkan Demokrasi mati dibunuh!

Apa yang terjadi di gedung parlemen pada Jumat pagi itu adalah metafor tentang betapa berbahayanya kekuasaan jika diserahkan kepada para oligark partai.

Jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mendukung pemilihan langsung. Bahkan lebih dari 80 persen pendukung Prabowo Subianto – yang koalisi Merah Putihnya adalah motor utama penghapusan pemilihan kepala daerah langsung – ingin kepala daerah dipilih secara langsung.

Tapi apa yang terjadi di parlemen menunjukkan betapa jauhnya para wakil rakyat terhormat itu dari aspirasi rakyat.

Dalam logika para oligark, ini adalah political struggle untuk bertahan. Jika proses demokratik dibiarkan berjalan, maka kekuasaan mereka akan semakin berkurang. Karena itu tak ada jalan bagi mereka, selain membunuhnya.

Mereka tak ingin fenomena Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini dan Bima Arya terulang. Mereka tak rela “dipaksa menjadi baik“ dengan mendukung kandidat yang baik, agar bisa meraih kemenangan elektoral.

Celakalah kita, karena dengan dihapuskannya pemilihan kepala daerah secara langsung, maka tak ada lagi insentif bagi partai untuk berbuat baik.

Pemimpin daerah, kelak akan lebih banyak ditentukan lewat lobi dan transaksi di balik tembok parlemen, atau di bawah meja partai.

Ironisnya, ini terjadi di akhir kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang oleh dunia, dipuji sukses mengkonsolidasikan demokrasi Indonesia.

Yudhoyono, orang yang paling menikmati pemilihan langsung, dan sebetulnya bisa mencegah, membiarkan suara rakyat dirampas. Sebagai nakhoda partai Demokrat, Yudhoyono yang dua periode menikmati kekuasaan karena dipilih secara langsung, membiarkan demokrasi mati di tangan parlemen. Dan ia, seperti biasa, hanya bisa mengeluh, dan menuding anggota fraksinya yang walk out, tidak mematuhi instruksi partai.

Sejarah akan mencatat Jumat ini sebagai hari kelabu.

26 September 2014 adalah hari ketika demokrasi dirampas oleh elit partai.