1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Benny Wenda Menuntut Papua Merdeka

Rachel Bongiorno11 April 2013

50 tahun perjuangan Papua Barat ingin melepaskan diri dari Indonesia adalah satu diantara konflik terpanjang yang hingga kini masih terjadi di dunia. Aktivis di pengasingan Benny Wenda mencoba menarik perhatian dunia.

https://p.dw.com/p/18EC7
Foto: Leon Neal/AFP/Getty Images

Mengenakan kaos bermotif Papua, potongan Benny Wenda gampang dikenali di jalanan Melbourne. Kini dia sedang menjalani tur dunia terbaru, mencoba menarik perhatian dunia.

Ada perasaan hening penuh damai sekaligus keputusasaan saat dia menjelaskan situasi yang dialami rakyat Papua Barat.

“Anda tidak bisa berburu dan berkebun setiap hari, ke manapun anda pergi ada pos penjagaan militer, di mana-mana,“ kata dia. “Ke manapun anda pergi, intel mengawasi dan memonitor apa yang anda kerjakan.“

Papua Barat dulunya adalah bekas koloni Belanda, yang secara efektif diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1962 melalui perjanjian yang dibuat oleh Amerika. Melalui referendum kontroversial pada tahun 1962, Indonesia mengontrol penuh wilayah itu. Hingga sekarang konflik masih berlanjut antara Organisasi Papua Merdeka OPM dengan tentara Indonesia.

Bukan Tanpa Alasan

Wenda lahir di desa Baliem di pusat dataran tinggi Papua Barat pada tahun 1975. Dia mengatakan, dirinya secara terpaksa sejak muda menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia.

“Bibi saya diperkosa di depan mata saya,“ kata dia.“Ibu saya dipukuli di depan saya. Saat itu saya berusia lima tahun. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya menangis.”

Ketika militer Indonesia membombardir desa Benny pada akhir 1970 an, keluarganya bersama ribuan orang lainnya dipaksa hidup bersembunyi di hutan.

Pengalaman inilah yang mengobarkan semangatnya untuk mencari kebenaran dan mencoba memerdekakan rakyatnya dari penindasan.

“Saat itulah saya berdiri dan mengatakan: ini tidak adil,” kata Wenda. ”Saya sekolah, belajar dan mulai berjuang untuk kemerdekaan rakyat saya.“

Wenda menjadi seorang pemimpin perwakilan sukunya pada tahun 1999, selama periode yang dikenal sebagai “Musim Semi Orang Papua,” masa ketika semakin banyak aksi damai menuntut kemerdekaan.

Tak lama kemudian dia dipenjara, ditangkap karena dituduh ikut merencanakan penyerangan sebuah kantor polisi dan membakar dua toko dalam kerusuhan tahun 2000. Dia menyebut penahanan itu bermotif politik dan pengadilan atas dirinya adalah pengadilan yang tidak adil. Organisasi Fair Trials International mendukung klaim Wenda.

Ketika di penjara, ia menulis sebuah lagu bagi para pendukungnya. Salah satu lirik lagu itu berisi: “Bagaimana sekarang saya bisa menolong rakyat jika saya terkurung?”

Setelah beberapa bulan dalam tahanan isolasi, Wenda berhasil melarikan diri. Dia kabur ke Papua Nugini dan kemudian dengan dibantu oleh LSM Eropa melakukan perjalanan ke Inggris, di mana ia kemudian mendapatkan suaka politik.

Kampanye Perubahan

Dalam pengasingan, Wenda mendirikan “Papua Barat Merdeka“ yang berkampanye menuntut penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat dan diakhirinya pelanggaran HAM, yang kata dia semakin memburuk. Tahun lalu saja, 22 aktivis tewas dibunuh., tambah Wenda.

Beberapa kalangan memperkirakan sebanyak setengah juta orang Papua terbunuh sejak Indonesia mengambil alih wilayah itu, dan organisasi HAM terus menerima laporan mengenai pelanggaran yang dilakukan tentara Indonesia.

“Situasi HAM semakin memburuk setiap hari,” kata Wenda. ”Orang Papua Barat kini sekarat di atas jalanan di tangan polisi. Dengan membunuh orang Papua mereka mendapat pangkat dan promosi.”

Banyak kepentingan Indonesia dan dunia di Papua Barat yang didasari atas kekayaan alam wilayah itu, dengan mengeksploitasi emas, tembaga, minyak dan penebangan hutan. Kepentingan ekonomi ini, sejalan dengan kepentingan strategis banyak Negara, sehingga membuat isu Papua Barat jauh dari sorotan.

Menyebarkan Kata

Wenda kini mendorong akses lebih besar bagi media asing dan organisasi HAM agar bisa bekerja di Papua.

“Selama 50 tahun terakhir para wartawan (asing-red) dilarang masuk,“ kata dia. “Kenapa Indonesia takut membolehkan para wartawan? Apakah mereka sedang menyembunyikan sesuatu? Jika mengkampanyekan demokrasi, maka sebuah negara demokratis seharusnya boleh bagi wartawan manapun.”

Kedutaan Indonesia di Australia menolak permintaan Deutsche Welle untuk memberi komentar atas pernyataan Benny Wenda. Mengenai akses media ke Papua Barat mereka mengatakan tidak ada larangan bagi media asing, sambil menambahkan bahwa dua tahun terakhir ada enam wartawan yang diperbolehkan berkunjung ke sana.

Sebagai pemimpin politik di pengasingan, Benny Wenda terus menerima informasi dari para pemimpin di dalam Papua Barat dan dia menggunakan kampanye internasional untuk membawa pesan mereka kepada para politisi dan komunitas di seluruh dunia.

“Pesan saya sederhana,” kata dia. “Rakyat saya telah menangis meminta kemerdekaan selama 50 tahun. Dunia perlu membuka mata mereka dan mendengarkan tangisan rakyat saya yang menginginkan kemerdekaan.“

“Saya sangat percaya bahwa kekuatan rakyat akan bisa mengubah keadaan, dan suatu hari rakyat saya akan bebas.“