1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Irak Harus Bersatu Padu Gempur ISIS

Kersten Knipp (as/vlz)5 Maret 2015

Militer Irak mulai menggempur posisi Islamic State di Tikrit. Tapi perang melawan milisi teror itu tidak dapat hanya dimenangkan lewat operasi militer. Komentar Kersten Knipp.

https://p.dw.com/p/1ElI9
Irak Tikrit Offensive irakische Armee
Foto: picture-alliance/AA/A. Mohammed

Perang melawan Islamic State di Irak dimulai di Tikrit. Tapi menang atau kalahnya perang tersebut ditentukan di Bagdad. Pasalnya, hanya di ibukota Irak itu dapat diputuskan politik masa depan negara tersebut. Juga hanya para politisi puncak di Bagdad yang dapat memutuskan bentuk Irak di masa depan.

Mereka bisa memilih sebuah bentuk kawasan kedaulatan yang dihuni tiga kelompok warga, dimana elemen pemersatunya cuma sebuah perbatasan ke luar bersama, tapi di dalamnya ketiga kelompok warga itu, yakni kaum Syiah, Sunni dan Kurdi tidak bisa hidup berdampingan dengan damai. Atau sebuah negara, dimana ketiga kelompok warga itu secara aktif memberikan kontribusinya untuk menunjukkan mereka hidup dalam sebuah negara serta mengakui dan menghargai institusi resmi yang dibentuk bersama.

Sinyal yang dikrim Bagdad ke Tikrit dapat mempengaruhi moral tempur para serdadu. Kini di perbatasan ke Tikrit juga bersiaga pasukan gabungan milisi warga Syiah dengan relawan kaum Sunni. Faktor pemersatu kedua kelompok adalah tekad untuk menggempur musuh yang sama yakni milisi teror Islamic State.

Tapi harus diingat, kaum Syiah dan Sunni di Tikrit saat ini tidak lebih hanya membentuk perhimpunan dengan tujuan yang sama. Dan kedua kelompok itu bergerak dengan latar belakang masing-masing yang berbeda.

Deutsche Welle Kersten Knipp
Kersten Knipp redaktur DWFoto: DW/P. Henriksen

Kaum Syiah saat rezim Saddam Hussein ditumbangkan, bermimpi bisa kembali menghimpun kekuatan yang sebelumnya cerai-berai dan melakukan konsolidasi. Sementara kaum Sunni berharap, kawasan yang sebelumnya direbut oleh teroris Islamic State akan dikembalikan kepada mereka dan menjadi "kartu truff" berikutnya dalam perundingan pembagian kekuasaan di Irak.

Namun kaum Sunni baru belakangan menyadari, betapa pentingnya bergerak bersama dengan kaum Syiah. Sebab perang melawan ISIS dijadikan alasan oleh kaum Syiah untuk mengusir warga Sunni dari wilayahnya dan menguasai harta benda yang sebelumnya mereka miliki.

Pertentangan antara kaum Syiah melawan kaum Sunni di Irak sudah menjadi rahasia umum, menjadi salah satu instrumen kekuasaan rezim Saddam Hussein. Secara sistematis diktatur Irak itu merekayasa situasi dan membunuh hingga ratusan ribu kaum Syiah.

Setelah rezim Saddam runtuh, presiden penggantinya Nuri al Maliki yang berasal dari kaum Syiah bukannya mendorong perujukan, tapi malahan melanjutkan politik memecah belah itu. Tapi kini situasi sebaliknya, yang menarik keuntungan adalah kaum Syiah.

Sejarah Irak modern dirundung nasib sial. Mula-mula dikuasai seorang diktator kejam kemudian dilanjutkan penguasa yang ingin balas dendam.

Sekarang perumpamaan muluk, jika suatu saat nanti para pejuang gabungan itu mampu merebut kembali Tikrit dari milisi teror ISIS, maka akan muncul tugas baru berikutnya. Yakni mengubur warisan kedua bekas penguasa Irak sebelumnya yang membuat Irak hancur. Jika gagal, walaupun Islamic State bisa dikalahkan, tapi generasi teroris berikutnya sudah siap bangkit. ISIS adalah monster luar biasa, yang hanya dapat dikalahkan oleh parlemen persatuan di Bagdad.