1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Belanda akan Hapus UU Penistaan Agama

Günter Birkenstock5 Desember 2012

Belanda dipandang sebagai liberal dan toleran. Inisiatif parlemen membuktikan kesan itu. Pemerintah akan menghapus UU penistaan agama, yang masih dipertahankan di negara lain.

https://p.dw.com/p/16w3j
2012-09-10 Interior view of the meeting room of the Dutch senate (eerste kamer) in the Hague, the Netherlands on 10 September 2012. ANP XTRA LEX VAN LIESHOUT
Foto: picture alliance/ANP XTRA

UU larangan penistaan agama berlaku sejak tahun 1932. Tapi UU itu sudah lama tidak diberlakukan. Sejak 1968 di Belanda tidak ada lagi yang dihukum terkait apa yang disebut kasus "penistaan agama yang ofensif." Kini negara itu ingin meninggalkan UU tersebut. Parlemen di Den Haag mengusulkan untuk menghapus pasal 147, yang mencantumkan bahwa penistaan agama akan dikenai hukuman. Sebaliknya penghinaan terhadap ratu Belanda Beatrix tetap akan dikenai proses hukuman.

Rencana mencabut pasal 147 sebetulnya sudah lama, kata Markus Wilp pakar politik pada Pusat Studi Belanda Universitas Münster. Tapi hal itu lama terhalang untuk diterapkan, sehubungan konstelasi politik khusus dari PM Mark Rutte yang berhaluan kanan. Sampai April tahun ini Rutte masih harus mempetimbangkan suara dari Partai Reformasi Politik SGP. Yakni perhimpunan Protestan Ortodoks yang memang sudah lama terwakili di parlemen, tapi tidak pernah memperoleh lebih dari tiga mandat. Bulan November parlemen kembali ditata baru. Kini Rutte dapat mengabaikan SGP dan menghapus undang-undang tersebut.

Menerima Pendapat Yang Ekstrim

Keputusan pemerintah Belanda hanya dapat dimengerti, jika orang mengenal diskusi mengenai kebebasan berpendapat di negara itu, ditekankan pakar politik Markus Wilp dalam pembicaraan dengan Deutche Welle. "Di sini hanya ada sedikit sekali tabu. Itu juga berarti, bahwa politisi seperti tokoh populis kanan Geert Wilders bisa jauh lebih agresif mengemukakan pendapat terhadap agama, dibanding apa yang boleh dilakukan di Jerman." Wilders sebelumnya sering menilai Islam sebagai ideologi politis yang senang melakukan kekerasan dan agresif. Hal itu memicu kontroversi besar di Belanda dan pertanyaan apakah pernyataan semacam itu harus dihukum. Pada akhirnya arus yang lebih kuat adalah pendapat yang menekankan, bahwa dalam kerangka kebebasan berpendapat orang juga harus tahan menghadapi ungkapan-ungkapan ekstrim seperti dari Wilders. "Tidak ada yang lebih kuat dari kekuatan sebuah argumen. Dan dari latar belakang ini dilakukan perubahan aktual." Dijelaskan Wilp.

Eine Statue der Justitia, Göttin der Justiz und der Gerechtigkeit, steht auf dem Gerechtigkeitsbrunnen auf dem Frankfurter Römerberg und hält eine Waage mit zwei Waagschalen in der Hand, fotografiert am 15.02.2008. Foto: Wolfram Steinberg +++(c) dpa - Report+++
Lambang keadilan YustisiaFoto: picture-alliance/dpa

Tuhan Tidak Butuh Perlindungan dari Negara

Di Jerman UU anti penistaan agama direformasi tahun 1969 dan sejak itu hampir tidak diterapkan. Pada pasal 166 kitab UU hukum, hanya disinggung sedikit mengenai penghinaan terhadap Tuhan. Yang menentukan adalah, bahwa penghinaan terhadap agama lain dan kepercayaan di dunia hanya akan dihukum "jika itu terkait ancaman terhadap kedamaian di masyarakat." Hal itu pada era modern seperti ini juga cenderung lebih adil, menurut pandangan Hartmut Kress, Profesor Etika Sosial pada Universitas Bonn. "Bahwa nama atau definisi Tuhan adalah sesuatu yang istimewa untuk melindungi milik negara, itu tidak dapat lagi dikatakan orang pada abad ke 20 dan 21. Itu suatu pandangan yang dimiliki pada periode klasik (abad 8 SM - abad 5) sampai abad pertengahan."

UU saat ini selaras dengan negara Republik Jerman sebagai negara sekuler dan negara yang berpandangan netral. Di sini yang utama adalah mencegah munculnya kritik yang bersifat subyektif terhadap agama dan yang menyerukan kekerasan bermotifkan agama. "Itu pada dasarnya merupakan pemikiran bermotif penghasutan rakyat. Ini merupakan kasus yang dapat dihukum dan pada dasarnya itu cukup."

Pakistani students chant slogans while holding banners and posters showing Mumtaz Qadri, the alleged killer of Punjab governor Salman Taseer, during a rally to protest against any attempts to modify blasphemy laws, in Karachi, Pakistan, Thursday, Jan. 20, 2011. Around two thousand school children gathered in Pakistan's largest city on Thursday showing their support for the country's blasphemy laws. (AP Photo/Fareed Khan)
UU penistaan agama masih berlaku di PakistanFoto: AP

Lain Padang, Lain Belalang

Di Inggris pasal mengenai penistaan agama hanya berlaku untuk penghinaan Tuhan dalam kepercayaan kristen. UU tersebut baru dihapus beberapa tahuh lalu. Sementara reaksi di kebanyakan negara Eropa; kritik dan penghinaan terhadap agama cenderung ditanggapi toleran, di Irlandia UU penistaan agama justru diperkuat tahun 2009. Sejak itu di Irlandia publikasi materi yang dinilai menistakan agama dapat dikenai proses hukum. Putusan pengadilan dapat menjatuhkan hukuman sampai senilai 25 ribu Euro.

Sering kali di balik tuduhan penghinaan Tuhan terselubung masalah konflik sosial dan politis di suatu negara. Di Rusia tuduhan penistaan agama dipergunakan terhadap band punk Pussy Riot. Ketiga perempuan itu dijatuhi hukuman Agustus lalu, karena saat menggelar aksi protes di sebuah gereja di Moskow, mereka menyanyikan doa dalam musik Punk. Terkait vonis itu dua anggota Pussy Riot dikirim ke kamp hukuman. Sebuah putusan yang membuat marah dunia. Rabu lalu (28/11) mahkamah pengadilan di Mesir mengeluarkan putusan yang lebih dramatis. Tujuh emigran Mesir beragama Kristen dijatuhi hukuman mati, terkait film kontroversial tentang Nabi Muhammad. Para warga kelahiran Mesir itu saat ini diduga berada di Amerika Serikat dan Australia.