1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Antara Pemilik Partai Hingga Populisme

25 Desember 2013

Pasar kandidat calon presiden 2014 diisi oleh tokoh yang tidak punya pandangan yang jelas tentang Indonesia. Rocky Gerung mengatakan pasar politik capres hanya diisi para "pemilik" partai dan kandidat populis.

https://p.dw.com/p/1API7
Foto: picture-alliance/dpa

Sejumlah nama masuk dalam bursa calon presiden 2014. Partai Golkar mengusung nama Ketua Umum Aburizal Bakrie, Gerindra menjagokan Ketua Dewan Pembina, Prabowo Subianto.

Pemikir politik dari Universitas Indonesia Rocky Gerung mengatakan diantara nama-nama yang masuk dalam bursa tak ada satupun yang punya gagasan yang jelas tentang bagaimana mereka akan memimpin Indonesia.

“Perlagaan dalam Pemilu 2014 nanti adalah antar tokoh, yang sangat bisa jadi, tidak punya komitmen ideologis“ kata Rocky Gerung menyampaikan pandangannya tentang para kandidat kepada Deutsche Welle.

DW: Bagaimana anda melihat capres Gerindra, Prabowo, yang menggunakan retorika anti Neoliberalisme di satu sisi, tapi di sisi lain punya koleksi kuda yang harga seekornya bisa milyaran rupiah?

Rocky Gerung: Itu artinya bahwa orang tak peduli dengan apa yang diucapkan oleh calon presiden. Seharusnya ada lawan politik Gerindra yang mulai mempersoalkan. Itu bukan mempersoalkan pribadi Prabowo, ini untuk mempersoalkan jalan pikiran dari partai. Demikian juga Gerindra, yang harus mempersoalkan jalan pikiran Golkar misalnya. Tapi ada kondisi ewuh pakewuh. Orang saling bilang: tunggu saja di kotak suara. Padahal mulai sekarang orang harus mulai dibiasakan bertengkar. Bertengkar secara argumentatif bukan mencari sensasi atau sentimen.

DW: Bagaimana anda melihat masa lalu Prabowo yang terlibat penculikan para aktivis?

Rocky Gerung: Itu yang saya bilang, memori publik tidak bisa dibuka jika tidak ada debat. Debat tentang catatan masa lalu Prabowo hanya mungkin diselenggarakan dalam sebuah forum publik. Prabowo, punya record yang dicatat sejarah (dalam kasus penculikan) tapi publik tetap banyak yang mendukung, agak aneh kan? Itu kesalahan pers, karena pers tidak pernah secara transparan mempersoalkan sejarah politik seseorang.

DW: Bagaimana dengan capres dari Golkar, Aburizal Bakrie?

Rocky Gerung: Tentu Aburizal membaca statistik dirinya (yang rendah-red), tapi dia yakin Golkar akan menang secara electoral sehingga punya hak untuk mencalonkan diri. Tapi itu kan bukan hitungan statistik, itu hitungan emosional. Kalau rasional, mestinya Aburizal Bakrie merasa, oh Golkar menang tapi kalau saya ada di situ akan menjadi beban, bukan benefit bagi partai. Jadi ia mustinya dengan sukarela mengatakan: oke, saya menyerahkan kepada tokoh lain untuk jadi capres dari Golkar. Tapi ini sekali lagi berkaitan dengan sifat kepemilikan partai politik oleh seseorang atau tokoh. Karena partai dimiliki oleh tokoh baik secara genealogis maupun secara finansial, maka terikatlah partai itu pada figur. Hal yang membuat kita tidak melihat fungsi partai, tapi fungsi dari orang yang memilikinya.

Di luar Prabowo dan Aburizal Bakrie, ada nama-nama baru yang muncul dalam bursa. Salah satu yang paling terang bintangnya adalah Joko Widodo atau yang akrab dipanggil Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang berasal dari lingkungan PDI Perjuangan.

Hampir semua lembaga jajak pendapat menempatkan Jokowi sebagai kandidat terkuat yang akan menang, jika pemilihan presiden digelar hari ini.

DW: Bagaimana anda melihat Jokowi?

Rocky Gerung: Jokowi adalah seorang pekerja, tapi apa isi konsep Jokowi? orang tak peduli. Itu buruk bagi saya, karena yang terjadi betul-betul adalah Populisme. Jokowi didukung oleh Populisme, dan Populisme selalu berbahaya. Saya tidak bilang Jokowi berbahaya… tapi Populisme-nya yang berbahaya. Orang yang ingin melihat Jokowi memimpin, justru seharusnya ingin melihat apa pikiran Jokowi tentang negeri ini kan?

DW: Anda menyebut Jokowi tipe pekerja?

Rocky Gerung: Bekerja adalah syarat fundamental dari kepemimpinan. Semua orang harus bisa bekerja. Tapi bekerja untuk menyelenggarakan suatu visi, itu yang dituntut oleh politik yang masuk akal. Kan kita tidak bekerja demi pekerjaan itu sendiri kan? Nah pak Jokowi belum kita dengar pikirannya dan kita masih menunggu. Dan dalam menunggu itu, Populisme sudah lebih cepat berlari.

DW: Apakah anda tidak melihat visi dari Jokowi?

Rocky Gerung: Kalau kita menganggap, oh pak Jokowi dengan sendirinya kerakyatan karena dari PDI-P. Tapi kan harus kita tanya: apa pak Jokowi punya konsep tentang ekonomi kerakyatan? Apakah sejalan dengan jargon-jargon Soekarnoisme misalnya. Apa relevansi Soekarnoisme di abad ini? Itu biasa saja diajukan sebagai pertanyaan. Tapi orang kadang kala segan bertanya, karena nanti dianggap menjelek-jelekkan. Ini bukan menjelek-jelekkan, tapi kita memang ingin tahu. Publik dalam hal ini menjadi fundamentalis...

DW: Apakah anda melihat kini jadi sulit mengkritik Jokowi?

Rocky Gerung: Ya diam-diam ada semacam larangan untuk mengkritik Jokowi kan? dan yang diam-diam itu makin banyak. Kritik itu artinya mempersoalkan agar menjadi terang… bukan membenci. Nah sekarang kalau ada orang yang sedikit sinis dalam arti ingin tahu lebih banyak, dianggap membenci… menghalangi… kan itu berbahaya.

Rocky Gerung adalah ahli Filsafat Politik dari Universitas Indonesia.