1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gangguan Mental Ancam Penyintas Sewol

23 April 2014

Rasa putus asa, upaya pencarian yang tragis tanpa hasil bagi kerabat penumpang feri Korea Selatan, kini dibayangi potensi gangguan mental para penyintas yang berhasil lolos dari kapal Sewol yang karam.

https://p.dw.com/p/1BmTG
Foto: REUTERS

Total 174 penumpang dan kru yang selamat dari terbaliknya feri Sewol berbobot 6.825 ton, sepekan yang lalu, yang meninggalkan lebih seratus orang dipastikan tewas dan 200 lainnya masih hilang.

Diantara mereka adalah 75 pelajar Danwon High School, yang kini harus mencoba dan membangun kembali kehidupan yang retak oleh trauma tidak hanya karena kecelakaan itu sendiri tapi juga akibat hilangnya sekitar 250 teman sekolah mereka.

Para dokter yang merawat para pelajar yang selamat mengatakan 20 persen menunjukkan tanda-tanda gangguan jiwa trauma stress dan membutuhkan konseling jangka panjang dan bantuan psikiater.

Jang Dong-Woon, seorang bapak yang bicara atas nama orangtua murid lainnya yang selamat, mengatakan bahwa anak-anak mereka juga harus diakui sebagai korban, dan tidak hanya diberi label sebagai penyintas yang ”beruntung”.

“Mereka bilang mereka merasa seperti orang-orang yang berdosa,” kata Jang, menggambarkan rasa bersalah diantara banyak para pelajar penyintas tersebut.

“Kita harus mengambil tanggungjawab dan merawat mereka semua – mereka yang masih hilang, mereka yang mati dan mereka yang selamat,” kata dia.

Beberapa anak-anak begitu trauma sehingga bahkan mereka sulit untuk berada di dekat jendela, takut “bahwa air akan tiba-tiba menyerbu masuk,” tambah dia.

Total 352 pelajar Danwon High School berada di atas feri itu dan kehilangan banyak nyawa telah menghancurkan perasaan kota Ansan, sebelah selatan Seoul, di mana sekolah itu berada.

Beban psikologi

Duka dan rasa bersalah telah mengambil nyawa salah seorang penyintas, wakil kepala sekolah yang menggantung dirinya dua hari setelah diselamatkan dari kapal.

Ia meninggalkan sebuah catatan bunuh diri yang mengatakan “sangat sulit untuk tetap hidup“ ketika begitu banyak pelajar yang ia didik tewas.

“Saya mungkin menjadi guru lagi dalam kehidupan setelah kematian bagi para pelajar yang mayatnya belum ditemukan,“ tulisnya dalam catatan tersebut.

Bencana tersebut – salah satu yang paling maut dalam sejarah Korea Selatan - menjerumuskan negara itu ke dalam suasana berkabung kolektif, dengan semua kampanye politik ditunda, dan semua acara TV dan konser dibatalkan dan seluruh negeri menangis.

Beban psikologis juga sangat berat khususnya bagi ratusan kerabat penumpang hilang yang telah sepekan berkemah di sebuah gimnasium di sebelah selatan pulau Jindo.

Tempat itu menjadi semacam rumah kaca kemarahan dan kesedihan para kerabat – yang sebagian besar adalah orangtua para pelajar – yang emosinya naik turun seiring proses suram yang tadinya upaya penyelamatan menjadi pencarian mayat.

Kemarahan dan kesedihan

Bagi mereka yang orang-orang terkasihnya belum ditemukan, setiap hari baru membawa penderitaan baru menanti kepastian bahwa mayat yang ditemukan cocok dengan identitas anak, atau saudara mereka.

Lalu datanglah saat-saat mengerikan ketika para kerabat dibawa ke tenda yang didirikan di dekat pelabuhan Jindo untuk melihat identitas mayat.

“Mereka dalam keadaan kacau secara emosional – penuh shock, tidak percaya, marah dan sedih,” kata Sohn Jee-Hoon, salah satu dari puluhan konselor yang bekerja mendamping para kerabat di Jindo – yang beberapa diantaranya adalah pekerja sukarela, sementara lainnya ditugaskan oleh pemerintah.

Banyak kerabat yang perlu terapi namun mereka terlalu trauma untuk mempertimbangkan mencari bantuan, kata Sohn, menyebut situasi ini ”sangat mengkhawatirkan”.

Terapi dan konseling umumnya tak disukai oleh banyak orang Korea Selatan yang melihat kebutuhan bantuan psikologi sebagai tanda kelemahan mental.

Pada saat sama, negara itu menghadapi tingkat bunuh diri yang tertinggi diantara negara-negara anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) – dan merupakan yang tertinggi di dunia – dengan perbandingan 33,5 untuk setiap 100.000 orang.

Ha Jung-Mi, seorang psikiater yang bekerja bagi para kerabatm mengatakan ada bahaya nyata bahwa beberapa diantara mereka mungkin akan terdorong untuk bunuh diri.

Trauma jangka panjang juga mengintai tim penyelamat. Salah seorang penyelam amatir bernama Lee Jun-Ho yang berjam-jam menyisir koridor feri dan kabin dalam kegelapan dasar laut merasakannya.

”Adalah hal yang mengerikan ketika tiba-tiba berhadap-hadapan dengan mayat di dalam air,” kata Lee yang mempunyai dua anak.

”Itu membuat saya sulit tidur di malam hari,” kata dia.

ab/vlz (afp,ap,rtr)