1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bangladesh Perketat Kebijakan Pengungsi asal Myanmar

Sanjiv Burman7 Agustus 2012

Menimbang meningkatnya eskalasi kekerasan di negara tetangganya, Bangladesh mengetatkan kebijakan pengungsi. Organisasi bantuan kemanusiaan diperintahkan hentikan misi mereka.

https://p.dw.com/p/15lRh
Foto: AP

Menurut keterangan Perserikatan Bansa Bangsa, kelompok etnis Muslim Rohingya di Myanmar merupakan etnis minoritas yang paling tertindas di seluruh dunia. Menurut perkiraan, sekitar 800.000 dari mereka tinggal di bagian barat Myanmar di perbatasan ke Bangladesh. Di tahun 70-an dan 90-an, ratusan ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh, melarikan diri dari kerja paksa dan pelanggaran hukum di Myanmar.

Walaupun Myanmar kini lebih membuka diri, namun situasi minoritas Muslim tidak mengalami perubahan sama sekali. Insiden pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang perempuan Myanmar menjadi pemicu aksi kekerasan terbaru terhadap anggota kelompok etnis Rohingya. Kelompok hak asasi manusia melaporkan, kekerasan yang terjadi sejak awal Juni telah menewaskan hingga 100 orang. Kekerasan yang melibatkan pasukan keamanan ini juga telah membuat sekitar 100.000 warga mengungsi.

Kekhawatiran Bangladesh

Mengantisipasi gelombang pengungsi terbaru, pemerintah Bangladesh merencanakan untuk menutup perbatasannya. Menurut keterangan pemerintah, sejak puluhan tahun, sekitar 300.000 warga Rohingya menetap di Bangladesh, 30.000 dari mereka merupakan pengungsi. Pemerintah di Dhaka mengkhawatirkan, gelombang pengungsi Rohingya terbaru juga  akan mengundang resiko bangkitnya Islam radikal.

Menteri Luar Negeri Banglades Dipu Moni menuduh Partai Jamaat-e-Islami Bangladesh telah memicu kerusuhan di Myanmar untuk kepentingan mereka. Informasi ini diperoleh Kedutaan Besar Bangladesh di Yangon dari pemerintah Myanmar. Pemerintah Dhaka mengkhawatirkan, gelombang baru pengungsi Rohingya dapat memperkuat Jamaat-e-Islami. Kekhawatiran ini juga berdasarkan fakta bahwa seorang juru bicara Taliban di Pakistan mendesak pemerintah Pakistan untuk memutuskan hubungan dengan Myanmar dan mengusir duta besar Myanmar di Islamabad.

Menteri Luar Negeri Dipu Moni menambahkan, Banglades tidak menginginkan terjadinya satu bencana kemanusiaan. Para pendatang ilegal dari Myamar yang tertangkap akan dikirim pulang dengan kapal “dengan persediaan makanan, obat-obatan dan bahan bakar.“ Bangladesh tidak merasa berkewajiban untuk menawarkan suaka bagi Rohingya, karena tidak terdapat perjanjian mengenainya. Masyarakat internasional harus menangani masalah ini langsung dengan Myanmar, dikatakan Dipu Moni.

LSM Ditarik

Kebijakan baru pemerintah Bangladesh ini telah dirasakan oleh beberapa organisasi kemanusiaan, terutama di wilayah perbatasan Cox's Bazaar, yang mengurusi pasokan bagi pengungsi Rohingya. Organisai Dokter Lintas Batas MSF, Action Against Hunger dan Britain Muslim Aid UK diminta untuk menghentikan proyek mereka di wilayah perbatasan sampai tanggal 15 Agustus. “Pihak otoritas mengatakan dengan jelas bahwa kami tidak bertanggung jawab lagi atas perawatan pengungsi. Kami diperintahkan untuk menghentikan misi kami. Dikatakan, misi kami telah menodorong gelombang imigran ilegal dari Rohingya,” demikian dikatakan Liakat Hussain dari Britain Muslim Aid UK kepada DW:

Kepada kantor berita AFP, seorang juru bicara MSF menyampaikan rasa keterkejutannya atas langkah yang diambil Dhaka. Sejak tahun 1992 organisasi kemausiaan Perancis ini memiliki satu klinik di Cox's Bazaar, yang setiap bulannya memberikan pelayanan kesehatan kepada sekitar 5.000 orang, baik warga rohingya maupun penduduk asli. Perawatan medis bagi puluhan ribu warga tengah terancam. Pemerintah Bangladesh diharapkan akan menimbang kembali keputusannya, demikaian dikatakan juru bicara MSF.

Menurut wartawan Bangladesh, Gafur Mia Chowdhury, pemerintah Bangladesh menuduh organisasi kemanusiaan di Cox's Bazaar telah memberikan bantuan tanpa kecuali, baik kepada pengungsi Rohingya yang telah terdaftar maupun tidak. Ini dianggap dapat mendorong mereka datang ke Bangladesh dan menetap di sini.

Sementara itu di Myanmar, peminmpin gerakan demokrasi, pemenang Nobel Perdamaian dan anggota Parlemen, Aung San Suu Kyi, ditunjuk sebagai ketua Komite Parlemen untuk Supremasi Hukum dan Perdamaian. Komite init terutama akan mengurusi konflik etnis di negara ini. Sejauh ini, Suu Kyi belum memberikan komentar mengenai kekerasan di wilayah Rohingya dan kritikan internasional terhadap peran pasukan keamanan dalam konflik ini.