1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gas Air Mata di Dolly

28 Juli 2014

Satu hari menjelang lebaran, polisi menembakkan gas air mata ke arah ratusan demonstran di kawasan Dolly, Surabaya, saat para pekerja seks menolak penutupan tempat prostitusi terbesar Asia Tenggara tersebut.

https://p.dw.com/p/1Cjjc
Foto: J.Kristwanto/AFP/GettyImages

Sekitar 300 demonstran, yang sebagian besar laki-laki yang bekerja sebagai mucikari atau pedagang di wilayah itu, merobek dan membakar spanduk yang dipasang pemerintah kota Surabaya yang bertuliskan: “Wilayah ini bebas dari pelacuran dan prostitusi“.

Penutupan salah satu kawasan lampu merah terbesar di Asia Tenggara ini dipelopori oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini, yang bulan lalu mengumumkan bahwa Dolly akan ditutup total pada akhir Ramadhan, yang bertepatan dengan hari Minggu.

“Kami menolak pemasangan spanduk itu di sini. Dan setelah Ramadhan, kami akan beroperasi seperti biasa. Kami menolak ditutup,“ kata ketua forum pekerja Dolly Ari Saputro, yang terkenal dengan nama panggilan ”Pokemon“.

Wartawan AFP melaporkan bahwa dirinya melihat seorang demonstran dipukul oleh polisi dan ditangkap dengan darah mengucur dari hidungnya.

Polisi menembakkan gas air mata setelah para pekerja membakar ban, dan menyebabkan kabut tebal di atas para demonstran, membuat mereka kocar kacir setelah sekitar satu jam.

Ratusan pekerja seks, serta orang-orang lain yang mencari nafkah ala kadarnya dari kawasan lampu merah di kota kedua terbesar Indonesia itu, mengecam balik perintah penutupan, sambil mengeluh bahwa mereka akan jatuh miskin.

Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar, di mana praktek prostitusi ditawarkan dengan terbuka atau diam-diam di tempat karaoke dan rumah-rumah bordil klandestin.

Dolly di Jawa Timur, dikenal sebagai lokalisasi yang secara terbuka memajang para perempuan di jendela depan, menyerupai kawasan lampu merah di Amsterdam.

Nama Dolly dipercaya diambil dari nama madam Belanda yang menjalankan sebuah rumah bordil di kota itu pada masa kolonial Belanda.

Rismaharini menggambarkan prostitusi sebagai tindakan “tak bermoral“ di depan publik bulan lalu saat mengumumkan penutupan, sambil merujuk pada ajaran Islam. (Baca: Pekerja Dolly Ingin Solusi Permanen)

Kelompok Islam garis keras sebelumnya mengancam akan melakukan kekerasan jika tempat bordil it terus beroperasi setelah bulan puasa berakhir.

ab/hp (afp,ap,rtr)