1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diet Eliminasi untuk Hidup Bebas Alergi

Sonya Angelica Diehn25 Desember 2013

Banyak juga yang sakit usai menyantap hidangan istimewa. Mengapa? Diet eliminasi bisa memberikan jawaban.

https://p.dw.com/p/1AgJ4
Foto: picture-alliance/Tobias Hase

Pernahkah Anda bertanya-tanya apakah sejumlah masalah kesehatan - seperti sakit kepala, masalah penyakit sinus, dan sakit kulit - berhubungan dengan makanan yang dikonsumsi? Mungkin sekarang waktunya Anda mencoba diet eliminasi.

Konsep di balik diet ini cukup sederhana: sisihkan setiap makanan yang kira-kira mungkin menyebabkan reaksi. Ini termasuk kacang-kacangan, ikan, makanan laut, produk susu, telur, kacang kedelai dan gandum, yang menyebabkan sekitar 90 persen alergi makanan.

Begitu sederetan makanan tadi dieliminasi, tidak banyak yang tersisa: daging yang lemaknya sedikit, seperti daging kalkun dan domba, biji-bijian bebas gluten seperti nasi dan kinoa, buah-buahan kecuali jeruk, dan semua sayuran kecuali terung dan kentang.

Alergi vs. intoleransi?

Peter Strauven, seorang ahli gizi, mengatakan sekitar 4 persen populasi dunia mempunyai alergi makanan. Intoleransi lebih umum lagi - namun Strauven menambahkan bahwa orang-orang kerap meyakini mereka memiliki alergi makanan padahal tidak.

Jadi apa bedanya antara alergi dan intoleransi?

Menurut Strauven, alergi makanan memperlihatkan reaksi langsung sementara intoleransi bisa datang dan pergi, dan umumnya reaksinya terlambat.

"Seseorang makan sesuatu dan setelah 5 menit, terjadi pembengkakan pada selaput lendir di dalam mulut - itu adalah alergi," kata Strauven.

Seseorang dengan intoleransi makanan mungkin terkena "iritasi usus besar satu atau dua jam kemudian" - meski penundaan ini bisa sampai 20 jam.

Masalah yang terus tumbuh

Orang yang mempunyai alergi makanan dan intoleransi secara keseluruhan jumlahnya terus bertambah, ungkap Strauven. Ia yakin zat aditif dan bahan pengawet dalam makanan turut berperan.

"Tubuh manusia adalah semacam tempat sampah. Terus diisi seumur hidup, kemudian tutupnya meledak," jelas Strauven. Sistem kekebalan tubuh tidak mampu lagi mengisolasi peradangan sehingga tubuh bereaksi dengan mengembangkan alergi atau intoleransi.

Strauven menasehati pasiennya cara terbaik untuk mencari tahu apakah mereka memiliki alergi makanan atau intoleransi adalah melalui tes darah atau tes tusukan jarum. Namun ia juga memperingatkan tes darah komersial dapat memberi hasil positif yang salah, berujung pada larangan diet yang tidak diperlukan. Diet eliminasi, menurut Strauven, juga salah satu alat yang efektif.

Selamat dari intoleransi makanan

Bagi Stefanie (bukan nama sebenarnya-ed), seorang perempuan di usia awal 40-an, kombinasi metode membantunya mengatasi masalah kesehatan kronis terkait dengan intoleransi makanan.

Setelah bertahun-tahun menderita eksim - kondisi kulit gatal dan iritasi - ia pertama-tama melewati tes darah yang menghasilkan daftar yang terdiri dari enam produk makanan, termasuk produk susu dan beberapa buah-buahan.

Ia mulai dengan mengeliminasi makanan tersebut dari pola makannya.

"Setelah dua minggu, saya mendapat reaksi aneh yang rasanya sangat tidak enak," papar Stefanie. "Rasanya seperti tubuh saya mengeluarkan racun."

Dokter Strauven mengkonfirmasi bahwa rasa sakit pada tahap awal diet eliminasi itu wajar karena badan sedang melewati proses detoksifikasi.

Namun setelah dua bulan, Stefanie bercerita, kulitnya lebih cerah dari tahun-tahun sebelumnya.

Stefanie lalu mencoba lagi mengkonsumsi makanan yang masuk dalam daftar hasil tes darah untuk melihat apakah tubuhnya bereaksi.

"Saya merasakan bahwa kulit tangan saya mulai gatal pada hari saya minum anggur merah," pungkasnya.