1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Budak Seks Perang Dunia II Diperlukan

14 Mei 2013

Seorang walikota nasionalis mengatakan bahwa praktek budak seks selama Perang Dunia II yang dilakukan militer Jepang diperlukan. Kelompok nasionalis yang sedang bangkit, menolak mengakui kejahatan masa lalu.

https://p.dw.com/p/18XHk
Foto: Wilhelm Busch – Deutsches Museum für Karikatur und Zeichenkunst, 2012

Komentar itu menimbulkan kemarahan di negara tetangga yang menanggung beban agresi militer Jepang dan telah lama mengajukan keberatan bahwa negeri matahari terbit itu gagal menebus kekejaman yang mereka lakukan semasa perang.

Toru Hashimoto, seorang anak muda kurang ajar yang menjadi walikota Osaka, dan merupakan salah satu pimpinan partai konservatif yang sedang berkembang, juga mengatakan kepada para wartawan bahwa tidak ada bukti jelas bahwa militer Jepang memaksa para perempuan untuk menjadi apa yang sering dihaluskan istilahnya sebagai “perempuan penghibur“.

Untuk istirahat dan menjaga disiplin

“Untuk menjaga disiplin militer, pasti diperlukan pada masa itu,“ kata Hashimoto. “Bagi para prajurit yang mempertaruhkan nyawa mereka dalam situasi di mana peluru-peluru melayang di sekitar seperti hujan dan angin, jika anda ingin mereka beristirahat, sistem perempuan penghibur itu perlu. Itu jelas bagi siapa pun.“

Para sejarawan mengatakan hingga 200 ribu perempuan, terutama dari semenanjung Korea dan Cina, dipaksa menjadi pelayan seks bagi para prajurit Jepang di rumah-rumah bordil militer.

Seorang pejabat Korea Selatan yang menanggapi komentar itu, mengaku kecewa bahwa ada seorang pejabat Jepang yang “membuat pernyataan mendukung kejahatan atas kemanusiaan dan mengungkapkan betapa seriusnya pemahaman sejarah yang buruk dan sikap tidak hormat terhadap perempuan.”

Komentar Hashimoto muncul di tengah meningkatnya kritik atas kemungkinan bahwa pemerintahan konservatif Shinzo Abe akan merevisi permintaan maaf atas kekejaman Jepang semasa perang. Sebelum naik ke kekuasaan pada Desember tahun lalu, Abe dikenal sebagai orang yang menganjurkan revisi atas pernyataan 1993 yang dikeluarkan Perdana Menteri Yohei Kono yang berisi penyesalan atas penderitaan yang disebabkan praktek budak seks yang dilakukan tentara Jepang.

Pebedaan sikap dalam pemerintahan

Abe mengakui bahwa “perempuan penghibur” memang ada, tapi membantah bahwa mereka dipaksa melakukan prositusi, sambil mengutip lemahnya bukti resmi terkait itu.

Baru-baru ini, seorang pejabat tinggi pemerintahan Abe, mengeluarkan pernyataan untuk meredakan ketegangan dengan Korea Selatan dan Cina terkait isu ini, sekaligus menjawab kecemasan Amerika terkait agenda nasionalis pemerintahan Abe.

Kepala Kabinet Menteri Yoshihide Suga berulangkali menegaskan posisi pemerintah sebelumnya dan mengatakan bahwa para perempuan itu telah melalui rasa sakit yang tidak terperi.

“Pendirian pemerintah Jepang atas isu perempuan penghibur telah diketahui dengan baik. Mereka telah menderita rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan. Kabinet Abe mempunyai sentimen yang sama dengan pemerintahan sebelumnya.”

Menteri pendidikan Hakubun Shimomura mengatakan bahwa pernyataan Hashimoto tidak membantu karena Jepang telah menghadapi kritik dari Negara tetangga dan Amerika atas interpretasi mereka terhadap sejarah.

“Rangkaian pernyataan terkait interpretasi kita atas sejarah (masa perang-red) telah disalahpahami. Dalam arti bahwa pernyataan pak Hashimoto muncul di waktu yang salah,” kata Shimomura kepada para reporter. “Saya bertanya-tanya apakah ada makna positif untuk secara sengaja membuat pernyataan di saat-saat tertentu.”

Hashimoto, 43 tahun, adalah salah satu ketua Partai Restorasi Jepang yang baru didirikan bersama bekas gubernur Tokyo Shintaro Ishihara, yang dikenal sebagai nasionalis yang bersuara lantang.

Sakihito Ozawa, ketua partai itu di parlemen mengatakan bahwa ia percaya pernyataan Hashimoto itu mencerminkan pandangan pribadi dan ia mengkhawatirkan dampak atas pernyataan itu.

“Kita harus bertanya tentang niat dia (Hashimoto-red) yang sesungguhnya dan menghentikan ini di titik tertentu,” kata dia.

ab (ap/dpa/afp)