1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Beda Pandang Kebebasan Berekspresi

23 Februari 2015

Banyak hal, termasuk kasus Charlie Hebdo, mengungkap perbedaan cara pandang antara Barat dan dunia Islam terkait kebebasan berekspresi, dan represi kebebasan berpendapat. Perspektif Grahame Lucas.

https://p.dw.com/p/1EHpz
Symbolbild Kölner Karneval Charlie Hebdo Wagen
Foto: DW/M. Müller

Kebebasan berpendapat adalah hak asasi yang mengakar dalam budaya Barat. Dalam pelajaran sejarah di sekolah, selalu dipaparkan betapa berat perjuangan warga melawan penguasa otokratik di Eropa selama beberapa abad, untuk meraih hak kebebasan berekspresi dan kebebasan lain yang dinikmati warga Eropa sekarang ini.

Inilah fundamen dari demokrasi sekuler di Eropa, yang dibela dan dipertahankan seluruh warga. Kebebasan berbicara dan berpendapat jadi amat penting di dunia Barat, karena memberikan kewenangan kepada media untuk mengontrol jalannya pemerintahan, dan mengoreksinya jika diperlukan.

Contoh paling terkenal antara lain dibongkarnya kasus Watergate di Amerika Serikat, yang menumbangkan presiden Richard Nixon pada 1974.

Di tingkat individu, kebebasan berekspresi adalah vital untuk membela hak perorangan untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Ini juga hak inti dari individu untuk menyuarakan opini politiknya atau mempromosikan pandangan religinya. Logikanya, inilah hak yang berada dalam nurani setiap diskusi mengenai hak asasi manusia universal. Hak untuk berekspresi bisa didefinisikan sebagai batu landasan dari masyarakat demokrasi.

Deutsche Welle DW Grahame Lucas
Grahame Lucas pimpinan redaksi South-East Asia DW.Foto: DW/P. Henriksen

Hak berekspresi juga dikukuhkan dalam traktat mahkamah Eropa untuk hak asasi manusia dari 1976. Hak ini termasuk mengkritik dan membuat satir terhadap agama dan kepercayaan. Terkait hak berekpresi ini, terutama agama Kristen yang selama bertahun-tahun jadi bulan-bulanan kritik dan satir. Tentu saja warga beragama Kristen tercengang akibat satir semacam itu. Tapi mereka harus menerimanya, karena menyadari kritik dan satir adalah bagian vital dari wacana kemayarakatan.

Terkait penafsiran hak berekspresi ini, dunia Barat dan sebagian dunia Islam di masa lalu pernah mengalami friksi. Kita tentu masih ingat fatwa mati yang dikeluarkan Ayatullah Khomeini terhadap penulis Salman Rushdie terkait bukunya "Ayat-ayat Setan". Atau ancaman pembunuhan saat koran Denmark "Jiylland Posten" mempublikasikan karikatur Nabi Muhammad. Yang paling aktual, serangan pembunuhan yang menewaskan 12 orang, oleh dua tersangka Islamis yang kalap terhadap redaktur mingguan satir Charlie Hebdo di Paris.

Tapi konflik semacam itu bisa diatasi, saya masih tetap yakin. Dalam konteks ini, saya kutip pidato presiden Mesir As-Sisi yang menyerukan revolusi religi dalam Islam dan ajakan kepada pemimpin Islam untuk memerangi ekstremisme.

Juga saya juga mengutip pernyataan perwakilan Dewan Muslim Jerman yang menegaskan: "Aksi brutal dari pelaku teror ini melecehkan dan menghina Islam serta Nabi Muhammad. Serangan tersebut adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan sekaligus juga serangan terhadap nilai-nilai keislaman." Itu sudah mengatakan segalanya.

Saya menghormati keyakinan agama setiap orang. Tapi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers harus tetap diutamakan..