1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Opsi NATO Terhadap Rusia

2 September 2014

Rusia tidak mengindahkan seruan NATO untuk melakukan deeskalasi dalam krisis Ukraina. Apa saja opsi yang dimiliki NATO menghadapi politik agresif yang dijalankan Presiden Vladimir Putin?

https://p.dw.com/p/1D5Jn
Foto: DW

Para pemimpin NATO sejak awal sepakat menggunakan cara-cara non militer menghadapi agresi Rusia di Ukraina. Tapi sampai kini, berbagai sanksi yang diberlakukan Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara G-7 terhadap Rusia ternyata tidak membuahkan hasil. Presiden Rusia Vladimir Putin tetap ingin mempertahankan pengaruhnya di Eropa timur dengan mengancam Ukraina agar tidak mendekat ke barat.

Menjelang akhir minggu ini, hari Kamis dan Jumat, NATO akan menggelar pertemuan puncak di Wales. Tema utama yang akan dibahas adalah krisis di Ukraina dan langkah apa yang akan dilakukan NATO untuk melindungi anggotanya yang berasal dari bekas blok Uni Soviet.

"Sangat tidak mungkin NATO akan melancarkan intervensi militer", kata Robin Nibett dari Royals Institute for International Affirs (RIIA) di London.

"Sampai saat ini tidak ada dukungan untuk itu (operasi militer) dalam aliansi (NATO). Dan tidak ada anggota yang akan berjalan sendiri", sambungnya.

Ukraina memang bukan anggota NATO, yang dalam preambulnya menyatakan kewajiban untuk saling membantu sesama anggota yang menghadapi serangan.

NATO memberlakukan prinsip "collective defence". Artinya, setiap serangan terhadap negara NATO dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggotanya. Jaminan keamanan inilah yang membuat negara-negara Eropa timur ingin bergabung dengan NATO, setelah lepas dari Uni Soviet.

Pangkalan militer di Eropa timur?

Beberapa anggora NATO yang dulu masuk Pakta Warsawa, seperti Polandia, Rumania dan negara-negara Baltik: Estonia, Latvia dan Lithuania, mendesak agar aliansi militer itu memberi bantuan lebih besar kepada Ukraina.

Sekretaris Jendral NATO Anders Fogh Rasmussen baru.baru ini mengusulkan pembentukan resimen gerak cepat yang baru, yang terdiri dari "ribuan pasukan".

"Pada dasarnya, di masa depan kami harus hadir dengan kekuatan lebih besar di Eropa timur", kata Rasmussen.

Pengamat militer menyebutkan, Rasmussen mendesak NATO membuat pangkalan militer baru di Eropa timur dengan resimen khusus berkekuatan 4 ribu sampai 10 ribu pasukan.

Tapi dalam Akta Pendirian Dewan Rusia-NATO yang disepakati tahun 1997, disebutkan bahwa NATO tidak akan mendirikan "pangkalan militer permanen" di wilayah bekas blok Timur. Namun beberapa anggota NATO dari Eropa Timur menerangkan, kesepakatan itu tidak berlaku lagi sejak Rusia menganeksasi Crimea.

Modernisasi militer

Opsi lain yang dimiliki NATO adalah memberi bantuan dana kepada negara-negara di Eropa timur untuk melakukan modernisasi perlengkapan militernya. Ini lebih mudah dilakukan daripada intervensi militer secara langsung.

Sekretaris Jendral NATO Anders Fogh Rasmussen juga menyadari hal itu. Karena itu, ia menjanjikan bantuan dana kepada Ukraina "untuk membangun kapasitasnya di sektor keamanan".

Tanpa menyebut rincian nilainya, Rasmussen mengatakan bantuan dana itu berlaku "untuk jangka menengah dan panjang".

Sebelumnya, pemerintah Ukraina menyatakan akan mengajukan permohonan menjadi anggota NATO. Namun Amerika Serikat dan Eropa barat kelihatannya menahan diri sambil menerangkan, proses keanggotaan (Ukraina) belum menjadi diskusi maupun opsi dalam waktu dekat.

NATO mengundang Presiden Ukraina Petro Poroshenko menghadiri pertemuan puncak di Wales untuk membahas krisis di negaranya.

hp/ab (afp,rtr)