1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sampai 25 Persen Tentara AS eks Afghanistan dan Irak Derita PTSD

12 Februari 2009

Sindrom stress pasca kejadian traumatis atau PTSD merupakan istilah klinis baru untuk fenomena lama. Tema ini mencuat di AS pada tahun 80-an, di saat banyak veteran perang Vietnam mengidap gejala stress tersebut.

https://p.dw.com/p/Gsgt
Veteran Perang Irak Jeffrey Lennon, salah seorang dari banyak tentara AS yang menderita PTSDFoto: picture-alliance/ dpa

PTSD berbeda dengan depresi. Kini tema PTSD dibahas lagi dengan gencar. Penyebabnya sekitar 17 sampai 25 persen dari 375 ribu serdadu Amerika Serikat yang sebelumnya bertugas di medan perang Afghanistan atau Irak, mengidap sindroma stress pasca kejadian traumatis ini.

Kendala yang dihadapi di masyarakat Barat adalah, banyak yang tidak mau mengakui bahwa mereka mengidap masalah psikis. Apalagi di kalangan militer, terutama di kalangan tentara karier. Mereka takut kariernya akan rusak, jika melapor kepada atasannya, bahwa mereka mengidap masalah psikologis. Akan tetapi dalam jajak pendapat secara anonym, terbukti cukup banyak serdadu yang mengakui mengidap masalah psikis. Tapi hanya seperempat diantaranya mempertimbangkan untuk mencari bantuan profesional.

Paradoks lainnya, serdadu yang paling parah menderita PTSD, paling enggan mencari pertolongan. Prof. Matthew Fiedmann, guru besar psikiatri yang juga direktur pusat nasional gangguan psikis pasca trauma di kementrian urusan veteran AS mengatakan, para serdadu harus menyadari, PTSD bukan gejala yang tidak lazim dan bukan pula pertanda kelemahan.

Stigmanya harus dihapuskan. Friedmann menegaskan upayanya: “Karena itulah upayanya dimulai baik di kalangan veteran maupun serdadu aktif. Perawatan PTSD tidak diberikan di bagian psikiatri, melainkan di bagian yang menangani penyakit normal, dimana pasien flu atau penyakit ringan diobati.“

Tentu saja pepatah lama tetap berlaku, mencegah lebih baik daripada mengobati. Caranya dengan mempersiapkan para serdadu untuk menghadapi beban psikologis dalam tugasnya. Gagasannya mengambil analogi dari pelatihan fisik. Tidak ada serdadu yang dikirim ke medan perang tanpa persiapan pelatihan dasar ini.

Friedemann mengatakan lebih lanjut: “Kami saat ini mempertimbangkan, pelatihandasar ini diperluas dengan pelatihan psikologis, untuk mendukung ketahanan psikis serdadu. Sebuah kemungkinan, untuk menyiapkan mereka untuk menghadapi pemikiran dan perasaaan di kawasan perang, dan menunjukan cara bagaimana agar mereka dapat menyikapinya.“

Juga pada saat penugasan di medan perang, dialog secara terbuka mengenai kejadian yang dialami dapat membantu pengolahan lebih baik pengalaman traumatis tsb. Karena itulah militer AS kini mengirimkan sejumlah psikiater ke kawasan perang di Irak dan Afghanistan. Juga Friedemann mengatakan, terdapat dua faktor penting yang dapat melindungi serdadu dari masalah psikis. Pertama komandan yang kompeten, yang mendukung dan dapat menimbulkan rasa percaya di kalangan anak buahnya. Dan yang kedua kekompakan dalam regu. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah situasi pasca penugasan di kawasan perang. Mereka yang dapat terintegrasi dengan erat ke dalam sebuah kelompok sosial, mereka itu lebih mampu menepis kemungkinan terserang PTSD. (as)