1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Awal Baru di Myanmar Setelah 65 Tahun?

Rodion Ebbighausen4 Januari 2013

65 tahun lalu Birma, kini Myanmar, merdeka dari Inggris. Tapi bukan kebebasan dan kemakmuran yang terjadi, melainkan perang saudara dan diktator militer. Namun baru-baru ini ada perubahan kebijakan politik

https://p.dw.com/p/17DQ4
Mynamar's new single-star national flag is hoisted at the Yangon City Hall, Yangon, Myanmar, 21 October 2010. Myanmar_s junta ordered the hoisting of a new national single-star flag as specified by the country_s new constitution, even though it is not yet in force, leaving many baffled. EPA/NYEIN CHAN NAING pixel
Bendera MyanmarFoto: picture-alliance/dpa

4 Januari 1948, tentara Inggris menurunkan bendera Union-Jack di depan gedung pemerintahan di Yangun. Tidak lama kemudian bendera nasional baru, berwarna merah dengan enam bintang berlatar belakang warna biru dinaikkan. Dengan begitu berakhirlah masa pendudukan Inggris, dan Republik Persatuan Birma tampil sebagai negara yang berdaulat.

Namun, kesatuan negara dengan berbagai suku yang dicerminkan melalui benderanya itu tidak juga dapat direalisasikan pasca kemerdekaan. Pemberontakan berlatar belakang politik dan etnis menyeret negeri itu ke dalam konflik berdarah yang berlarut. Tak satu pemerintahan pun berhasil mengakhiri pertempuran dan mencetuskan sebuah identitas bersama. "Sejak kemerdekaannya tahun 1948, negeri ini tak habis-habisnya dilanda perang saudara yang hingga kini berlangsung", kata peneliti independen Myanmar, Hans-Bernd Zöllner dalam wawancaranya dengan Deutsche Welle (DW).

Hla Hla Myint, a victim of recent violence with a head gunshot wound, rests in a bed at a hospital in Kyuktaw township October 25, 2012. Hundreds of homes burned and gunfire rang out as sectarian violence raged for a fifth day between Rohingya Muslims and Buddhists in western Myanmar on Thursday, pushing the death toll to nearly 60 and testing the country's nascent democracy. Picture taken October 25, 2012. REUTERS/Soe Zeya Tun (MYANMAR - Tags: POLITICS CIVIL UNREST)
Konflik antara kelompok Muslim dan Budha RohingyaFoto: Reuters

Perubahan yang tak terduga

Tetapi, meskipun demikian, tahun 2010 muncul titik balik politis yang tidak diduga oleh banyak pengamat negeri itu.

Mark Farmaner dari Burma Campaign menyambut baik reformasi yang dilaksanakan di Myanmar, tetapi juga memperingatkan adanya peningkatan konflik: "Myanmar memperlihatkan wajah mendua. Di satu sisi terjadi reformasi dramatis, tapi di sisi lain kita harus mengamati peningkatan konflik etnis. Sebagian dari negeri ini berkembang menuju kemakmuran, sementara bagian lainnya sebaliknya." Rabu (2/1) terjadi pertempuran di negara bagian Kachin antara militer dan sayap bersenjata Organisasi Kemerdekaan Kachin, KIA. Militer Myanmar bahkan mengerahkan angkatan udaranya dalam pertempuran itu.

Menurut Farmaner, penyebab peningkatan konflik tersebut adalah tidak adanya keinginan pemerintah untuk berdialog. "Perubahan semua berasal dari perintah presiden, tanpa adanya perundingan atau dialog", kata Farmaner kepada DW.

Juga Zöllner berpendapat bahwa reformasi terutama bersumber dari militer. "Perubahan itu merupakan hasil dari rencana yang dirancang oleh militer secara rapi dan rinci." Namun, berbeda dari Farmaner, pengamat independen Myanmar Zöllner menilai tuntutan kepemimpinan militer tidak hanya negatif. Dalam hal tertentu harus diakui bahwa militer yang tahun 1988 mengumumkan semacam demokrasi, setia pada prinsipnya dan melaksanakan reformasi. Prioritas tertinggi militer selalu bahaya yang mengancam persatuan negeri itu, ujar Zöllner.

"Perjuangan Jilid Tiga"

Tantangan sebenarnya bagi Myanmar saat ini adalah meneruskan demokratisasi sambil menjaga kesatuan nasional. Masalahnya: "Negeri itu adalah sebuah negara, tetapi bukan suatu bangsa. Tidak ada kesamaan identitas. Yang dihadapi saat ini adalah perjuangan jilid tiga untuk mencapai kemerdekaan nasional", kata Zöllner.

Myanmar's prominent "88 Generation Students Group" leader, Min Ko Naing, second from right, senior leader, Ko Ko Gyi, left, and other members hold a picture of recently detained student activists during a commemoration of the 50th anniversary of a brutal military crackdown on students in Yangon, Myanmar, Saturday, July. 7, 2012. More than 20 political activists were detained across Myanmar ahead of the anniversary. Fellow activists said the detentions were proof that the government remains repressive despite the president's widely praised reforms. (Foto:Khin Maung Win/AP/dapd)
Tokoh penting Gerakan Mahasiswa Myanmar 88Foto: AP

Rumusan "perjuangan jilid tiga" memainkan peran dalam pidato terkenal dari Aung San Suu Kyi. Tahun 1988 terjadi aksi protes di Yangun. Di depan sekitar 500.000 orang, Aung San Suu Kyi, penerima hadiah Nobel Perdamaian, menuntut "kemerdekaan kedua". Yang dimaksudkannya adalah awal baru yang mendasar dari politik dan masyarakat. Aksi-aksi protes saat itu digilas pemerintah, dan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dikenakan tahanan rumah.

Farmaner, yang sepanjang tahun 2012 berkunjung delapan kali ke Myanmar, saat ini melihat peluang untuk awal baru. Namun hanya jika pemerintah berhasil melakukan reformasi yang berkelanjutan. "Awalnya orang-orang antusias melihat perubahan. Tapi kini mereka mulai mengajukan pertanyaan. Mereka mengharapkan perubahan yang mendasar pada tahun-tahun mendatang." Terutama yang penting menurut Farmaner adalah berakhirnya konflik, pembebasan tahanan politik, pencantuman kebebasan baru dalam UU, transparansi anggaran negara dan perbaikan kondisi hidup.

Institusi dan Bukan Individu

Zöllner dari Myanmar Campaign menegaskan, dalam upaya reformasi, pemusatan perhatian baik pihak barat maupun rakyat Myanmar hanya kepada Suu Kyi atau Presiden Thein Sein, menyimpan risiko yang besar. "Keduanya mempunyai tujuan yang baik, tapi mereka tidak sendiri dalam semua proses ini. Adalah berbahaya bila hanya memfokuskan perhatian pada individu, tanpa mengindahkan lembaga-lembaga yang merupakan satu-satunya wadah, di mana bangsa yang demokratis bisa bertumpu." Berbagai institusi harus diperbaharui, karena selain militer hampir tidak ada lembaga administratif lain yang berfungsi. "Bila berlangsung lancar, proses ini memerlukan waktu sekitar 20 tahun", kata Zöllner.

Myanmar pro-democracy leader Aung San Suu Kyi attends a parliamentary meeting at the Lower House of Parliament in Naypyitaw July 9, 2012. REUTERS/Soe Zeya Tun (MYANMAR - Tags: POLITICS)
Suu Kyi hadiri sidang parlemen di NaypyitawFoto: Reuters

Presiden Thein Sein mengimbau untuk saling mempercayai dan sabar, dalam pidato tahun barunya, yang merupakan pidato pertama sejak militer berkuasa.

Bagi perubahan jangka panjang adalah penting dimana pihak barat tetap mendukung partai pro-demokrasi dari Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi, NLD. Dan juga partai-partai oposisi lainnya yang lahir saat aksi protes mahasiswa tahun 1988. Aktivis HAM Farmaner di sini melihat perkembangan yang meragukan: "Masyarakat internasional yang selalu memainkan peran penting bagi NLD dan proses demokratisasi, telah mengubah agendanya. Cina, Korea Utara dan kepentingan-kepentingan ekonomi menjadi fokus utama. Baru kak asasi manusia menyusul sesudahnya."