1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Argumentasi Moral Menolak Hukuman Mati

Gadis Arivia26 Februari 2015

Banyak negara yang sudah melakukan kajian panjang akhirnya menganggap bahwa hukuman mati adalah tindakan yang biadab dan tidak berperikemanusiaan, tulis Gadis Arivia.

https://p.dw.com/p/1EiG7
Symbobild Richter
Foto: Fotolia/apops

Tulisan ini sama sekali tidak ingin membahas hubungan buruk antara Presiden Joko Widodo dan PM Australia Tony Abbott yang belakangan ini saling ngotot-ngototan soal hukuman mati. Keduanya adalah politisi yang bertindak atas kepentingan citra politik masing-masing. Kekuasaan cendrung mereduksi orang untuk hanya berpikir tentang popularitas dan tidak sungguh-sungguh peduli tentang substansi masalah. Politikus bersikap reaksioner ketimbang reflektif, mengumbar nafsu ketimbang menahan diri, dan narsis ketimbang memiliki rasa kepedulian. Paling tidak inilah yang dipertontonkan politikus kepada publik akhir-akhir ini dalam hampir semua hal, termasuk hukuman mati. Padahal hukuman mati bukan soal siapa yang paling kuasa, benar dan nasionalis. Ia menyangkut nyawa manusia.

Hukuman mati adalah hukuman yang dilakukan oleh negara kepada individu sebagai bentuk hukuman atas tindakan kriminal yang dilakukannya. Sepanjang sejarah, hukuman mati dijatuhkan pada tindakan kejahatan yang bermacam-macam. Pada abad ke-18 SM, Raja Hammurabi dari Babilonia membuat perintah hukuman mati untuk 25 jenis tindakan kriminal. Hukuman mati juga tercatat di abad ke-16 SM di Mesir, dijatuhkan kepada seorang bangsawan yang dituduh telah melakukan kegiatan perdukunan.

Indonesien Gadis Arivia
Gadis Arivia, Dosen Etika dan Etika Terapan, Universitas Indonesia, JakartaFoto: privat

Di Inggris pada zaman dahulu kala, hukuman mati pernah diberlakukan untuk mereka yang mengembala kambing di atas jembatan Westminister Bridge. Di bawah kekuasaan Raja Henry VIII, mereka yang dihukum mati mencapai 72.000 orang, dan pada tahun 1531 hukuman mati dilakukan dengan cara merebus orang dengan air mendidih. Hukuman mati pun di abad ke-17 menjadi tontonan menarik masyarakat dan seringkali dirayakan dengan minum-minum, pesta pora.

Menghapus hukuman mati

Penghapusan hukuman mati secara serius dilakukan sejak tahun 1977 dan pada saat itu hanya 9 negara yang menghapus hukuman mati. Kini, 140 negara telah menghapus hukuman mati, artinya hampir dua pertiga negara di seluruh dunia. Hingga bulan Desember 2014, 98 negara telah menghapus hukuman mati dengan semua bentuk kejahatan.

Mengapa mereka menghapus hukuman mati? Studi menunjukkan bahwa ternyata hukuman mati tidak menurunkan angka kejahatan (Studi Michael Radelet dan Traci Lacock, 2009), dan bahwa mereka yang dihukum mati kebanyakan adalah orang-orang yang termarjinal, miskin, dan tidak memiliki akses pelayanan hukum (Website Amnesty Internasional).

Saya berpendapat hukuman mati tidak dapat dibenarkan secara moral. Alasan dasar hukuman mati adalah pembalasan dendam atau anggapan bahwa hukuman harus setimpal dengan perbuatannya. Ini yang disebut dengan teori retributivism. Teori ini melihat kebelakang (perbuatan yang telah dilakukan) dan hukuman yang diterima harus sesuai dengan perbuatan tersebut.

Akan tetapi hukuman apakah yang dapat dianggap setimpal atau sesuai? Setiap perbuatan memiliki kasus yang berbeda yang tidak dapat disamaratakan. Misalnya kasus Rodrigo Gularte, warga negara Brazil yang akan dihukum mati dalam waktu dekat karena membawa 6kg cocaine ke Indonesia. Rodrigo telah didiagnosa dokter menderita paranoid schizophrenic, mengalami gangguan jiwa. Namun tanpa melihat kekhususan kasus Rodrigo, pemerintah RI tetap akan menghukum mati orang yang berpenyakit mental.

Tidak ada efek jera

Teori moral lain yang mendukung hukuman mati adalah teori utilitarian. Teori ini melihat kedepan dengan tujuan untuk membuat orang jera. Padahal penelitian secara konsisten menunjukkan tidak demikian halnya (lihat penelitian Hans Zeisel, 1982). Banyak faktor yang menyebabkan orang membunuh atau menjadi kurir/bandar narkoba. Alasan utama adalah penegakan hukum yang lemah, negara korup, miskin, dan tiadanya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai.

Argumentasi lainnya yang sering dilontarkan adalah penghematan biaya. Kaum utilitarian menganggap bahwa membunuh lebih menghemat uang daripada memenjarakan orang seumur hidup. Sekali lagi studi menunjukkan bahwa menghukum mati orang justru mengeluarkan biaya yang lebih besar daripada memenjarakan orang. Surat kabar Miami Herald menulis bahwa pembayar pajak di Florida, AS, menghabiskan $3,200.000 untuk satu kali eksekusi ketimbang $515.964 untuk memenjarakan orang selama 40 tahun dengan pengamanan yang terbaik (lihat laporan Conway dan Nakell).

Indonesia sendiri menghabiskan Rp.200.000.000,- untuk satu orang yang dihukum mati. Mereka yang menembak/membunuh mendapatkan uang sebesar Rp.1.000.000,- per orang (Berita Metro TV, 23 Februari 2015). Menyimak laporan Metro TV, acara hukuman mati layaknya event yang diselenggarakan oleh departemen di pemerintahan dengan uang transport, makan, venue, dan sebagainya untuk panitia.

Argumentasi moral

Bagi saya pertanyaan moral yang sesungguhnya adalah, apakah hukuman mati berkeadilan dan berguna? Jadi pertanyaan tidak hanya melulu bertumpu pada alasan hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku tidak memastikan adanya keadilan.

Apakah adil mereka yang menyelundupkan 3 kilogram narkoba dihukum mati sedangkan mereka yang korupsi triliunan rupiah bebas melenggang di depan mata? Bukankah korupsi uang rakyat sama kejinya dan juga mematikan rakyat miskin karena merampok hak-hak pelayanan fasilitas mereka? Bagaimana yang memerkosa anak di bawah umur bebas dalam kurun waktu 5 tahun? Lalu, bagaimana dengan kasus-kasus yang ternyata salah, tidak akurat, hakim disuap atau terjadi kriminalisasi, sengaja dijebloskan dalam penjara karena kepentingan-kepentingan agenda politik tertentu?

Sudah saatnya Indonesia menghentikan hukuman mati. Sebab hukuman mati adalah tindakan yang barbar dan sangat kejam. Berbagai laporan tentang perempuan yang dihukum rajam memilukan hati, bagaimana mereka memohon untuk diampuni. Termasuk kasus-kasus TKI yang dihukum mati di luar negeri.

Kasus Marco Archer Cardoso Moreira yang dihukum mati di Nusakambangan pada tanggal 18 Januari 2015 setelah 11 tahun dipenjara menyedihkan. Marco diseret dari selnya, meski dia berteriak, menangis dan membuang air besar di celananya karena ketakutan. Ia tetap ditembak mati tanpa ditenangkan atau didampingi pasturnya terlebih dahulu agar dapat melaksanakan doa untuk ketenangan batinnya.

Tidak berperikemanusiaan

Banyak negara melalui kajian yang panjang menganggap hukuman mati adalah tindakan yang biadab dan tidak berperikemanusiaan. Bukan saja saat dieksekusi menimbulkan sakit yang luar biasa (apalagi ketika tidak segera mati). Membuat orang menunggu bertahun-tahun lamanya untuk menantikan kepastian kematiannya menimbulkan siksaan batin yang luar biasa.

Sebagai negara yang memegang teguh prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, apakah manusia berhak mengambil nyawa orang lain secara kejam? Apakah manusia yang menentukan besar kecilnya dosa seseorang? Apakah ada manusia yang tidak pernah membuat kesalahan?

Tuhan maha besar dan maha mengampuni, bukankah itu yang dibisikan orang tua kita sejak kita di dalam kandungan? Cukup seseorang dipenjara hingga seumur hidup bila ia bersalah. Tolak hukuman mati!

Gadis Arivia adalah Dosen Etika dan Etika Terapan, Departemen Filsafat, Universitas Indonesia, Jakarta. Tulisan ini dirilis 24 Februari 2015 di http://www.filsafatuniversitasindonesia.com/blog/-argumentasi-moral-menolak-hukuman-mati