1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Desmond Tutu Pejuang Keadilan

Michael Hartlep21 Mei 2013

Desmond Tutu mendapat penghargaan Templeton di London Selasa (21/05/13). Warga Afrika Selatan yang berusia 81 tahun itu mendapat penghargaan karena "upaya menyokong kasih dan pengampunan".

https://p.dw.com/p/18ba1
Archbishop Emeritus Desmond Tutu at the Templeton Prize celebration at St. George’s Cathedral in Cape Town on April 11, 2013. (Photo credit: Templeton Prize: / Karen Marshall)
Desmond Tutu Templeton Prize Kapstadt 2013Foto: Templeton Prize/Karen Marshall

Dengan upayanya, Desmond Tutu membantu gerakan pembebasan di seluruh dunia. Demikian alasan pemberian penghargaan tersebut. Tutu terkejut ketika mendengar keputusan yang diambil awal April itu. Ia memberikan reaksi demikian: "Jika kamu lebih tinggi daripada orang lain, itu biasanya karena orang-orang lain menggendongmu di bahunya."

Uskup, perantara perdamaian dan pejuang keadilan sosial Desmond Tutu sudah memegang berbagai peran dalam hidupnya. Awal tahun 80-an ia terkenal karena melawan rezim Apartheid di Afrika Selatan. Tutu sering mengecam ketidakadilan, tanpa membangkitkan kebencian. Misalnya Februari 1991. Setelah tekanan puluhan tahun atas penduduk berkulit hitam, Presiden de Klerk membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Nelson Mandela, dan mengijinkan berdirinya partai dan organisasi.

Tapi perundingan untuk reformasi demokrasi mandek. Ketika politisi dan pejuang kebebasan Chris Hani dibunuh seorang warga radikal kanan, perang saudara hampir terjadi. Tutu menyerukan "Kita akan bebas! Kita semua - kulit hitam dan putih bersama-sama!" Itu diserukan Desmond Tutu saat pemakaman Chris Hani di depan lebih dari 100.000 orang. Di saat-saat sulit seperti ini, Tutu menunjukkan kekuatannya.

Dari Guru Menjadi Uskup Pertama Berkulit Hitam di Afrika Selatan

Demond Tutu lahir 1931 di Klerksdorp. Dulu ia menjadi guru. Ketika pemerintah memutuskan, murid berkulit putih harus mendapat pendidikan lebih baik daripada yang berkulit putih, Tutu berhenti jadi guru, dan beralih ke dunia teologi. Ia kemudian menjadi uskup gereja Anglikan pertama di Johannesburg yang berkulit hitam, kemudian jadi uskup Cape Town.

Di dunia politik ia selalu memerangi pemisahan berdasarkan ras. Secara terbuka ia bersimpati dengan tujuan yang ingin dicapai partai Nelson Mandela, Kongres Nasional Afrika (ANC).

Archbishop Emeritus Desmond Tutu with members of the Cape Town Opera Voice of the Nation Ensemble, at the Templeton Prize celebration at St. George’s Cathedral in Cape Town on April 11, 2013. (Photo credit: Templeton Prize: / Ilan Godfrey)
Desmond Tutu bersama anggota kelompok musik Cape Town Opera Voice of the Nation Ensemble, dalam acara perayaan setelah ada keputusan ia mendapat penghargaan Templeton, di Katedral St. George di Cape Town (11/04/13)Foto: Templeton Prize/Ilan Godfrey

Perdamaian, Bukan Balas Dendam

Juga setelah Apartheid dihapuskan, Tutu tidak menarik diri dari kancah politik. Presiden Nelson Mandela memintanya untuk memimpin komisi kebenaran dan perdamaian, yang bertugas meneliti kejahatan di masa Apartheid. Tutu dan komisi itu ingin menemukan jalan tengah antara keadilan dan amnesti, serta menuntut perdamaian dan pemberian maaf.

Setelah itu Tutu masih memerangi ketidakadilan di dunia, tanpa mengindahkan penguasa. Ia menuduh Tony Blair dan George W. Bush menggunakan kebohongan untuk memulai perang. Menurutnya, kedua politisi itu harus dihadapkan ke Pengadilan Pidana di Den Haag. Ia kerap menunjuk pada persamaan antara Apartheid di Afrika Selatan dan diskriminasi warga Palestina oleh Israel. Ia juga mengutuk pendudukan wilayah Palestina.

Suara Kuat Menentang Ketidakadilan

Tutu masih tetap menjadi pengamat kritis partai pemerintah, mengamati hubungan dengan rejim otoriter di Zimbabwe, pemberantasan AIDS yang berjalan terseok-seok dan elit politik yang dibayar terlalu tinggi. Memilih ANC, menurut Tutu, bukan sesuatu yang otomatis lagi. Orang mengajukan pertanyaan, dan itu bagus.

Untuk jasanya dalam perjuangan terhadap Apartheid tanpa kekerasan, Desmond Tutu mendapat Hadiah Nobel tahun 1984. Ia juga pernah mendapat penghargaan Martin Luther King, penghargaan perdamaian Gandhi, dan penghargaan lainnya. Penghargaan Templeton diberikan bagi mereka yang dengan cara istimewa memperkuat pentingnya spiritualitas dalam hidup manusia. Penghargaan ini tidak diberikan berdasarkan agama seseorang.