1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bertaruh Kesehatan Demi Kulit Putih Berseri

Brigitte Osterath15 Januari 2014

Kulit putih di banyak negara melambangkan kecantikan ideal, bahkan di Afrika sekalipun. Demi memutihkan warna kulit, perempuan mengambil risiko terkena efek samping yang tidak menyenangkan, termasuk penyakit kanker.

https://p.dw.com/p/1Aqx3
Foto: Rainer Dückerhoff

Lumpur merah menutupi wajah Tangitini. Cuma mulut dan matanya yang tidak terjamah. Sengatan matahari di KwaZulu-Natal, di timur laut Afrika Selatan, bisa sangat kejam, bahkan buat perempuan berkulit gelap Afrika sekalipun.

Tangitini, perempuan 30 tahun itu sudah berpeluh keringat. Ia baru saja menuntaskan pekerjaannya berkebun. Sebab itu pula wajahnya dipenuhi lumpur merah yang diakuinya sebagai krim anti matahari itu.

"Anda lihat kulit saya?", tanyanya sembari menunjukkan kulit lengan yang hitam bak jelaga. "Kulit saya bisa menghitam di bawah matahari, lebih gelap dari biasanya. Kalau sudah begitu saya bisa sehitam penduduk Nigeria. Saya tidak ingin seperti itu," imbuhnya mantap.

Tangitini secara rutin membeli krim yang terbuat dari tanah liat bermineral tinggi. Ia mencampurkan bubuk berwarna kuning pucat kemerah-merahan itu dengan air dan lantas memaparkannya di wajah. Metode serupa dengan yang diajarkan oleh ibunya.

Bersolek demi pria

Tangitini adalah anggota suku Zulu. Keluarganya miskin. Desa yang menjadi tempat tinggalnya, berwujud kumpulan rumah dari beton dan kayu yang berserakan. Penduduk setempat terbiasa berkumpul di sore hari buat melepas penat seusai bekerja seharian.

Kehidupan di desa itu tidak mudah. Sebagian besar hidup sebagai nelayan. Mereka sering membuat sendiri barang-barang kebutuhan pokok. Kendati tidak pernah mengecap kemewahan, buat Tangitini, kecantikan adalah segalanya. Maka dari itu ia melindungi wajahnya sebisa mungkin dari sengatan matahari.

"Wajah adalah yang pertama dilihat oleh laki-laki," katanya. "Kalau cantik dan kulitnya cemerlang, maka ia akan meminang perempuan itu. Karena suami atau ayah sekalipun ingin melihat isteri atau putrinya sebagai perempuan yang cantik."

Buat masyarakat setempat, kulit yang terang dan cemerlang adalah lambang kecantikan ideal.

Kulit terang buatan

Bagaimana perempuan Afrika berupaya mempercantik diri, terlihat jelas di sebuah toko kecantikan pada pusat perbelanjaan terbesar di Swasiland. Puluhan krim kosmetik memenuhi kaca etalase. Sebagian besar menjanjikan warna kulit serupa kopi susu bagi penggunanya.

"Sangat banyak perempuan membeli krim ini," kata sang pedagang di tokonya. Ia lantas mengambil salah satu kotak krim dari etalase, membuka tutupnya dan menunjukkan isinya yang berwarna kuning terang. "Kemarin saya menjual lebih dari sepuluh biji," imbuhnya.

Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, sepertiga perempuan di Afrika Selatan menggunakan krim pemutih kulit, di Nigeria jumlahnya bahkan 77 persen. Hal serupa bisa diamati di negara-negara Asia seperti Indonesia, Korea Selatan, Malaysia dan India. Beberapa perempuan malah mengaku menggunakan krim pemutih setiap hari selama 20 tahun.

Risiko tinggi demi kecantikan

Kebanyakan krim pemutih mengandung hydrochinon. Campuran kimia itu biasanya digunakan untuk mengolah citra negatif foto. Pada kulit zat itu memperlambat pembentukan pigmen melanin. Sebab itu jika rajin dipakai, krim pemutih bisa membuat kulit pemakainya menjadi lebih terang.

Tapi sebaliknya krim pemutih juga menimbulkan efek samping yang tidak nyaman, kata Uwe Reinhold, dokter kulit di Bonn. "Hydrochinon memicu reaksi pada kulit. Lapisan terluar akan menipis. Pada jangka waktu lama, krim semacam itu bisa mempercepat pembentukan garis-garis penuaan. Selain itu juga infeksi kulit, gatal-gatal dan sebagainya."

Sejumlah laporan yang beredar di dunia maya bahkan menceritakan soal kulit yang melepuh, rasa sakit pada permukaan kulit hingga luka yang membekas. Selain itu hydrochinon diyakini memicu pertumbuhan sel-sel kanker. Selain itu karena krim pemutih mencegah pertumbuhan melanin yang melindungi kulit manusia dari paparan radiasi ultraviolet, penggunanya akan mudah terkena kanker kulit.

"Warna kulit tidak bisa ditukar layaknya pakaian"

Uwe Reinhold sering disambangi pasien-pasien berkulit gelap. Kebanyakan meminta agar sang dokter mempercerah warna kulit mereka. Situasi yang sulit, kata Reinhold, karena "kita saat ini tidak memiliki metode yang aman dan sederhana untuk memutihkan kulit," tanpa efek samping.

Reinhold cuma memberikan obat-obatan yang mengandung hydrochinon kepada pasien yang memiliki noda hitam pada kulit. Itu pun terbatas pada permukaan kulit yang menghitam dan cuma selama tiga bulan. "Kami berusaha menjelaskan bahwa manusia dilahirkan ke bumi dengan warna kulit tertentu yang tidak bisa ditukar layaknya pakaian."

Tidak semua perempuan Afrika tenggelam dalam kegilaan mempercantik diri melalui kulit. Pedagang alat-alat kosmetik di Swaziland itu contohnya. Ketika ditanya apakah ia menggunakan barang dagangannya sendiri, ia menepis. "Saya belum pernah memakai krim-krim ini. Saya tidak ingin putih. Kulit saya berwarna gelap. Itu tidak ingin saya ubah," tuturnya bangga.