1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gas Air Mata Lawan Demokrasi

Philipp Bilsky
1 Oktober 2014

Puluhan ribu warga Hongkong sejak beberapa hari terakhir menggelar aksi demonstrasi menentang rencana reformasi undang-undang pemilihan umum. Polisi membubarkan demonstrasi dengan kekerasan. Komentar Philipp Bilsky.

https://p.dw.com/p/1DNX3
China Studentenprotest in Hongkong Occupy Central Regenschirme und Polizei
Foto: Reuters/B. Yip

Sebuah gambaran dramatis yang selama ini belum pernah terlihat di Hongkong. Bentrokan langsung antara demonstran dengan polisi di jantung kota. Di satu sisi: puluhan ribu demonstran berpayung atau mengenakan kacamata renang untuk melindungi mata mereka, membawa poster dan spanduk protes. Di sisi lainnya: polisi bersenjatakan gas air mata, semprotan merica dan pentungan. Ini kerusuhan paling berat, semenjak penyerahan kembali koloni Inggris itu kepada Cina tahun 1997.

Pemicunya: pengumuman rancangan reformasi undang-undang pemilihan umum untuk tahun 2017. Memang pemilu direncanakan digelar langsung. Tapi, kandidat yang tampil, sudah ditentukan sebelumnya. Artinya, tidak ada pertanda demokrasi sejati.

Dengan aturan semacam itu, pencalonan kandidat yang kritis terhadap pemerintah di Beijing, praktis mustahil. Karena itu tuntutan para demontran juga jelas. "Pemilihan umum yang selaras dengan azas dan tujuannya". Organisasi mahasiswa pekan lalu bahkan mengajukan tuntutan lebih jauh. Dalam sebuah manifesto, mereka menuntut pemerintah meminta maaf kepada warga Hongkong. Jika tidak dituruti, mereka menuntut lengsernya pucuk pimpinan di Hongkong.

Perubahan dalam rincian

Pimpinan di Hongkong, menimbang tekanan hebat aksi protes, telah menyatakan bersedia melakukan perundingan. Pemerintah menyatakan, dalam waktu dekat akan melakukan konsultasi membahas reformasi undang-undang pemilu itu. Tapi tidak dirinci kapan jadwal konkritnya.

Namun sinyal dari Beijing samasekali berbeda. Para demonstran adalah ekstrimis dan radikal, dan menuduh mereka hanya kelompok minoritas. Kementrian luar negeri juga memperingatkan, pihak luar negeri jangan ikut campur.

Harian "Global Times" yang pro pemerintah menulis; "para demonstran sudah tahu, bahwa keputusan komisi tetap di Kongres Rakyat terkait rancangan reformasi untuk Hongkong, tidak dapat diubah lagi". Sementara ini, berita mengenai Hongkong di media sosial juga disensor berat.

Tapi, sejauh ini ada penegasan: perubahan dalam rincian bisa dipertimbangkan. Sebelumnya juga sudah didiskusikan, mengenai komposisi konkrit komite yang memilih kandidat. Baik jumlahnya maupun opsi sebagian anggotanya dapat dipilih langsung.

Tapi satu hal juga sudah jelas. Beijing dipastikan tidak akan bergeming dalam masalah mendasarnya. Tidak peduli, seberapa banyak warga Hongkong menuntut haknya atas pemilu yang sejati.

Beijing takut hilang kendali

Penyebab mendasarnya ada dua. Pertama: Beijing takut kehilangan kendali atas Hongkong. Mimpi buruk Beijing adalah, kepala pemerintahan independen di Hongkong, yang memisahkan diri dari Cina daratan. Yang mempermasalahkan monopoli kekuasaan partai komunis. Bahkan, sebuah Hongkong yang berjuang untuk merdeka dari Cina.

Dan kedua: Beijing ketakutan bahwa "Modell Hongkong" akan ditiru di bagian lain Cina. Akan semakin banyak warga Cina terinspirasi demonstran di Hongkong, dan berupaya dengan aksi protes, menuntut demokrasi lebih luas. Karena itu "Demokrasi Sejati, seperti yang ditakutkan Beijing, dalam waktu dekat ini tidak akan eksis di Hongkong.

Philipp Bilsky
Philipp Bilsky, kepala redaksi Cina DW.Foto: DW/M.Müller