1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

BJ Habibie: Beri Kesempatan bagi Semua

Ayu Purwaningsih27 Mei 2015

BJ Habibie tutup usia hari Rabu (11/09). Di sepanjang hidupnya, Habibie menaruh perhatian besar terhadap pendidikan. Kepada DW, ia pernah titipkan amanah tentang pentingnya pendidikan bagi semua tanpa pandang bulu.

https://p.dw.com/p/15Ot7
Foto: DW/K.Danetzki

Beri kesempatan beasiswa bagi semua yang berbakat, tanpa pandang bulu, tanpa memandang suku, agama maupun ras. Pemerintah harus memberi kebebasan bagi anak bangsa dalam berkiprah baik di tanah air maupun manca negara. Demikian petikan wawancara Deutsche Welle (DW) dengan mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, di sela acara Global Media Forum yang mengambil tajuk Budaya, Pendidikan dan Media di Bonn, Juni 2012.

DW: Bagaimana seharusnya yang dilakukan dalam memanfaatkan bantuan Jerman untuk pendidikan teknologi?

BJ Habibie: Pertama, pembangunan yang akan mengandalkan sumber daya manusia tak boleh dibatasi hanya untuk pegawai negeri. Yang benar saja, dong…... Semua rakyat Indonesia berhak merasakan jatah itu. Jadi kendala yang mengharuskan syarat kandidatnya sebagai pegawai negeri, harus dihilangkan. Yang penting mengutamakan, siapa yang berbakat. Kita tidak boleh SARA, membedakan suku, agama dan ras. Kalau berbakat, ya memang orang itu berbakat. Itu pertama hal yang harus diamankan dahulu. Dalam proses seleksi, maupun segalanya.

Saya pun melakukan itu ketika memberi beasiswa untuk industri strategis. Saya tidak pandang bulu, Anda dari mana, agamanya apa. Masa bodoh. Hanya satu..Anda kalau sudah tamat, tak boleh kerja dimana-mana kecuali di tanah air. Dan kalau sudah bekerja di tempat saya, ternyata bagus, dan mendapat tawaran dari tempat lain, baik dia yang saya beri beasiswa hingga S2, S3 atau tidak ber-S (sarjana) atau s-lilin (tertawa), pokoknya yang penting terampil dan mendapat tawaran kerja di tempat lain, silahkan saja.

Namun banyak mahasiswa yang setelah berhasil memilih bekerja di manca negara?

Ya karena di rumahnya (tanah air) tak disediakan. Dia kan harus berkeluarga. Saya datang ke Jerman umur 19 tahun, saya S1, S2, S3 di Jerman. Tapi waktu saya dipanggil pulang, untuk membantu pembangunan, saya tanya dulu, mau buat apa? Kalau disuruh buat panci saya tak mau. Tapi karena bidang saya pesawat terbang, atau high tech, ya OK.

Jadi masalahnya ada di pemerintah?

Masalahnya ya di pemerintah, di pemimpin. Yang saya alami waktu saya muda, pemimpin pertama adalah Bung Karno. Saya bisa memperdalam pendidikan, saya tidak langsung disuruh pulang oleh Bung Karno. Dia bilang sudahlah, masuk ke industri, saya S3 waktu itu. Kemudian…ketika dilanjutkan oleh Pak Harto, bila saya dipanggil pulang, namun tak sesuai dengan pendidikan saya, ya saya tak mau. Saya akan tolak.

Bagaimana supaya tenaga muda kita yang mengecap pendidikan di manca negara dapat berpartisipasi dalam pembangunan?

Saya sudah sampaikan pada pemerintah, kalau memberikan beasiswa, misalnya dari Jeman, jangan batasi pada pegawai negeri thok, jangan batasi hanya pada dosen saja. Siapa saja yang pintar dan memenuhi syarat serta mampu menciptakan lapangan kerja di Indonesia, silakan beri kesempatan. Itu satu. Yang kedua, jangan tagih dari orang itu. Itu adalah investasi ke depan. Kita kasih insentif sama perusahaan-perusahaan. Harus begitu. Jangan seperti yang saya alami. Kita kirim orang-orang ke luar negeri, ketika mempersiapkan pesawat terbat 1995, tiba-tiba tahun 1998 ditutup semuanya, tidak dilanjutkan, tak diberikan dana lagi, untuk mengembangkan N250, sedangkan itu dibutuhkan untuk masuk ke pasar tahun 2000.

Bila itu saja tak diberikan kesempatan untuk berkembang? Bagaimana kita mau teruskan? Pertama, kebijaksanaan presiden tahun 1980 bahwa kita harus memanfaatkan produk dalam negeri ditarik! Beban pengiriman mahasiswa untuk beasiswa dibebankan kepada perusahaan! Bagaimana itu? Dalam dua atau tiga tahun yang akan datang sampai ke mana? Tidak sesuai rencana. 40 ribu orang dalam dirgantara mempersiapkan pesawat komersil bukan pesawat militer, hasilnya mana? Nol! Kembali seperti tahun 1950-an? Apa itu reformasi? Apa itu benar? Tanya dong pakai otaknya sendiri! Ini tak boleh terulang lagi di bumi Indonesia.

Apakah teknologi dirgantara, pada masa ke depan masih bisa ada harapan untuk dikembangkan lagi?

Kalau kita bisa bisa hidup tanpa produk dirgantara, masa bodoh. Tapi kita sangat tergantung pada produk dirgantara. Bisakah Anda bayangkan dalam wilayah maritim dari Sabang sampai Merauke naik mobil? Butuh pesawat terbang. Karena itu pertumbuhan dari penumpang udara, 20 persen tiap tahun dalam rata-ratanya dalam sepuluh tahun naik terus. Itu alasanya kenapa kita ingin membuat pesawat komersil, N250 untuk 70-100 penumpang dan lainnya dimatikan semua. Sekarang kita impor dari negara lain.

Nah, satu kilo pesawat terbang berapa puluhan ribu beras yang kita buat. Oh jangan katakan, 'Kita butuh dana untuk ini semua, lebih baik untuk agro industri,' kalau terlaksana saya setuju, tapi kan ternyata tidak bisa. Banyak saudara kita di pedesaan tidak bisa maju. Agro industri tak bisa memberikan lapangan kerja. Dia kemana? Ke kota. Namun kota pun tak bisa memberikan lapangan kerja. Akhirnya mereka lari ke Timur tengah. Industri yang harus dikembangkan di Indonesia adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perhubungan dan telekomunikasi.

*BJ Habibie membuka acara Global Media Forum (GMF) di Bonn tahun 2012 memenuhi undangan khusus Deutsche Welle.