1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dari Genosida Hingga Kawin Paksa

30 Juli 2014

Dua bekas pemimpin Khmer Merah menjalani sidang kedua dalam pengadilan yang didukung PBB di Kamboja, dan menghadapi sejumlah dakwaan termasuk genosida orang Vietnam dan etnik Muslim, kawin paksa dan pemerkosaan.

https://p.dw.com/p/1CmFb
Foto: DC-Cam

Kasus rumit atas dua tokoh rezim yang hingga kini masih hidup itu dipecah dalam sejumlah pengadilan-pengadilan kecil, yang awalnya difokuskan pada kasus pemindahan paksa rakyat ke kamp-kamp kerja paksa di desa serta sejumlah kejahatan melawan kemanusiaan.

Pengadilan pertama atas “Kakak Nomor Dua” Nuon Chea, 88, dan bekas kepala pemerintahan Khieu Samphan, 83, telah digelar sejak tahun lalu, dengan vonis – kemungkinan penjara – akan diumumkan pada 7 Agustus.

Pada sesi pembukaan pengadilan kedu, hakim Nil Nonn membacakan tuduhan atas kedua terdakwa, termasuk diantaranya melakukan genosida serta kejahatan kemanusiaan lainnya, dalam pengadilan yang disaksikan langsung lebih dari 300 orang.

Nuon Chea tidak hadir karena alasan kesehatan, sementara Khieu Samphan duduk di pengadilan di samping tim pengacaranya. Kedua tokoh Khmer Merah itu menolak semua dakwaan. (Baca: Elit Khmer Merah: Ada Pembagian tanggung Jawab)

Anne Heindel, penasihat hukum Documentation Center of Cambodia yang melakukan riset mengenai sejarah berdarah negeri itu, mengatakan pengadilan kedua ini ”sangat penting bagi para korban selamat atau penyintas.”

“Subyek persidangan pertama cukup terbatas, mendiskusikan hanya peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi ketika atau sesaat setelag Khmer Merah mengambil kekuasaan.

“(Pengadilan baru ini) focus pada beberapa kejahatan yang terjadi setelah Khmer Merah bercokol dan melaksanakan rencana lama untuk mengubah masyarakat Kamboja, yang hingga kini tak satupun dianggap bertanggungjawab,” kata dia.

Pembunuhan massal saat itu diperkirakan menewaskan 100.000 hingga 500.000 etnik Muslim Cina, Cham, dan 20.000 orang Vietnam yang menjadi dasar tuduhan genosida atas Nuon Chea dan Khieu Samphan.

Sebelum dakwaan-dakwaan ini didaftarkan, perlakuan terhadap kelompok minoritas Muslim dan komunitas Vietnam jarang didiskusikan.

Kob Tiyum, penyintas berumur 65 tahun dari suku Chum yang selamat dari rezim Khmer Merah 1975-1979 , mengatakan pengadilan itu akan “menjadi pengakuan atas penderitaan kami”.

Ia kehilangan dua anak, ayahnya serta dua saudara laki-lakinya yang mati kelapan di kamp kerja paksa.

“Khmer Merah membunuh Chams karena mereka ingin menghilangkan ras itu. Mereka tidak memperbolehkan kami bicara bahasa Cham atau berdoa,“ kata dia setelah menghadiri sidang.

Kawin Paksa

Nuon Chea dan Khieu Samphan juga menghadapi rangkaian dakwaan telah menyebabkan kematian hingga dua juta orang akibat kelaparan, kelebihan beban kerja atau eksekusi selama rezim berkuasa.

Sebagian besar yang tewas tidak dimasukkan ke dalam dakwaan genosisa, yang didefinisikan PBB sebagai “tindakan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, sebuah bangsa, etnik, rasial atau kelompok agama“.

“Pengadilan ini sangat penting bagi saya sebagai korban yang kehilangan kedua orang tua di Tuol Sleng," kata penyintas bernama Norng Chan Phal, 45, merujuk pada penjara yang disebut juga S-21, yang terkenal sebagai tempat penyiksaan paling brutal.

“Para kriminal yang melakukan genosida dan membunuh rakyat mereka sendiri harus dihukum serius.“

Dipimpin oleh ”Kakak Nomor Satu” Pol Pot, Khmer Merah berencana mengubah masyarakat Kamboja menjadi masyarakat sosialis petani. Utopia ini antara lain dijalankan dengan membunuh orang terpelajar yang tinggal di perkotaan, atau memaksa mereka pindah menjalani kerja paksa ke desa mengolah pertanian.

Persidangan baru ini juga akan menjadi ajang keadilan bagi ribuan suami dan istri yang dipaksa kawin, yang seringkali dilakukan melalui perayaan massal, sebagai bagian dari metode Khmer Merah untuk menambah populasi angkatan kerja. Tuduhan pemerkosaan itu merujuk kepada pemerkosaan lewat perkawinan paksa.

ab/rn (afp,ap,rtr)