1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dolly Segera Ditutup

16 Juni 2014

Gang-gang sempit di Dolly, Surabaya, Jawa Timur, dipenuhi para pekerja seks yang menawarkan diri, melempar senyum lewat jendela dan pintu klub remang di bangunan yang rusak.

https://p.dw.com/p/1CJ3x
Foto: Getty Images

Banyak turis asing akan langsung teringat Thailand ketika datang ke kawasan lampu merah terbesar Asia Tenggara, yang selama bertahun-tahun tak disentuh pihak berwenang di negara berpenduduk Muslim terbesar dunia ini.

Tapi kini walikota – yang dipuji karena memperbaiki Surabaya, kota terbesar kedua setelah Jakarta – telah bertekad menutup jaringan bordil tersebut meski mendapat perlawanan sengit dan peringatan bahwa itu akan menjerumuskan para pekerja seks ke dalam kemiskinan.

“Kami harus mengangkat masyarakat kami dari penindasan,” kata Tri Rismaharini, walikota perempuan yang mengenakan jilbab dan kepemimpinannya di Surabaya diprediksi akan membuat dia masuk dalam bursa politik nasional masa depan.

Sementara pihak kota mengatakan rencana penutupan itu datang dari mereka, para pemimpin Islamis juga mengklaim berjasa setelah menekan pemeritah selama bertahun-tahun dalam isu Dolly, nama kawasan prostitusi terkenal yang diambil dari seorang nyonya Belanda yang menjalankan sebuah rumah bordil di kota itu pada masa kolonial.

Kini, Rismaharini telah menetapkan tangga 18 Juni akan menutup Dolly dan kawasan tetangganya Jarak, yang mempunyai klien sebagian besar penduduk lokal.

Pihak berwenang menawarkan kepada sekitar 1.400 pekerja seks, masing-masing sekitar Rp 5 juta dan pelatihan untuk meninggalkan dunia prostitusi dan menekuni profesi baru dalam bisnis penjualan kue atau kerajinan tangan.

Meski banyak yang menyambut baik langkah tersebut, namun rencana itu mendapat tentangan keras dari para pekerja seks serta mereka yang selama ini mendapat nafkah dari Dolly, seperti supir taksi dan pedagang kaki lima yang berkontribusi terhadap pendapatan bisnis seks yang total pendapatannya setiap malam berkisar antara Rp 300 juta hingga Rp 500 juta.

Melawan

Pekerja seks dan warga telah melancarkan protes beberapa pekan terakhir, dengan ratusan pekerja seks berpawai mengeliling Dolly awal bulan ini.

Surabaya Indonesien Demo
Para pekerja seks dan warga memprotes rencana penutupan Dolly.Foto: J.Kristwanto/AFP/GettyImages

“Saya tak akan menerima tawaran pemerintah karena saya betul-betul membutuhkan pekerjaan ini,” kata Mawar, nama samaran, sambil duduk di sebuah sofa tua sebuah klub Dolly.

“Saya tak akan pernah bisa menemukan pekerjaan lain karena saya bahkan tak lulus sekolah dasar.”

Pekerja seks, yang mengaku memperoleh antara Rp 10 juta hingga Rp 13 juta setiap bulan itu, mengatakan akan sulit baginya untuk membiayai kehidupan kedua anaknya, yang berumur lima dan delapan tahun, jika Dolly ditutup.

Menurut laporan media lokal, walikota akan mengeluarkan pernyataan hari Rabu malam, mengenai penutupan Dolly dan Jarak dan polisi akan bergerak untuk menutup tempat tersebut.

Para pekerja seks harus meninggalkan tempat itu di hari yang sama dan akan menerima pelatihan selama tuju hari berikutnya, demikian menurut para pejabat.

Sejumlah kalangan mendukung langkah walikota.

”Saya ingin Dolly ditutup – tempat ini membuat malu Surabaya,” kata Siti, seorang guru berumur 46 tahun.

Tapi Lilik Sulistyowati, dari LSM Yayasan Abdi Asih yang mendampingi para perkerja seks, memperingatkan bahwa langkah penutupan itu tak akan mulus.

“Mereka akan melawan penutupan,“ kata dia, sambil menyalahkan pemerintah yang mencoba melaksanakan langkah itu dalam waktu yang begitu singkat, sambil menyatakan bahwa pemerintah seharusnya baru menutup tempat itu lima tahun setelah melatih para pekerja seks.

ab/hp (afp,rtr,ap)